13 February 2020

“Seandainya Aku tak Keluar...”


Umroh Gratis Karyawan Paragon Technology and Innovation (8)






Kulihat jam di selular. Ashar  masih lama.  Dua jam lagi. Kurebahkan tubuh di kasur. Kutarik selimut. Kututupi semua tubuh, dari kepala hingga kaki. Tubuhku menggigil kedinginan, padahal AC  sudah dimatikan.

Obat pribadi yang dibawa dari Padang, baru saja aku minum. Sebelum tidur, aku berdoa dan sekaligus  bermohon agar bisa bangun sebelum Ashar. Aku ingin kembali ke Masjid Nabawi, masjid yang dibangun Nabi Muhammad. Aku ingin kembali Ashar berjamaah di sana, lalu bertahan hingga Isya.

“Bang. Bangun,” sebuah suara membangunkanku, “abang sudah Ashar?” tanya Risnanda, rekan satu kamarku selama di Madinah.

Kulepaskan selimut, “jam berapa, Pak Kiyai?” tanyaku.

“Hampir jam lima,” kata lelaki yang umurnya lebih muda dariku, tapi kami di Jamaah Umrah Paragon Kloter 14 menyapanya dengan panggilan Abi. Ada juga yang memanggil dengan sebutan Pak Kiyai.  Aku memilih panggilan kedua, walau malam  sebelum berangkat ke Madinah, aku memanggilnya dengan panggilan, ustad.  

Malam itu, kami bertemu ketika hendak salat Isya di Wisma Haji dan Umrah, Mampang. Aku mengajaknya berjamaah. Aku iqamah, ia menjadi imam. Salah satu makmum lainnya, Eggi Rizal, anak muda asal Tasikmalaya. Kami baru tahu satu kloter setelah bercerita usai salat berjamaah.

Aku menduga, Abi tersebut panggilan anaknya kepada beliau. Isteri dari Risnanda, Party, adalah seorang Paragonians ---sebutan untuk karyawan Paragon Technology and Innovation. Ia bertugas di Kualatungkal, Jambi. Ia juga sudah lebih tujuh tahun mengabdi di perusahaan tersebut. Di PT Paragon Technology and Innovation (di antara produk yang dimilikinya; Wardah, Make Over, dll), karyawan yang bekerja minimal tujuh tahun, memperoleh hadiah umrah gratis  dari perusahaan.   Eggi Rizal juga. Isterinya bertugas di Tasikmalaya. 

Aku  terkejut ketika Pak Kiyai menyebut hampir jam lima. Aku melihat, ia baru saja melepaskan peci dan mengganti gamisnya dengan pakaian harian. Aku yakin, ia baru kembali dari masjid.

Tanpa pikir panjang, aku segera bergegas. Setelah berwuduk, aku kembali ke kamar. Kuganti pakaianku. Ketika itu juga, tubuhku kembali terasa dingin. Sangat dingin. Aku menggigil. Kubatalkan  rencana ke masjid. Aku salat di kamar. Selepas itu, aku kembali minum obat yang tadi aku minum sebelum tidur. Setelah ku dorong dengan air zam-zam, aku kembali menarik selimut. Kututup seluruh tubuh. Biar hangat. Aku ingin kembali berjamaah di Masjid Nabawi.

Aku terbangun ketika azan Magrib berkumandang. Mataku berkunang-kunang. Aku kuatkan untuk  bisa kembali melangkah ke Masjid Nabawi. Keinginanku dikalahkan kondisi. Tubuhku masih terasa menggigil. Aku merasa tubuhku dingin. Orang lain merasakan panas. Dua  hari sebelum ke umrah melalui Jakarta, aku diserang demam. Malamnya aku berobat ke dokter langganan, di Lubuk Begalung, Padang. Sekitar 17 KM dari kediamanku. Besoknya, aku memaksakan diri belanja ke Pasar Raya Padang, ditemani isteri, membeli keperluan umrah.

Aku yakin, aku kelelahan. Kondisi ini sering aku alami jika terlalu banyak aktivitas. Kali ini, aku memaksakan diri. Aku harus bisa mengatasi keadaan. Besok siang, selepas zuhur, rombonganku harus meninggalkan Madinah, menuju Makkah.

Magrib berlalu di kamar hotel lagi. Selesai salat. Berdoa. Membaca Al-qur’an. Entah berapa halaman yang kubaca. Aku tak tahu. Setengah jam menjelang Isya, aku berbenah. Aku bertekad untuk berjamaah di Masjid Nabawi.

Setelah kuteguk kembali air Zam-zam yang aku bawa ke hotel sepulang Salat Jumat, aku berkemas. Tak lupa kupanaskan air. Ku persiapkan segelas teh manis hangat.  Sekadar untuk menghangatkan perut. Lalu berwudhuk, kemudian meninggalkan dua kamar hotel yang terkoneksi. Ada tujuh jamaah laki-laki lainnya bersamaku, tapi kali ini hanya aku sendiri di kamar.

