26 December 2017

Memendam Rasa








Pengkhianatan Rabiatun telah membakar ubun-ubunnya. Badri tak terima. Ia merasa seakan dipermainkan. Cintanya dipermainkan. Hatinya diaduk-aduk. Harga dirinya sebagai lelaki seakan dikencingi.
Badri tak pernah menduga kalau Rabiatun mengkhianatinya. Ia memiliki dan kemudian memendam rasa pada Rabiatun sejak masih kanak-kanak. Disimpannya rasa itu rapat-rapat. Tak seorang pun yang tahu, termasuk Rabiatun, sampai dirinya mengatakan langsung pada gadis pujaannya itu.
Badri membentang lembaran panjang. Ia sadar, Rabiatun  tak pernah sepatah kata pun membalas ucapannya. Tak juga pernah mengangguk, namun perubahan sikap Rabiatun yang semakin manis, kian manja kepadanya, sudah cukup baginya sebagai pesan balasan dari gadis itu.

Badri sejak lama sudah menyukai Rabiatun. Ia sudah menyukai cewek itu  sejak masih sama-sama bersekolah di SD yang sama. Ketika terjadi perubahan sikap dan kesehariannya saat menginjak remaja, Badri tak merasakan. Ia tetap melihat sosok mendekati sempurna yang dimiliki Rabiatun. Perubahan itu tak disadari Badri. Ia cinta mati.
Cinta mati itu pula yang memaksa Badri  mengamati dan mengawasi gerak-gerik,  Rabiatun. Sekali pun sudah lama diincar, namun keduanya selalu mencuri-curi kesempatan untuk bertemu dan bicara.  Badri sangat takut dengan aturan yang ada di kampungnya. Tapi respon dari Rabiatun itu sudah memberikan angin dalam dirinya, ia tak bertepuk sebelah tangan. Ungkapan cintanya telah berbalas.
Norma sosial yang dilandasi nilai-nilai agama masih sangat kental. Tak akan pernah ditemukan sepasang insan yang bukan muhrim berada di suatu tempat, atau bicara berduaan. Apa pun alasannya, apa pun kondisinya, jika ada yang melihat dan mengadukan kepada warga atau tetua adat, dapat dipastikan mereka akan diberikan sanksi tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.
Hukuman terberat yang dirasakan masyarakat, bukan hukuman dalam bentuk material, tetapi sanksi sosialnya. Pasangan yang diadukan diminta berdiri di halaman balai adat, kemudian dicambuk di depan umum. Ayunan cambuknya tidak keras, tidak meninggalkan bekas sedikit pun, namun rasa malulah yang akan tersisa di sepanjang perjalanan hidup mereka. Rasa itu lebih sakit dari cambuk. Bekasnya ada sepanjang masa.
Cerita  mande pada Badri, ketika ia masih remaja, sebelum dirinya menikah, ada temannya yang mendapatkan hukuman cambuk.  Ia diketahui berada di hutan bersama seorang lelaki yang bukan muhrimnya.
Pengakuan teman  mande  tersebut, pertemuan itu hanya kebetulan saja. Ia pulang mengambil dedaunan untuk obat panas adiknya, lalu bertemu seorang lelaki yang tak dikenal. Lelaki itu tersesat. Ia kemudian memberi petunjuk jalan keluar dari hutan. Ketika mereka berduaan itu, sekelompok penduduk yang pulang berburu memergoki mereka. Keduanya diarak ke balai adat. Tak ada kesempatan membela diri yang diberikan kepada mereka. Keduanya harus menjalani hukuman.
Ia tak kuat menjalani kehidupan. Dirinya merasa dihakimi tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Selepas hukuman tersebut, ia sering bermenung, lalu tersenyum sendiri, kemudian ia ketawa sendiri, hingga akhirnya terpaksa dipasung oleh keluarganya. Ia kemudian ditemukan meninggal dalam pasungan.
Setelah remaja, Rabiatun tidaklah terlalu istimewa. Biasa-biasa saja. Ia juga bukan bungo nagari[1]. Kecantikannya belumlah seberapa jika dibandingkan Syarifah, atau Marhamah. Apalagi jika dibandingkan dengan Fatimah, bungo nagari.  
