12 December 2017

Menyimpan Rahasia






Badri tersenyum bangga. Kali ini, ia yakin, usahanya tak akan sia-sia lagi. Dendam yang membakar ubun-ubun akan terbalaskan dengan cinta yang bersemayam dalam dirinya. Dalam dendamnya ada cinta. Cintanya beruntai dendam.
Cinta di dalam jiwanya adalah cinta mati. Tak bisa ditawar lagi. Cinta yang tumbuh sejak pagi, sejak matahari menampakkan diri. Bergelora sepanjang hari. Tak akan pernah mati. Ia sudah memendam rasa pada Rabiatun sejak lama. Sejak ingus masih meleleh dari hidungnya, kemudian disapu dengan lengan kanan dari kiri hidungnya ke arah samping kanan pipinya.
Ia sangat menyukai Rabiatun. Sangat mengagumi teman kecilnya itu. Teman semasa mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Bagi Badri, Rabiatun merupakan cewek paling sempurna. Berkulit kuning langsat, berambut panjang, hidung mancung, berpenampilan tenang. Kesehariannya berbeda dibandingkan anak-anak sebayanya.

Disaat teman sebayanya main merdeka, main congklak, melipat boneka kertas, ia hanya menikmati dari kejauhan. Bertemankan buku pelajaran di tangan. Ketika teman-temannya main lompat tali, ia sedang menolong ibunya. Disaat kawan-kawannya kawan-kawannya berkemas ke surau saat azan berkumandang, ia sudah duduk rapi dibalut mukenah usang.
Sejak masih kanak-kanak, Badri memandang sosok Rabiatun sebagai sosok anak baik, solehah dan paling sempurna jika dibandingkan kawan-kawannya. Tak mengherankan jika setiap akan tidur, Badri selalu mengingat-ingat apa yang disaksikannya dari aktivitas Rabiatun siangnya. Jika ia tak bertemu Rabiatun, maka biasanya Badri mengulang bayangan sehari sebelumnya, atau hari-hari lain. Ia akan menjemput ulang kisah Rabiatun.
Setiap kejadian itu, selalu dihubungkan dengan dirinya, walau sebenarnya Badri tidak  berani untuk mendekati  Rabiatun. Ia selalu merasa mati langkah dan grogi yang luar biasa jika berdampingan.  Itu sebabnya ia membiasakan diri untuk menghindar, kemudian menatap Rabiatun dari jauh.
Badri tahu benar siapa Rabiatun. Mereka satu sekolahan.  Rabiatun setahun di bawah Badri. Lelaki berpenampilan seadanya itu melihat dan memperhatikan Rabiatun ketika cewek itu hendak tumbuh. Ketika mulai tampak  tanda-tanda kewanitaannya  saat duduk di kelas  V. Badri terpesona. Pipinya, senyumnya, tatapannya, aduhai menggoda.
Rabiatun terlihat ranum dan mekar, mempesona dan bau bunga. Ia terlihat sempurna.  Pikiran Badri melayang-layang, membayangkan kemolekan dan keindahan penampilan adik kelasnya tersebut. Sejak saat itu, Rabiatun seakan menjadi sosok yang selalu diawasinya dari jauh. Setiap ada yang hendak mendekati Rabiatun, ia mencoba menghalangi dengan caranya sendiri.
Pernah suatu ketika, saat pulang sekolah, Badri memperhatikan gerak Badrun, teman sekelasnya, agak mencurigakan. Badri melihat langkah Badrun bergerak gontai. Sangat lambat dari biasanya. Ketika Badri melihat ke belakang, berjarak separoh lapangan bola,  Rabiatun berjalan bersama Mirna. Ketika tahu langkahnya  diperhatikan Badri, cowok berambut keriting itu mengajak Badri memperlambat langkah, kemudian berjalan beriringan dengan Rabiatun dan Mirna. Ia mengajak Badri menggoda Rabiatun.
Badri menangkap, Badrun  memulai menebarkan pancing kepada gadis yang disukainya. Kail itu hendak dilepas dihadapannya, sementara ia  sudah menebarkan jala sejak lama. Ketika jalanya belum tersentuh, ancaman justru menghampirinya. Badri merasakan Badrun telah mengancamnya, namun ia ajakan Badrun.
Ia dapat akal. Dikatakannya pada Badrun, ayah Rabiatun sangat galak. Ia tak akan menerima jika anak perempuannya diganggu. Ia mudah marah. Badri pun kemudian mengarang cerita, ia pernah melihat ayah Rabiatun mendatangi rumah orang yang mengganggu anaknya. Ayah Rabiatun  seorang yang  jago silat. Badrun tersadak. Saat itu juga Badrun tak mau melanjutkan rencananya. Ia yakin, Badri pasti serius. Selama ini Badri dikenalnya sebagai teman yang jujur. 
Perihal ayah Rabiatun yang galak, mudah terpancing dan jago silat menurut versi Badri, menjalar sangat cepat kepada anak-anak sebaya mereka. Sejak saat itu, nyaris tak ada lelaki yang mendekati apalagi mengganggu Rabiatun. Badri senang, provokasinya termakan oleh kawan-kawannya, sehingga ia nyaman karena tak ada yang mendekati Rabiatun.
Awalnya memang ada yang  meragukan perihal kependekaran ayah Rabiatun, sebab kesehariannya  biasa saja. Juga tak seorang pun yang pernah melihat kalau ayah temannya itu berlatih. Tak ada yang tahu dimana sasarannya. Keraguan itu hanya sesaat, sebab Badri memberikan alasan yang masuk akal. Seorang yang jago silat, selalu memiliki sikap rendah hati. Jagoan sejati tidak akan pernah petantang-petenteng.
