20 December 2017

Pengkhianatan Rabiatun







Di kamar berdindingkan palupuah[1], Badri baru saja mengenakan pakaian, setelah seluruhnya dilepas ketika mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuah tapian[2]. Bunga tiga rupa dari tiga tapian, bukanlah perkara mudah untuk mendapatkannya. Badri harus berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Banyak syarat yang harus dipenuhi agar semua bahan yang dicari bisa dipakai sempurna.
Jenis bunganya tak boleh sama. Warnanya   tak boleh sama. Ukurannya mesti berbeda. Jumlah kelopak atau tingkatan kelopaknya harus berbeda. Posisi saat memetik bunga juga harus dibedakan. Satu tapian hanya boleh mengambil satu bunga.
Persyaratan terberat yang harus dijalani Badri, bunga-bunga tersebut tak akan ada gunanya jika saat dicampur dengan rempah-rempah yang diberikan Mak Pado ada yang layu. Semua bunga harus tetap segar saat mandi dilakukan. Artinya, bunga-bunga itu sudah harus terkumpul tak boleh lebih dari sehari-semalam.
Badri harus mencari dan menelusuri satu persatu tapian yang memiliki bunga sedang mekar.  Tak hanya keliling kampungnya, tetapi juga harus mengelilingi kampung-kampung tetangga. Ada banyak tapian yang diketahui dan didatanginya, namun tak semuanya memiliki bunga, atau kalau pun ada bunga, ada beberapa tapian yang memiliki bunga sejenis.
Badri baru memulai aksinya ketika subuh datang menjelang. Ia mulai memetik dengan sangat hati-hati, kemudian menyimpan dan membawa bunga-bunga tersebut lebih hati-hati. Persyaratannya, disetiap tapian, hanya boleh memetik sekuntum bunga saja. Tak boleh lebih. Tak boleh ada kelopaknya yang patah apalagi terpotong.
Prosesi selanjutnya, ia harus mengingat gadis yang telah mempenjara hatinya. Dibukanya bungkusan yang diberikan Mak Pado, dukun terkenal di Nagari Subarang. Tempat orang mengadukan urusan cinta dan guna-guna.
Mak Pado sebenarnya bukan penduduk asli Nagari Subarang, tak ada yang tahu asal usulnya. Ia sudah ada di nagari itu sejak dibawa kakeknya. Gubuknya jauh di tengah hutan, di pinggang gunung berapi. Jarang ada yang datang ke gubuknya. Kalau pun ada, umumnya untuk urusan guna-guna. Itu pun biasanya dilakukan malam hari, secara sembunyi-sembunyi. Agar orang tak tahu.
Bagi masyarakat  nagari,  sekali pun jauh dari keramaian, jauh dari kehidupan gemerlap, namun datang ke dukun adalah aib, apalagi jika diketahui orang lain. Sangat jarang orang mau menemui Mak Pado. Jika  ada yang datang ke sana, dipastikan kehadiran mereka secara sembunyi-sembunyi.
Jangankan sengaja menemui Mak Pado, jika kebetulan bicara sebentar saat berpapasan di jalan atau di pasar, biasanya orang yang berpapasan akan menghindar secepatnya. Mereka takut, jangan-jangan nanti orang yang melihat akan salah menyimpulkan pertemuan tersebut. Situasinya akan parah jika benar-benar tertangkap basah.
Pernah, ketika Badri masih kecil, ia menyaksikan orang terpandang di nagarinya diusir dari nagari itu. Padahal, jauh sebelum kejadian, orang tersebut merupakan tempat mengadu masyarakat bila kesusahan. Tempat bertanya masyarakat jika ingin tahu sesuatu. Tak ada persoalan yang tak terselesaikan olehnya.
Ia terpandang bukan karena kekayaannya saja,  namun disegani  karena keluasan pikiran. Mampu mencarikan jalan keluar terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Berapa pun beratnya masalah yang menimpa orang yang datang kepadanya, selalu saja dapat diselesaikannya. Ada saja jalan keluarnya.
Jika dari sudut kekayaannya, ia masih kalah dibandingkan Angku Kari, yang menjadi wali nagari selama 35 tahun. Angku Kari sudah tergolong orang berkemampuan sejak muda. Ia mewarisi pusaka orang tuanya secara utuh karena ia anak tunggal. Sejak muda, orang tuanya sangat kaya. Setiap usaha yang dilakukan, selalu saja hasilnya berlipat ganda. Orangtuanya rajin sadakah.
Sawah, ladang, peternakannya tidak dia yang mengelola. Hasil yang dia terima dari bagi hasil dengan pengelolanya saja, sudah melebihi kebutuhannya. Sudah mampu membiayai tiga orang anaknya kuliah di Jawa. Sudah mampu pula untuk disumbangkannya kepada orang yang membutuhkan. Pengabdiannya di kampung benar-benar pengabdian yang utuh. Ia tak lagi  memikirkan kebutuhan hariannya. Selama 35 tahun jadi wali nagari, ia berbakti sepenuh hati.
