25 September 2013

Dulu Kau Datang, Lalu Kau Pergi, Kini Datang Lagi

Oleh: Firdaus 



Kawan. Aku bahagia ketika dapat kabar kau sudah kembali ke kampung kita. Aku senang karena kau sudah pulang. Aku bangga karena kau adalah teman lama yang membanggakan. Kau pulang untuk menemui saudara-saudaramu.
Kita memang belum sempat berjumpa, aku belum sempat menemuimu. Kamu juga belum menemuiku. Aku tahu kalau kamu begitu sibuk. Sangat sibuk, malah. Aktivitasmu sangat bertumpuk.
Dua hari lalu, aku jumpa Suara, sahabat kita yang tinggal sudut kampung. Kamu masih ingat dia-kan? Suara banyak membantumu lima tahun lalu. Kemudian ia mengantarkanmu duduk menjadi orang terhormat di ibukota.
Kepadaku Suara mengabarkan, ia sudah bertemu kamu sebulan lalu. Katanya, kamu semakin gagah. Pakaianmu sudah bersanding. Sepatumu mengkilat. Kamu semakin necis. Kamu semakin berwibawa. 
Ia mengambarkan betapa sibuknya kami selama di kampung. Kamu menemui seluruh orang kampung. Tua muda. Siapa pun kamu datangi. Apa pun undangan yang datang untukmu, kamu akan datang pada hajatan tersebut. Katamu, wajib untuk memenuhi undangan, apalagi undangan saudara atau orang kampung sendiri.
Kamu tak hanya sekadar datang. Kamu juga membawa oleh-oleh. Kamu bagikan semuanya untuk orang-orang yang hadir pada undangan acara tersebut. Kamu kemudian juga membantu pembangunan pos ronda, balai pemuda, pembangunan surau, membuka jalan, memberikan bantuan bibit, membantu bertumpuk-tumpuk pupuk. Kamu hebat. Aku bangga padamu.

Kawan. Rasa penasaranku terhadapmu, akhirnya terjawab. Informasi yang disampaikan Suara, ternyata benar. Kamu benar-benar gagah. Kamu semakin terpandang. Aku menangkap aura itu walau hanya menatap balihomu di jalan masuk kampung kita, kemudian beberapa gambarmu di banyak tempat di kampung kita. Di mana-mana ada saja gambarmu. Di tempel di balai pemuda, di pos ronda, di gapura setiap jorong, nagari, juga ada di pangkal jembatan, di pohon-pohon, di tiang listrik dan di sepanjang jalan lainnya. 
Kamu benar-benar semakin gagah. Wajahmu semakin putih dan bersih, pipimu sedikit berisi dengan raut yang lebih muda. Pasti kamu di ibukota sudah sukses, sudah hidup enak sekarang, sehingga tak lagi berpanas-panas seperti dulu. Kamu sudah naik dan turun mobil,  kemudian duduk di kantor ber-AC. Apa yang diinginkan bisa didapatkan. Tidak seperti masa dimana dulu harus “mangakeh” untuk mendapatkan sesuap pagi dan sesuap petang.
Kawan. Sebenarnya kemarin aku datang ke balai desa. Aku semakin kagum padamu. Aku bangga punya kawan yang sukses. Sudah menjadi orang hebat. Aku juga tidak berkecil hati kalau kamu tidak melihatku ketika itu. Aku tidak berkecil hati. Aku maklum, kamu sudah sangat sibuk mengurus negeri ini. Kamu berurusan dengan orang-orang hebat setiap hari, sehingga pikiranmu terkuras untuk memikirkan negeri ini. Aku yakin kamu bukan tidak lagi mengenalku mau pun kawan-kawan kita yang lain, tetapi hanya tak ingat saja karena kesibukanmu yang menumpuk. Aku maklum. 
Kawan. Kini kamu datang lagi. Aku tiba-tiba teringat kejadian lima tahun lalu. Dulu, kamu datang.  Ketika itu kamu  melakukan banyak aktivitas di kampung kita.  Kamu menemui seluruh orang kampung. Tua muda. Siapa pun kamu datangi. Apa pun undangan yang datang untukmu, kamu akan datang pada hajatan tersebut. Katamu, wajib untuk memenuhi undangan, apalagi undangan saudara atau orang kampung sendiri.
Kemudian kamu dibantu habis-habisan oleh Suara. Kamu banyak dapat suara yang mengantarkanmu melenggang ke ibukota. Setelah kamu sampai di ibukota, kamu seakan hilang entah dimana. Nyaris tak pernah pulang. Nyaris tak pernah bisa dijumpai orang-orang kampung. Kamu sangat sibuk. Sibuk sekali. Kamu seakan lupa pada kampung kita. Aku maklum, kamu pasti bekerja keras memikirkan nasib negeri ini.
Kini, kamu datang lagi. Kamu butuh dukungan. Tahun depan kamu ingin diantarkan lagi mengabdi untuk negeri ini. Setelah kamu datang lagi hari ini, kamu akan pergi lagi. Pergi begitu saja membawa Suara kami. Setelah itu, melupakan kampung kita lagi. 
Ah, terlalu mudah kamu menebar janji pada kami di kampung ini. []


 Catatan: Dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 22 September 2013




No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...