29 December 2017

Penggemarnya Terus Bertambah


Berkunjung ke Museum Nike Ardilla si Bintang Kehidupan

 Tiga kali panggilan, tak ada sahutan. Ketika panggilan ke empat, tak juga ada sahutan, namun dari arah kamar kecil di teras, ada suara air yang sangat deras. Suara siraman air itu seakan menjadi pertanda, ada orang di dalamnya.
“Sudah tutup,” jawab seorang lelaki yang keluar dari kamar kecil di teras. Ia kemudian duduk di kursi,  memasang kaos kaki dan sepatu yang biasa digunakan petugas keamanan.
“Ditutup pukul lima sore tadi,” katanya melanjutkan. 
Tanpa melihat jam pun, aku tahu kalau kehadiran ke museum sudah terlambat dari jadwal kunjungan. Terlambat lebih dari satu jam.

Aku termangu. Bayangan kegagalan untuk berkunjung ke museum melintas dalam pikiran, “tapi cobalah langsung ke ruangan samping, sampaikan saja niatnya,” kata lelaki itu lagi.
Aku kemudian mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih. Lelaki itu  pamit,  “saya harus ke depan dulu,” katanya sembari menunjuk pos jaga di gerbang komplek, ia pun hilang dari pandanganku persis di balik sebuah jeep putih yang dipajang di teras museum. Kendaraan tersebut salah satu mobil kesayangan Nike Ardilla.
“Sudah tutup, kang,” jawab seorang perempuan muda menyambut kehadiranku  di bangunan samping yang disebutkan petugas jaga komplek.  
Belum sempat melanjutkan, ia menanyakan perihalku.  Ketika disebutkan  dari Padang, ia kemudian justru terdiam. Tanpa bicara, ia kemudian mengambil sesuatu di dinding tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Mari, Kang. Ikuti saya,” katanya.

Di tangannya ada kunci yang diambil  di dinding. Aku pun mengikuti langkahnya. Kami kembali ke arah tempat saya bertemu petugas jaga komplek.
Persis di tengah bangunan, terpajang gambar seorang gadis cantik. Artis yang sangat populer di tahun 1990-an. Gambar gadis cantik itu dibingkai dalam kaca putih dan memancarkan sinaran dari listrik. Di atas gambar itu tertera jelas namanya; Nike Ardilla.
Di kiri dan kanan gambar itu, ada tangga menuju lantai dua. Perempuan yang memegang kunci itu memilih tangga di bagian kiri, aku mengikuti. Sambil melangkah, perempuan itu menanyakan hal-hal kecil tentang keadaan. Aku menjawab apa adanya.
Setelah pintu lantai dua dibuka, ia menghidupkan lampu ruangan, kemudian menghidupkan musik, terdengar lantunan lagu terakhir dari Nike Ardillla, yang punya nama asli Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi.
 Mama
Aku ingin pulang
kurindu kepadamu
Dulu tak mendengar nasehatmu
Mama maafkan anakmu

Mama oh mama
Aku ingin pulang
Kurindu kepadamu
Dia yang kucinta telah berdusta
Kini tinggalkan diriku
Hidupku kini tiada arti
Bagaikan burung di dalam sangkarnya
Kuingin bebas dari derita
Mama tolonglah diriku
Dari belenggu cintannya...
 Aku tertegun. Ada rasa menjalar dalam diri. Secepatnya aku mengendalikan diri. Aku tak ingin larut dalam kenangan. Aku tak ingin hanyut. Alunan nada yang lembut, mendayu-dayu, disekelilingnya terpampang potret dan poster besar pemilik suara tersebut, menambah suasana semakin syahdu.
Aku menerawang, mengingat masa lalu. Masih segar dalam ingatan, aku memiliki album Mama Aku Ingin Pulang. Album tersebut diluncurkan pada 1995, beberapa bulan setelah Nike Ardilla meninggal dunia. Hanya Mama Aku Ingin Pulang lagu terbaru yang ada di dalamnya, sisanya diisi  lagu-lagu yang pernah hits sebelumnya.
Di album vcd-nya, Mama Aku Ingin Pulang terasa sangat berbeda dibandingkan lagu lain. Jika lagu-lagu lain menggunakan format lagu dan klip sesuai aslinya dulu, namun lagu Mama Aku Ingin Pulang tak menggunakan klip yang seharusnya. Klip pada lagu tersebut hanya “menggunakan” penggalan-penggalan gambar dan klip lain tanpa disertai suara langsung penyanyinya.