Tapi, bagi Mak Yusuf,  kalau pun kekayaannya di bawah Angku Kari, namun semua orang kampung tahu jika ia orang penting di balik sukses Angku Kari memimpin nagari. Setiap akan ada pemilihan wali nagari, orang akan menanti saran  Mak Yusuf.  Kalau Mak Yusuf sudah bertitah, semua yang ada sebelumnya akan mentah lagi.   Ucapan, pesan dan kata-kata Mak Yusuf sangat didengarkan orang. Seakan ada magnet dari pesan tersebut.
Mak Yusuf adalah sosok penting di belakang Angku Kari. Ia mendukung semua program kerja Angku Kari.  Sepanjang kepemimpinannya, banyak perkembangan yang dirasakan masyarakat. Badri juga merasakannya. Berlahan dan pasti, kesejahteraan masyarakat terus meningkat.
Dua tahun setelah Angku Kari meletakkan jabatan, tanpa sengaja ada yang melihat Mak Yusuf beberapa kali menemui kakek dari Mak Pado, dukun terkenal ketika itu.  Sejak saat itu, masyarakat seakan lupa pada kebaikan Mak Yusuf. Ia dikucilkan, kemudian diusir sepanjang adat. Tak boleh lagi menampakkan batang hidungnya di kampung mereka.
Mak Yusuf meninggalkan kampung halamannya secara tidak terhormat. Masyarakat tetap mengizinkan keluarganya, tapi tidak bagi Mak Yusuf,  tapi keluarganya hanya mampu bertahan selama dua pekan. Sejak mereka pergi, sampai sekarang tak pernah ada kabar berita tentang Mak Yusuf dan keluarganya. 
Rumah dan pekarangannya kemudian dirawat oleh bakonya  yang juga mengelola sawah dan ladang peninggalan Mak Yusuf. Hasil sawah dan ladang yang menjadi bagian dari Mak Yusuf, titipkan kepada Angku Kari, sesuai pesan keluarga Mak Yusuf sebelum pergi. Kalau pun masyarakat kecewa dan marah karena ketahuan Mak Yusuf menggunakan jasa dukun, namun tak seorang pun yang mau mengganggu, apalagi merusak harta peninggalan Mak Yusuf.
Jika teringat masa lalu, saat ia masih kecil dulu, sebenarnya Badri takut juga untuk mendatangi Mak Pado, atau cucu dari dukun yang dulu didatangi Mak Yusuf. Sebelum benar-benar membulatkan hati, memantapkan  keyakinan mendatangi Mak Pado, ia sudah mempelajari kebiasaan masyarakat. Ia tahu kapan masyarakat ke hutan, ke sawah, ke ladang dan ke tapian. Ia tahu kapan masyarakat benar-benar beristirahat dan lengah.
Ketika masyarakat lengah, Badri masuk ke hutan. Ia membawa bungkusan kecil, seperti halnya orang pergi berburu. Keluar dari kampungnya menuju nagari seberang, kemudian menyeberangi sungai berair terjun yang tak pernah didatangi seorang pun ketika hari Jumat.
Sejak zaman dahulu, konon berpantang bagi siapa saja untuk mendatangi apalagi menyeberangi sungai berair terjun tersebut pada hari Jumat.  Tak seorang pun yang tahu apa akibat jika melanggar pantangan. Badri  mengambil jalan melingkar. Ia menyusuri kaki gunung, kemudian terus mendaki menelusuri jalan yang dibukanya sendiri. Ia tak mau mengambil risiko dengan mengikuti jalan yang biasa ditempuh pendaki.
Badri tak peduli. Ia terus menelusuri belantara kaki gunung dan terus mendaki ke pinggangnya. Ia tahu titik mana yang akan dituju. Ia paham benar dengan rute yang akan ditempuh. Ia tak mengalami kesulitan apa pun untuk sampai ke pondok Mak Pado.
Sepulang dari pondoknya, Mak Pado memberikan buntalan kecil kepada Badri.  Bungkusan yang sudah hampir dua tahun diterimanya dari Mak Pado, dibukanya dengan perasaan bercampur aduk. Ia baru diizinkan membuka bungkusan tersebut dengan persyaratan dan ritual khusus.
Syaratnya, ia tak boleh membuka sebelum mandi rempah dan bunga tiga rupa dari tiga tapian. Prosesi membukanya pun dengan ketentuan khusus. Tak boleh asal buka. Ada ritual yang tak boleh diabaikan. Jika tak diindahkan, maka Mak Pado tak akan menjamin hasil yang diinginkan.
Badri pun memulai ritual membuka bungkusan yang diberikan Mak Pado. Selama ini, bungkusan disimpannya sangat rapi dengan cara diikatnya secara tersembunyi di antara  kayu-kayu penyangga atap rumahnya. Tak seorang pun yang tahu, namun Badri bisa melihat setiap saat posisi bungkusan itu.
Dibukanya bungkusan. Berlahan. Sangat hati-hati sekali. Keingintahuan akan isi bungkusan berbalut kain paco[3] hitam sudah mengebu sejak Badri menerimanya. Keingintahuan itu bercampur aduk dengan dendam yang membakar ubun-ubunnya atas penghianatan Rabiatun.





[1] Bambu yang sudah dipotong kecil dan memanjang, kemudian dianyam.
[2] Tujuh tempat pemandian
[3] Sisa-sisa kain berukuran kecil.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...