19 August 2013

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya…

Oleh: Firdaus



Bangunlah jiwanya/ bangunlah badannya…
Untuk Indonesia Raya…

Penggalan lagu itu, sangat popular. Semua warga negeri ini, mestinya wajib hafal dan memahami untaian makna yang terkandung pada lagu Indonesia Raya, karya W.R Supratman. Cobanya nyanyikan agak sejenak dengan penghayatan yang dalam, maka akan menghadirkan gemuruh dalam diri.
Suasananya semakin lain ketika dinyanyikan sesaat sebelum laga Timnas Indonesia U-22 melawan Timor Leste, di Stadion Utama Riau, tadi malam. Gelegarnya terasa menyusuk relung-relung hati. Rasa itu pasti lebih dahsyat dirasakan oleh pemain. 

Inilah spesialnya sepakbola. Setiap akan memulai ivent antar negara, dipastikan diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan.  Pada multi-event, lagu kebangsaan dinyanyikan saat penghormatan pemenang yang memperoleh gelar juara atau medali emas. Perlakuan ini sama untuk kunjungan kenegaraan bagi kepala negara.
Seorang kawan menyebutkan, jika saja pelaku olahraga di negeri ini menghayati, memaknai dan memainkan perannya secara sungguh-sungguh, sesuai pesan dalam lagu tersebut, diyakini kejayaan olahraga negeri ini tak akan tertandingi negara lain.
Pada era 1960-an hingga 1980-an, pada cabang sepakbola, misalnya, Indonesia hanya bersaing dengan Thailand untuk Asia Tenggara. Juga nyaris menembus Piala Dunia 1986. Setelah itu, nyaris tak banyak yang bisa diharapkan. Malaysia sudah sering mempermalukan Timnas Indonesia. Negara kecil; Singapura, tak jarang pula mempecundangi Indonesia. Cabang lain juga tak jauh berbeda. Bidang lain juga begitu, setali dua uang.
Sudahkah dibangun jiwanya, sudahkah dibangun raganya, sesuai pesan bijak pada lagu kebangsaan? Inilah yang menjadi persoalan selama ini. Sang kawan menyebutkan;  jiwanya belum terbangun, raganya belum terisi utuh. Yang sudah? Baru dibangun fasilitas pisik, itu pun masih serampangan.
Bagaimana bisa membangun jiwa,  jika jiwa orang-orang yang seharusnya membangun jiwa anak-anak muda tersebut tidak memiliki jiwa pula? Terhadap hal ini, suatu ketika, saya pernah berkunjung ke PPLP Padang. Tempat yang seharusnya menjadi “kawah candradimuka“ untuk mempersiapkan atlet berprestasi terbaik di Sumbar, ternyata tidak mendapatkan perlakuan terbaik. Padahal, dalam hitung-hitungannya, mereka dibiayai dan dipelihara oleh negara secara utuh. Kamp para atlet tersebut sangat memiriskan, tak ubahnya barak buruk yang memprihatinkan.
Itu baru dari sisi tempat mereka beristirahat dan tinggal selama dalam pendidikan. Belum lagi dikaji soal apakah mereka yang masuk ke sana benar-benar berprestasi dan lolos seleksi sesuai standar? Apakah fasilitas yang didapatkan mereka sesuai dengan apa yang dianggarkan?
Perihal keprihatinan terhadap kondisi ini, pernah menjadi catatan tersendiri bagi Syahrial Bakhtiar, sesaat setelah dilantik menjadi Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Sumbar, beberapa bulan lalu.  Bagaimana bisa membangun badannya, sementara jiwanya menghadapi masalah. Berbeda jika dibandingkan dengan membangun fisik ---gedung, stadion, dll--- bernilai proyek. []


CATATAN;
Tulisan ini dimuat pada rubrik KOPI MINGGU, 8 Juli 2012





No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...