21 January 2018

Bunian Gadih Bagerai







Badri sudah mengenal Rabiatun sejak kecil. Sejak ingus masih meleleh dari hidungnya, kemudian disapu dengan lengan kanan dari kiri hidungnya ke arah samping kanan pipinya. Saat itu, ia sudah merasakan sesuatu pada gadis tersebut.
Ia sangat menyukai Rabiatun. Sangat mengagumi teman kecilnya itu. Teman semasa mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Bagi Badri, Rabiatun merupakan cewek paling sempurna. Hitam manis, berambut panjang, hidung mancung, berpenampilan tenang. Kesehariannya berbeda dibandingkan anak-anak sebayanya.
Sejak masih kanak-kanak, Badri memandang sosok Rabiatun sebagai sosok anak baik, solehah dan paling sempurna jika dibandingkan kawan-kawannya. Tak mengherankan jika setiap akan tidur, Badri selalu mengingat-ingat apa yang disaksikannya dari aktivitas Rabiatun siangnya. Jika ia tak bertemu Rabiatun, maka biasanya Badri mengulang bayangan sehari sebelumnya, atau hari-hari lain. Ia akan menjemput ulang kisah Rabiatun.
Ketika tumbuh remaja, Rabiatun tampak semakin ranum. Tubuhnya padat berisi, dada dan pinggulnya menonjol ke sana ke mari. Terasa indah untuk dinikmati. Badri tak peduli kata orang. Dalam pikirannya, suatu saat kelak, ia akan mempersunting Rabiatun sebagai isteri.

Badri sudah mencari tahu kepada mande tentang keluarga Rabiatun, tak ada cacatnya. Mereka keluarga sederhana, tak pernah terdengar punya masalah dengan siapa pun. Tak pernah memiliki persoalan. Mande juga sangat mengenal sosok Rabiatun. Tak pernah sekali pun Badri mendengar kabar atau cerita buruk tentang Rabiatun dari mande.
Tapi Badri belum berani memberitahu mande kalau ia memiliki hati kepada Rabiatun. Badri masih takut. Ia merasa belum memiliki pegangan apa pun. Sejak  gagal menyelesaikan bangku Madrasah Aliayah di ibukota kecamatan, ia balik ke kampung. Kegiatan sehari-harinya tak menentu. Selain keluyuran, bermain dengan kawan-kawan sebaya, sekali-sekali ia bekerja serabutan untuk menyambung rokok saja.
Badri pernah beberapa kali diamuk ayahnya, namun kemarahan ayah tidak menyurutkan langkahnya untuk terus keluyuran. Hari-harinya sering dijalani dengan aktivitas tak menentu. Kalau pun ia ke ladang, namun tidak untuk berladang, tapi hanya sekadar bermain-main  saja. Tak jarang bersama kawan-kawannya masih suka mencuri buah-buahan di ladang orang.
Selain kegiatan tak menentu itu, tak ada lagi yang diketahui mande dan ayah. Badri juga tak mau memberitahu. Jika itu dilakukan, ia yakin, pasti mande dan ayah akan mengamuk, sebab yang dilakukannya belakangan adalah perangai buruk. Jika orang kampung tahu, bukan tidak mungkin ia akan dibuang sepanjang adat.
Pernah Badri sudah berniat untuk menghentikannya, namun niat menghentikan itu sejalan dengan melintasnya bayangan Rabiatun saat itu juga. Kejadiaan itu sekaligus menyurutkan hasratnya, sehingga ia terus melakukan kebiasaan barunya.
Ia sudah hafal jadwal Rabiatun ke tapian. Gadis incarannya itu akan ke tapian di luar “jadwal resmi” teman-teman sebayanya  di tapian. Biasanya, Rabiatun sampai di tapian menjelang kawan-kawannya selesai.
Para gadis berada di tapian memilih jadwal agak pagi atau menjelang sore. Biasanya, sesaat sebelum subuh, mereka sudah berada di tapian. Selesai azan subuh, mereka sudah selesai mandi dan kemudian salat subuh di surau. Rabiatun justru mandi di tapian setelah salat subuh, saat matahari hendak naik. Jika tidak saat itu, maka biasanya, Rabiatun akan berada di tapian selepas salat ashar. Pada jam tersebut, nyaris tak pernah ada yang mau ke tapian lagi.