Rabiatun bingung. Kabar kalau ayahnya jago silat, sampai ke telinganya, sementara ia tahu kalau ayahnya bukan seorang pandeka. Ia tak pernah tahu kalau ayahnya pernah berlatih silat. Ketika ia menanyakan,  sang ayah justru menjawab sambil tertawa.
”Latihan saja tak pernah, mana mungkin bisa menjadi jagoan,” kata ayah.  
Awalnya Rabiatun risih juga, ayahnya tidak seperti cerita yang berkembang di tengah kawan-kawannya. Belakangan ia merasa beruntung. Sejak kabar ayahnya jago silat, tak ada yang berani mengganggunya.
Ketika tamat SD, Badri melanjutkan ke SMP Negeri di kampungnya. Setahun kemudian, saat  Rabiatun tamat SD, ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Swasta di kampung sebelah. Badri tak menduga. Ia pun kemudian berniat menyusul. Ia pindah sekolah. Tak seorang pun yang tahu alasan Badri. Banyak yang mengatakan kalau dirinya bodoh, pindah dari sekolah negeri ke sekolah swasta.
Saat kawan-kawan dan lingkungannya mengejek, orang tuanya justru mendukung. Mande[1]  merupakan orang pertama yang mendukung keinginannya. Ia meyakinkan mande, sekolah barunya merupakan tempat terbaik untuk bekal hidup dikemudian hari.
Keinginan Badri awalnya ditolak ayahnya. Kata ayah, semua sekolah sama saja. Soal bekal ilmu agama tak hanya di bangku tsanawiyah, tapi bekal mengaji di surau, mengaji bersama ayah dan di SMP,  tak akan jauh bedanya dengan bekal yang  didapatkan di tsanawiyah.
”Kamu tahu biaya di sana? Tak akan sanggup ayah membiayainya,” kata ayah.
Badri terus meyakinkan ayahnya. Ayah terus menolak. Katanya, tak perlu pindah-pindah sekolah. Selesaikan saja di sekolah sekarang.  Desakan Badri justru dipandang sebagai langkah maju oleh mande. Badri mendapat dukungan. Mande ikut  mendesak ayah. Akhirnya, lelaki pekerja kasar itu menyerah.
Ayah dan mande  mengantarkan Badri mendaftar di tsanawiyah. Uang yang dibawa tak cukup untuk biaya masuk.  Keduanya meyakinkan akan membayar semua kewajiban secepatnya. Mereka pun berharap agar pihak sekolah berkenan, apalagi kepindahan anaknya tersebut karena ingin  mendapatkan pendidikan agama yang lebih baik dibandingkan di sekolah umum. Pihak sekolah menerima dengan syarat, semua biaya harus diselesaikan paling lambat dalam kurun waktu tiga bulan.
Ayah harus banting tulang untuk melunasi kekurangan biaya masuk. Ketika langkahnya terasa berat, ayah pun kemudian memaksa Badri untuk ikut bekerja bersamanya separuh hari. Ketika Badri sekolah pagi, maka sepulang sekolah ia harus mampir ke tempat ayah bekerja. Jika ia sekolah siang, maka paginya harus bekerja terlebih dahulu.
Badri mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Tangannya ringan menolong orang kampung. Apa pun yang diberikan orang kampung sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya, diterima Badri dengan lapang dada. Ada yang memberikan beras, gula, ubi, petai, jengkol, semangka dan hasil ladang lainnya, diterimanya dengan senang hati.
Badri tak merasakan kesulitan.  Ayah dan mande senang melihat ia lebih bersemangat sekolah dan bekerja. Semangatnya menyala-nyala. Keduanya sangat gembira. Keduanya beranggapan Badri adalah sosok anak yang bisa dibanggakan. Mau masuk sekolah agama. Ada perubahan nyata dalam hidupnya.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, keseharian Badri justru jauh dari bayangan orang tuanya. Ia tak seperti yang dibayangkan. Tak seperti yang diharapkan. Kehadirannya di sekolah baru bukan karena perubahan cara berpikir, tetapi tak lebih untuk bisa setiap hari memperhatikan Rabiatun, bintang segala bintang yang pernah ditatapnya. Bintang yang tak pernah redup di matanya.
Ketika Badri menyelesaikan pendidikan di tsanawiyah, Rabiatun baru naik ke kelas III. Badri bingung. Ia tak tahu harus kemana. Ia tak tahu, apakah  setelah tamat tsanawiyah, Rabiatun akan meneruskan pendidikan ke Madrasah Aliyah atau ke SMA di ibukota kecamatan?
Ayah memaksanya melanjutkan ke Madrasah Aliyah, Badri tak bisa berbuat banyak. Ia tak mau rahasianya terbongkar. Ayah dan mande memandang dirinya sebagai anak baik. Ketika Rabiatun tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, semangat  Badri pun tak lagi mengebu-gebu, seperti saat ia meminta pindah dan kemudian masuk ke tsanawiyah.
Madrasah Aliyah diselesai Badri sebelum datang masanya. Tiga kali peringatan tak cukup menyadarkannya. Tiga kali ayah ke sekolah tak cukup membuatnya insyaf. Panggilan ke empat, ayah tak datang. Ayah malu. Sejak saat itu pula, Badri diberhentikan. Ia tak cukup hitungan jari masuk dalam tiga bulan terakhir. Hari-harinya dihabiskan untuk mengintai dan menarik perhatian Rabiatun.








[1]  Ibu

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...