Alhamdulillah. Aku memasuki Masjid Nabawi dari gerbang no 26. Lurus dari arah hotelku. Aku langsung menuju pintu nomor 2. Tujuanku, Raudah. Aku ingin masuk kembali ke sana. Sejak sampai di Madinah, Kamis dinihari, baru Jumat pagi aku bisa masuk ke sana bersama rombongan. Tak pula lama. Petugas membatasi jadwal di sana  karena banyaknya antrian. Aku ingin beribadah berlama-lama di sana. Raudah, atau Taman Surga, merupakan salah satu tempat mustajab untuk berdoa. Tak mengherankan kalau Raudah paling favorit diincar jamaah.

Langkahku akhirnya surut. Pintu 2, 3, dan 4 yang merupakan tempat terdekat untuk masuk ke Raudah, sudah diberi garis pembatas. Tak boleh lagi masuk. Biasanya satu jam sebelum waktu salat fardu masuk, tempat ini sudah ditutup.  Jamaah diarahkan untuk menempati bagian lain di Masjid Nabawi.

Selepas Isya, aku bergegas kembali ke hotel. Aku pasang strategi. Tak paksakan diri malam ini untuk kembali ke Raudah. Aku harus istirahat dulu. Sebelum tidur, aku berdoa. Aku juga memohon kepada Allah agar dibangunkan pukul 01.00 dinihari. Aku pasang alarm di selular.

Aku terbangun sebelum alarm berbunyi. Ada rasa membaik dalam diri. Aku merasa, kondisiku lebih segar dibandingkan saat Isya, apalagi ketika salat Ashar dan Magrib. Pagi itu, aku mandi. Berkemas. Tak lupa minum segelas teh manis hangat. Bergamis dan suiter senada, warna putih. Aku kemudian melangkah menerobos malam. Menyibak dingin meski ngilunya sampai ke tulang. Ada gigil. Suhu 8 derajat celcius. Aku tak peduli. Langkah aku percepat. Pikiranku masih ke Raudah. Sepanjang jalan, aku membaca ayat-ayat pendek. Salawat.  

“Jika tidak pagi ini, entah kapan aku bisa kembali,”  kataku dalam hati.

Pesan  Ustad Muhammad Azzam, pembimbing yang disediakan biro perjalanan NRA, selama umrah, selepas salat Jumat  kemarin, seakan sebuah peringatan bagi saya. Beliau mengirim pesan via WA grup; besok pagi, setelah sarapan, kita ziarah wada’ ke makam Baginda Rasulullah. Pesan itu sekaligus bermakna, setelah ziarah wada’, langsung meninggalkan Madinah.

Aku masuk melalui pintu no 2. Masih sepi. Belum ditutup. Aku segera masuk, tapi di dalam sudah ramai antrian. Aku masuk  gelombang terakhir. Tiga kelompok sudah masuk “perangkap” antrian. Tak lama di antaranya, mereka yang sedang ibadah di Raudah diberitahu,  waktu untuk mereka selesai. Mereka minta keluar melalui pintu depan. Keluar langsung berjalan mengarah ke kiri, kemudian sampai di depan makam Nabi Muhammad SAW.

Ketika di Raudah sudah kosong, sekat pertama dibuka. Petugas mengarahkan mereka mengambil syaf terdepan. Tak lama di antaranya, jamaah yang berada disekat kedua dipindahkan ke sekat pertama. Jamaah disekat ketiga, diperintahkan maju. Masuk ke sekat kedua. Sekat ketiga kosong. Jamaah yang antrian di belakangnya, termasuk aku, diminta masuk ke sekat ketiga.

“Alhamdulillah,” kataku dalam hati.

Biasanya, jika sudah masuk dalam sekat tersebut, bersabar sajalah menunggu jadwal. Sudah ada “tiket” untuk bisa masuk ke Raudah. Kurang dari 10 menit, tiba-tiba sekat pertama dibuka. Aku terkejut. Jamaah yang sedang ibadah di Raudah belum keluar, tapi sudah dimasukkan yang lain. Belum hilang rasa heran, sekat kedua dan ketiga dibuka bersamaan. Petugas mengarahkan jamaah. Mereka yang berada disekat dua dan tiga mendapatkan syaf di belakang sekat sebelumnya. Aku coba hitung. Aku berada di empat syaf terakhir dalam wilayah Raudah. Ketika pertama kali aku masuk wilayah tersebut, dua hari lalu, aku berada di luar garis Raudah. Dua syaf di luar batas.

Ku nikmati ibadah di sana. Aku awali dengan Tahyatul Masjid. Dilanjutkan doa. Kusambung dengan Tahajud. Dua rakat, salam. Dua rakat, salam. Dua rakat, salam. Baca Al-qur’an. Berdoa. Baca Al-qur’an. Tak kuhitung berapa halaman  yang kutuntaskan malam itu.

Satu jam sebelum Subuh, azan berkumandang. Di Masjid Nabawi, setiap Subuh, dua kali azan. Pertama, sekitar satu jam sebelum masuk waktu Subuh. Aku masih di Raudah, tapi ada sesuatu yang terasa mengganjal. Setengah jam kemudian, perasaanku semakin tak enak. Posisiku terasa makin tak nyaman.