Suatu ketika Badri pernah bertanya kepada mande, kenapa nyaris tak ada perempuan yang datang ke tapian saat selepas ashar. Mande tak memiliki jawaban pasti. Kata mande, itu pun katanya mengutip kata orang-orang tua dulu, datang ke tapian menjelang sore merupakan pantangan. Sore hingga senja merupakan jadwal pergantian hari yang sesungguhnya. Saat pergantian hari itu, biasanya semua jin dan setan keluar dari persembunyiannya.
Kalau pun ada yang ke tapian di saat itu, biasanya hanya untuk keperluan yang sangat penting.  Sangat mendesak. Kehadiran perempuan, apalagi anak gadis ke tapian menjelang sore merupakan sebuah larangan tak tertulis di kampung. Siapa pun orang tua, biasanya sudah menyampaikan larangan tak tertulis itu kepada anak-anak gadisnya.
Konon, kata mande, pernah ada kejadian, di masa lalu. Seorang gadis kampung hilang di tapian, saat ia datang ke tapian untuk mencuci. Sebelum benar-benar dinyatakan hilang, kabarnya seseorang pernah melihat kalau anak gadis itu diculik sosok yang tidak dikenal. Posturnya mirip postur manusia, namun posisinya berjalan miring. Rambutnya menjulur panjang dan tak karuan. Orang-orang menyebutnya Bunian Gadih Bagerai. Sejak anak itu hilang, tak pernah sekali pun muncul dan pulang ke rumah orang tuanya.
Ketika mande masih kanak-kanak, juga pernah tersiar kabar. Ada anak gadis yang hilang di tapian. Ia dibawa Bunian Gadih Bagerai. Anak gadis itu hilang saat ke tapian selepas ashar. Setahu ibu, sudah tiga orang di kampug mereka yang kehilangan anak gadis di tapian.
Sejak kejadian itu, warga menyediakan tempat khusus sesajian menjelang masuk  tapian. Makanan dalam bentuk kue tak boleh ada menggunakan kelapa, begitu pun jika dalam bentuk masakan. Proses memasaknya pun tak boleh langsung bersentuhan dengan tangan. Minuman yang bisa diterima hanya kopi. Tak boleh yang lain. Tak setiap hari sesajian diletakkan. Cukup Senin sore dan Kamis sore.
 Sesajian yang diletakkan di sana juga tak harus banyak. Cukup dua jenis kue, nasi berikut lauknya dalam bentuk gulai dan goren serta segelas kopi. Ukurannya tak harus besar. Cukup separoh menu sekali makan orang biasa.
Antara percaya dan tidak, namun warga tetap meletakkan sesajian sejak dulu hingga sekarang. Entah kapan dimulai, tak ada yang tahu. Kehadiran sesajen itu dimaksudkan sebagai persembahan kepada Bunian Gadih Bagerai, sehingga ia tak lagi datang menjemput dan mengambil anak-anak gadis di kampung tersebut.
Kisah orang tua secara turun temurun, kehadiran Bunian Gadih Bagerai nyaris tak banyak yang bisa menyaksikannya. Ia bisa hilang dari tatapan orang, sementara orang lain bisa melihat secara bersamaan.
Kehadirannya biasanya ditandai dengan desiran angin yang datang tiba-tiba, kemudian membentuk pusaran angin. Titik pusaran angin itu akan kembali berputar selang beberapa menit kemudian. Kehadiran pusaran angin pertama pertanda kehadirannya, pusaran kedua pertanda ia sudah pergi.
Pertanda sesajian sudah dimakan Bunian Gadih Bagerai, tak ada lagi rasa terhadap makanan tersebut. Semuanya hampar. Kopi yang semula pahit atau manis, akan kehilangan rasa. Tak ada lagi rasa kopi atau gula. Hanya rasa air biasa. Makanan lain pun begitu, lepas saja tak ada rasa apa pun, seperti makan angin saja.
Cerita itu bergulir turun temurun. Tak seorang pun yang berani mencoba. Kepercayaan masyarakat, jika ada yang mengambil makanan tersebut, ia akan menjadi incaran Bunian Gadih Bagerai dikemudian hari.
Badri mencoba mencari tahu kejadian itu secara detail, tapi tak seorang pun yang tahu pasti kejadian tersebut secara utuh. Tak tahu kapan kejadiannya secara pasti, juga tak ada yang tahu atau pernah merasakan kehilangan keluarganya. Kejadian yang diceritakan mande kepadanya, merupakan cerita turun temurun yang tak ada ujungnya.