Perubahan seiring perjalanan waktu sangat kentara,  tapi Badri seakan tak menyadari. Pertumbuhan dan perkembangan gadis-gadis di nagarinya bergerak cepat. Rabiatun memang menonjol, namun ia dinilai orang kampung sebagai artis kehilangan pentas. Ia bukanlah artis, namun seringkali dandanan dan penampilan sedikit berlebih bila dibandingkan kawan-kawan sebayanya.
Fatimah, Syarifah, Marhamah dan belasan gadis sebaya mereka, masih tampil dengan kesederhanaan, masih alami. Mereka masih sedap dipandang, bagaikan bayi dalam gendongan. Berbeda jika dibandingkan dengan Rabiatun. Badri tak merasakan perbedaan itu, ia justru melihat kalau gadis incarannya itu paling sempurna.
Jika di pos ronda atau lapau ada yang membicarakan perihal anak gadis di nagari, tak sekali pun sindiran tentang penampilan Rabiatun yang menyangkut dalam hati mau pun pikiran Badri. Ia seakan tak merasa kalau kritik itu ditujukan orang banyak kepada Rabiatun. Badri merasakan, apa yang diungkapkan orang-orang tersebut hanyalah sebuah keiirian belaka.
Tradisi di kampung Badri memang begitu. Jika memberikan apresiasi atau memuji seseorang, maka orang yang memberikan apresiasi atau memuji diperkenankan  menyebutkan secara detail sosok yang dimaksud. Hal tersebut dimaksudkan agar mereka yang belum tahu, agar mereka yang tak mengenal, bisa menjadi tahu secara lebih jelas, terang dan pasti. Bagaimana pun, orang yang dimaksud tentu punya kelebihan sendiri. Jika tidak, tak mungkin mereka diapresiasi.
Berbeda jika memberikan penilaian buruk atau negatif pada seseorang. Jika penilaian buruk hendak disampaikan juga ke umum, maka mereka yang hendak menyampaikan harus pintar-pintar. Harus jago mencari kalimat yang tepat, harus mampu memberikan ilustrasi yang jelas, namun tidak dibenarkan menunjuk hidung langsung kepada sosok yang dimaksud.
Berpantang bagi orang-orang di kampungnya untuk membeberkan penilaian buruk terhadap seseorang. Penilaian buruk adalah sebuah aib, maka aib harus ditutup. Jika harus juga dibeberkan, maka wajib mencarikan kata, kalimat atau analogi yang tepat untuk disampaikan. Jika hal ini diabaikan, justru mereka yang menyampaikan persoalan secara telanjang tersebut yang akan dikucilkan masyarakat.
Bagi mereka yang piawai, kritikan dan gambaran buruk seseorang yang disampaikan dalam bentuk bertutur, memainkan analogi dengan pilihan kalimat-kalimat yang biasa, justru bisa dikeluarkan di hadapan orang  dimaksud. Penyampaian tersebut langsung mengena. Orang yang dimaksud tak akan marah sebab tak ada yang tahu. Mereka pun biasanya tidak menanggapi secara vulgar. Jika ditanggapi secara vulgar, takut terditeksi oleh orang lain.
Badri pun demikian. Ia tak menanggapi secara vulgar. Ia yakin, sejak masih tergila-gila pada Rabiatun, diyakininya belum seorang pun yang tahu. Ia masih menyimpan rapat-rapat tentang perasaannya. Ia tak mau membeberkan kepada siapa pun. Baginya, isi hati dan perasaan adalah milik pribadi. Hak privasi. Tak seorang pun yang boleh tahu. Kalau pun  ia harus memberikan kepada orang lain, tentu karena satu hal saja; sudah saatnya diketahui orang lain! Perasaannya itu baru dibeberkannya kepada Mak Pado, dukun kampung yang bersemayam di pinggang gunung berapi di nagari subarang.
Badri menerawang panjang. Ia harus membuat perhitungan. Ia mulai kalap. Gadis  kampung yang telah memenjara hati dan perasaannya harus segera ditaklukkan. Ia tak mau berlama-lama memendam rasa.
Jika Rabiatun benar-benar lepas dari genggamannya, maka ia akan menanggung rindu sampai mati. Tak ubahnya seperti memandang ikan di lautan. Ikannya kelihatan, namun tak  bisa ditangkap dengan tangan. Atau, seperti melihat telur emas di kandang ular. Ia tahu kalau telur itu sangat berharga, namun dijaga ketat ular berbisa.







[1] Kembang desa

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...