Lagu lain dalam album tersebut, Mengapa Harus Berpisah, Cerita Lama, Biarlah, Jangan Diulang, Kehadiranmu, Garis Nasib, Warna Cinta Kita, Jangan Lari Dari Kenyataan, Ku Terima Cintamu. 
Ruangan di lantai dua, sangat luas.  Di sekeliling ruangan dipajang foto-foto dan barang-barang berharga dan penuh kenangan milik Nike Ardilla. Foto-foto dalam ukuran besar itu bersanding dengan poster-poster besar Marilyn Monroe. Gambar yang paling menarik perhatian adalah lukisan lukisan Nike Ardilla dengan pose yang sama dengan Marilyn Monroe, artis idolanya.
Belakangan aku mengetahui, perempuan yang mendampingi tersebut bernama  Dewi,  salah seorang relawan dari Nike Ardilla Fans Club (NAFC), asal Bandung. Aku memanggilnya  teh Dewi. Teh Dewi menjelaskan sangat detail tentang barang-barang yang dipajang. Ada di antaranya konstum pertama kali Nike Ardilla konser, hingga baju terakhir yang ia gunakan di dunia keartisannya. Baju dimaksud digunakan saat shoting film Warisan.
Kostum itu berupa kaos dan rok berwarna merah. Juga ada foto Nike Ardilla mengenakan kostum tersebut. Di foto, terlihat raut wajah letih Nike Ardilla. Foto itu digantung persis di dinding dekat pintu masuk kamarnya.
Aku diajak masuk  teh Dewi ke kamar mendiang Nike Ardilla, namun tidak masuk dari pintu yang masih ada goresan tangan Nike Ardilla yang menyatakan bahwa itu kamarnya. Di pintu kamar itu tertulis; Ini Kamar Gue, Euy..! Kemudian ada tanda-tangan dan namanya.
Kamar Nike Ardilla terlihat luas dan sederhana. Tempat tidurnya hanya berupa kasur yang diletakkan di lantai beralas karpet. Di sebelah kasur ada televisi dan speaker aktif. Ada sebuah lemari pakaian. Sebuah meja rias, di meja itu ada sajadah dan mukena. Di salah satu sudut kamarnya ada meja kecil, di sana tersusun rapi sejumlah piala dan penghargaan yang menunjukkan prestasinya.
Dari kamarnya ada tiga pintu. Satu pintu utama, tempat biasa ia keluar masuk kamarnya. Satu lagi pintu untuk menatap keluar kamar, biasanya jika ia keluar kamar dari pintu tersebut untuk menghirup udara segar, atau hanya sekedar menenangkan diri sendirian. Satu pintu lagi untuk menuju kamar mamanya. Aku dan teh Dewi masuk dari pintu terakhir.
Di kamar itu, aku tertegun. Tak pernah sekali pun membayangkan akan berada di kamar tidur sang idola yang sangat populer dimasanya hingga kini. Pikiranku pun menerawang jauh ke belakang.
Ketika itu, jelang akhir 1990, saat Bintang Kehidupan sedang meledak di pasaran. Nike Ardilla tampil di sebuah pentas di Padang. Aku lupa entah pentas apa. Aku yang saat itu menjadi anggota Kawula Muda Arbes Fans Club (KMA FC), wadah berhimpunnya fans radio Arbes di Jalan Permindo (kini, kantor Arbes FM di Jalan Ratulangi), Padang, bertemu Nike Ardilla tanpa sengaja.
Saat itu, aku baru saja sampai di radio Arbes. Tak lama berselang, masuk seorang gadis manis, berkostum kaos putih oblong, bercelana levis biru selutut. Aku yang saat itu masih anggota baru, sempat menduga kalau gadis manis yang baru masuk tersebut juga fans Arbes. Aku sempat menjawab salam dan menyambut uluran tangannya. Tak lama setelah bersalaman, aku baru sadar bahwa yang baru masuk tersebut bukan fans, tapi justru artis yang ditunggu-tunggu kru Arbes saat itu.
Tutur sapanya lembut. Ia menyapa semua yang ada di studio tersebut dan kemudian berdialog lepas di ruangan rapat, setelah ia dialog interaktif secara langsung dengan pendengar radio tersebut.
Teh Dewi menceritakan, hampir setiap hari ada kunjungan fans Nike Ardilla ke museumnya. Kunjungan semakin ramai saat jadwal libur. Pengunjungnya beragam usia. Tak hanya orang dewasa, usia di atas 40-an tahun, seiring usia dengan Nike Ardilla yang kelahiran 27 Desember 1975 atau generasi di atasnya.
Fans-fans Nike Ardilla justru ada yang usianya jauh di bawah Nike Ardilla, atau lahir justru setelah sang idola meninggal dunia, akibat kecelakaan tunggal di Bandung, 19 Maret 1995. Tak sedikit fans usia SMA dan SMP yang datang dan mengidolakan teh Keukeu, sapaan akrab Nike Ardilla.
Kehadiran fans, pengagum dan pecintanya, semakin membludak pada dua peristiwa penting dalam kehidupan anak dari pasangan Raden Eddy Kusnadi dan Nining Ningsihrat. Dua peristiwa penting itu, bertepatan tanggal kelahirannya dan tanggal wafatnya, ratusan bahkan ribuan fans berlaturrahmi ke kediaman orang tuanya, berkumpul di museumnya di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung,  berziarah di makamnya,  di kompleks pemakaman keluarga di desa  Imbanegara, Ciamis, Jawa Barat. Mereka yang datang berasal dari berbagai kota dan dari berbagai lapisan usia.
Fenomena Nike, Si Bintang Kehidupan, sesuai dengan judul album keduanya, setelah Seberkas Sinar, hingga kini, sekali pun  wafat 22 tahun silam, tetap populer. Fansnya terus bertambah. Museumnya terus didatangi. Peziarah masih sering ke makamnya. Selain Mama Aku Ingin Pulang diluncurkan setelah kepergiakannya, juga diluncurkan album Nyalakan Api. Walau album Nyalakan Api hampir sama dengan materi yang  pada album Bintang Kehidupan, namun penjualannya tetap luar biasa, terjual 1,7 juta keping, sedangkan Bintang Kehidupan yang diluncurkan akhir 1989, terjual hingga 2 juta keping. Penjualan album yang fantastis untuk masa tersebut, juga hingga sekarang. *

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...