11 January 2011

I m p i a n


Oleh: Firdaus

    Ketika bertemu seorang kawan lama, tiga hari lalu, penampilannya sangat mengagumkan. Jauh dari bayangan saya. Ia termasuk seorang yang berhasil di antara kawan saya yang lain.
    Saya kemudian mencoba mengingat masa lalu, kemudian mencocokkan dengannya, ”nasib memang tak bisa ditebak,” kata saya padanya.
    Sang kawan hanya menjawab dengan senyum. Saya mengartikan, senyuman itu sebagai pembenaran. Saya yakin, mungkin tak hanya saya, tetapi kawan-kawannya ketika SMA dulu, rasanya juga tak yakin tentang apa yang sudah dicapai kawan tersebut.
Ketika SMA dulu, Ia termasuk kuper (kurang pergaulan), loading-nya lambat sehingga pernah tinggal kelas. Makanya, ketika satu persatu mantan kawan-kawan lokal saya hubungi, kemudian memberitahukan saya sedang bersamanya sekaligus mendeskripsikan keberadaannya, sebahagian besar menduga kalau saya hanya berbual. Hebatnya, Ia tak tersinggung dengan keterkejutan kawan-kawannya yang lain.
    Kenapa Ia bisa melejit? Pengakuannya, setelah tidak naik kelas, Ia nyaris putus asa. Tak siap berada di sekolah yang sama, sebab dugaannya pasti akan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Lalu Ia pindah sekolah, dan bisa naik kelas.
Di sekolah yang baru, ternyata di lokalnya ada seorang murid yang cacat secara pisik, dan berkekurangan secara ekonomi. Motivasi teman barunya itu sangat mengebu-gebu. Dari sana kemudian mengalir ”darah baru” dalam tubuh sang kawan; Ia tak boleh kalah dari temannya tersebut.
    Ketika upayanya muncul untuk tidak dikalahkan teman barunya tersebut, tiba-tiba Ia mendapatkan bacaan penuh inspiratif. Ia menemukan Henry Ford, seorang pemuda miskin tak berpendidikan, tapi memiliki impian tentang kereta yang tidak ditarik oleh kuda. Henry Ford mulai mewujudkan impiannya dengan peralatan seadannya tanpa harus menunggu peluang yang menguntungkan. Hasilnya, kini sangat banyak kendaraan yang bergulir di belahan bumi.
    Thomas Alfa Edison, yang setengah tuli, dikeluarkan dari taman kanak-kanak karena dianggap tak bisa belajar, ternyata mengimpikan lampu yang dinyalakan oleh listrik. Columbus yang mengimpikan sebuah dunia baru, kemudian menemukan Amerika. Begitu pun dengan Marconi yang dianggap gila, kemudian diseret ke pengadilan dan diperiksa di rumah sakit jiwa karena mengumumkan bahwa dia menemukan alat yang bisa mengirim pesan lewat udara tanpa bantuan kabel.
    Kawan saya tersebut memang tak sehebat para penemu tersebut, tetapi momentum kebangkitannya justru berangkat dari kegagalan yang dialaminya, dan kemudian Ia menemukan ”pelatuk” untuk melakukan ”serangan balik” demi memperbaiki diri.
    ”Jika alat yang kamu miliki hanya palu, maka semua persoalan akan kamu perlakukan seperti paku,” katanya mengutip pesan bijak Abraham Maslow. *

(Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 3 Januari 2010)

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...