“Ada apa? Tampaknya gelisah sekali?” tanya seorang jamaah di sebelah kiriku.

Aku sempat berkenalan dengannya. Ia berasal dari Madiun. Rute umrahnya, ia sudah dari Makkah, baru ke Madinah. Aku pun mengatakan sumber kegelisahanku.

“Tahan saja, setengah jam lagi azan Subuh,” katanya.

Aku melihat jam. Ya, sekitar setengah jam lagi azan Subuh, kemudian salat berjamaah. Aku semakin gelisah. Keringat dinginku mulai keluar. Aku tak tahan. Aku coba menguatkan hati, tapi logikaku mengalahkannya. Aku bergerak, melihat ke kiri dan ke kanan. Teman baru di sebelah kiriku memperhatikan.

“Mau kemana, pak?” tanyanya menebak jalan pikiranku.

“Aku harus keluar,” kataku berbisik kepadanya, kemudian aku bersujud. Aku tak tahu, sujud apa yang aku lakukan. Dalam sujud aku minta ampun kepada Allah.

Ya, Allah. Ya, Rabb.

Hamba memohon ampunanMU. .

Hamba yang bergelimang dosa ini memohon ampun. 

Izinkan hamba meninggalkan Raudah ini.

Aku bangkit. Aku melangkah ke kiri dari tempat duduk, kemudian sampai di pembatas rumah Nabi Muhammad dengan Raudah. Aku bergeser ke syaf bagian belakang. Aku terus melangkah, kemudian melintasi bagian belakang yang posisinya lebih tinggi dari syaf lain. Kira-kira sebetis. Menurut Ustad Muhammad Azzam, tempat tersebut dulunya digunakan Nabi Muhammad berdikusi bersama para sahabat.

Kuperhatikan ke sekeliling. Seakan semua pandangan mengarah kepadaku. Aku seakan “disentil” mereka. Sudah bisa masuk ke Raudah,  waktu Subuh sudah dekat, malah keluar. Ada beragam rasa berkecamuk,  tapi aku tak mau untuk memaksakan diri. Aku takut terjadi hal buruk yang teramat buruk.

Sesampai di pintu keluar masuk masjid, aku melangkah bergegas. Berlari-lari kecil. Kupaksakan berlari secepatnya menuju toilet. Kudapati toilet dalam keadaan sepi. Kulepaskan hadas di tandas. Setelah itu, plong!

Aku kembali membersihkan diri. Setelah berwudhuk, aku kembali ke masjid. Pintu 2, 3 dan 4 sudah ditutup. Jangankan masuk ke Raudah, akses mendekati Raudah saja, tak bisa lagi. Jamaah diarahkan untuk mencari syaf-syaf lain yang masih tersisa.

Sedih rasanya meninggalkan Raudah, tapi apa boleh buat. Jikalau bertahan di sana dengan keadaan yang dialami, tidaklah mungkin. Saat beribadah haruslah benar-benar bersih. Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Tidak ada salat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada salat bagi yang menahan akhbatsan (kencing atau buang air besar. (HR. Muslim)

Pertimbangan lain, kalau terus bertahan hingga azan Subuh dan salat, hakikatnya memang sekitar 30 menit lagi. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Dua kali Subuh aku gagal menembus Raudah, aku menyaksikan pemandangan tersendiri.

Begitu salat Subuh selesai,  posisi syaf yang masuk di wilayah Raudah akan disekat habis. Tak ada akses keluar masuk. Jamaah yang berada di sana diberi kesempatan seluas-luasnya hingga sekitar pukul delapan atau sembilan pagi, sampai Dhuha. Beribadah sepuas-puasnya. Tidak ada tambahan untuk jamaah lain masuk di jadwal tersebut. Tidak diberikan juga kesempatan keluar, kecuali emergency. Tak akan kuat aku menahannya.

Di lobi hotel, jamaah kami kurang satu. Kami menunggu Pak Kiyai. Tak ada kabar. Belakangan isterinya mengabarkan, saat Subuh, mereka berdua ke Masjid Nabawi.  Pak Kiyai masuk ke Raudah. Setelah itu tak ada kabar. Tepat pukul sembilan, kami bergerak bersama menuju makam Nabi Muhammad SAW.

“Aku tak bisa keluar,” kata Risnanda alias Pak Kiyai. Ia tampak lemas dan lemah.

Ia kemudian meneguk air zam-zam yang disodorkan salah seorang dari rombongan. Pak Kiyai kemudian bercerita. Ia memiliki impian kembali ke Raudah, saat Subuh tadi. Impiannya dikabulkan. Ia dapat Tahiyatul Masjid, Tahajjud, Salat Sunat, Salat Subuh, baca Al-Qur’an, berdoa, Salat Duha.

“Di dalam sangat ramai. Waktunya lama sangat. Aku lemas. Beberapa kali minta bantuan petugas agar aku dikeluarkan, tapi tidak dibolehkan,” katanya.

Aku terkejut. Aku teringat peristiwa menjelang Subuh, tadi.
“Seandainya aku tak keluar...” gumamku. *

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...