Kalau pun tak ada yang tahu secara pasti keluarga siapa yang hilang dulu, namun orang-orang di kampung tersebut yakin Bunian Gadih Bagerai ada. Incarannya utamanya para gadis. Konon dikabarkan, gadis-gadis tersebut akan dibawa ke kerajaan bunian untuk mengabdi kepada dirinya.
Badri tak ingin incarannya hilang begitu saja. Ia tak ingin gadisnya hilang diculik tanpa kejelasan. Ketika ia mengetahui kebiasaan Rabiatun menjelang sore di tapian, ia bermaksud hendak mengawalnya. Badri tahu jadwal dan kebiasaan Rabiatun pun tanpa sengaja.
Ketika ia pulang berhuru-huru di ladang Mat Ahmad, ia melintas tak jauh dari tapian. Saat itu, ia terkejut mendengar ketipak air yang tidak biasa dari tapian. Ketika pandangannya diarahkan ke tapian, ia melihat ada sesosok tubuh dibalut kain basahan. Ia kemudian memperhatikan secara seksama.
Darah di sekujur tubuh Badri mengalir deras. Ia menangkap sosok yang sedang di tapian adalah sosok yang diidamkannya sejak lama. Rabiatun tampak sedang mandi. Ia seakan menikmati mandi menjelang sore. Badri menatap dalam-dalam. Ia ingin memastikan sosok yang sedang mandi. Ternyata benar, sosok yang sedang di tapian tak lain adalah Rabiatun.
Badri tersentak. Ia mengamati Rabiatun dalam-dalam. Ia tak ingin kehilangan sosok yang sejak kecil sangat disukainya. Ia tak ingin melepaskan pandangan dari sosok yang dicintai, apalagi jika sosok itu benar-benar diculik seperti kisah antah-barantah yang tak memiliki kepastian yang diceritakan mande.
Pandangannya tak lepas dari Rabiatun. Dari kejauhan ia melihat, Rabiatun tampak sedang berkemas. Badri yakin, Rabiatun sudah selesai. Ia pun kemudian bergerak agak menjauh agar tidak diketahui Rabiatun.
Sejak menemui Rabiatun tanpa sengaja di tapian menjelang sore, Badri pun mulai waspada. Keesokan harinya, ia kembali datang ke tapian. Ia berniat untuk mengawal Rabiatun. Ia tak ingin Rabiatun sendirian di tapian. Ia takut, kalau-kalau kisah yang pernah diceritakan mande benar-benar terjadi, dan kemudian dialami Rabiatun.
Secara berturut sejak seminggu terakhir, Badri menuju tapian selepas asyar. Ia ingin mengawal Rabiatun. Sekali pun niatnya untuk mengawal dan berjaga-jaga agar tidak terjadi kejadian buruk pada Rabiatun, tetapi ia harus tetap waspada. Jangan sampai ketahuan. Tak boleh diketahui Rabiatun, apalagi oleh orang kampung.
Tak seorang pun yang bisa dan mau menerima alasan Badri jika tertangkap. Apa alasan? Haruskah memberikan alasan mengawal agar tidak ada yang menculiknya? Apakah alasan itu akan diterima orang kampung? Badri tak yakin. Orang-orang kampungnya tak akan menerima alasan tersebut.
Memasuki hari ke sembilan Badri mengawal Rabiatun, tanpa sepengetahuan gadis itu, tanpa sadar Badri menatap tajam tanpa berkedip ke tapian, persis di saat Rabiatun sedang mandi. Gadis itu membenamkan seluruh tubuhnya ke tapian, lalu berkecimpung. Ia tampak riang dan senang di tapian.
Tiga kali setelah membenamkan sekujur tubuhnya dan kemudian bangkit kembali, ia bergerak ke tapian, lalu menggosok tubuhnya dengan sabun. Ia gosok dari wajah, leher, lengan, tubuh, kemudian tangannya masuk ke balik kain basahan yang sudah sejak tadi mencetak lekuk-lekuk tubuhnya, kemudian tangannya mengerayangi sekujur tubuhnya, hingga kemudian tangan itu menggosok kedua kakinya, naik ke betis, baha dan selangkangannya.



No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...