19 February 2022

Liga Voli Remaja: Sebuah Pelajaran Berharga

Oleh: Firdaus Abie


Ada tiga pertanyaan mengemuka di lapangan. Pertama; mungkinkah menghadapi program jangka panjang, seorang atlet, pelatih dan sebuah klub tidak butuh ivent antara untuk mengukur pencapaian sebuah proses latihan atau pembinaan?

Kedua; apakah untuk  mencapai prestasi, harus tersedia biaya secara lengkap terlebih dahulu, sehingga baru bisa berproses?


Sebelum kita lanjutkan pertanyaan ketiga, ada baiknya kita bahas dulu dua pertanyaan di atas. Berangkat dari kisah berikut.

Suatu ketika, saya bertemu sahabat lama. Kami sudah lama tak bertemu. Ia mantan pemain voli di tahun 1980-an.

Masa itu, voli di  Sumbar sangat semarak. Hampir setiap saat ada kejuaraan voli. Iventnya bisa antar klub. Antar perusahaan.  kecamatan, kelurahan. Malahan bisa juga laga antar RT. Para pemain voli masa itu menjadi idola di kampungnya.

Sahabat saya itu, setelah menjadi pemain voli, dirinya kemudian mengurus voli. Menjadi pelatih. Menjadi pembina. Masih berurusan dengan voli.

Tapi Ia menyebutkan, belakangan mengurus voli sangatlah rumit. Jarang ada atlet yang mau bertahan. Malahan ada yang tidak mau menggantungkan harapan pada olahraga tepok bola tersebut.

Para remaja itu bukan tanpa alasan. Kata mereka, sekali pun ada  kompetisi bola voli profesional, atau Proliga yang diadakan sejak tahun 2002.

Namun bukan perkara mudah bagi mereka untuk sampai ke sana. Butuh jalan panjang dan terjal, perlu lima hingga tujuh tahun lagi dari usia mereka agar mereka benar-benar matang.

Persoalannya, justru bagaimana bisa matang jika dalam berproses mereka tak mendapatkan sentuhan pertandingan. Tak memiliki kesempatan menguji kemampuan melalui turnamen atau liga seusia mereka? Termasuk sang pelatih. Tak ada kesempatan untuk menguji ilmu yang ada.

Perlahan, tak ada lagi kesibukan di setiap sudut kampung memainkan bola voli. Tak terdengar lagi sorak kegirangan.

Tidak ada lagi terasa  suasana tegang sambil menahan nafas. Tak hanya lapangan yang sepi, tetapi ratusan, dan mungkin ribuan lapangan sudah menjadi kawasan perumahan.

Miris sekali…!

Mengikat Kata Sepakat

Sahabat tersebut kemudian bercerita. Ia dan sembilan pengelola klub beserta pelatih telah mengikat kata sepakat. Menghadirkan kejuaraan voli bagi remaja.

Dalam bentuk liga voli remaja. Usia dibatasi kelahiran 2004 dan setelahnya. Atau, U-17 tahun.

Katanya, mereka membuat ivent kecil-kecilan. Sifat kejuaraannya, liga. Semua klub saling bertemu. Sistem yang digunakan, sekali di kandang dan sekali tandang. Semua sama-sama jadi tamu dan dikesempatan lain jadi tuan rumah.

Ini bukan ivent kecil-kecilan. Malahan hajatan ini adalah lompatan besar. Sekali melompat, lentingannya langsung tinggi menembus awan. Hahahaha…

Saya tak bermaksud mengejek. Tapi benar-benar memberikan apresiasi. Apa alasannya kalau ini ivent kecil? Tidak! Ini bukan ivent kecil.

Mengantarkan kejuaraan ke markas masing-masing klub adalah sebuah langkah sangat maju untuk memancing dan menarik animo lingkungan untuk peduli dengan voli.

Sekaligus membukakan jalan bagi para remaja untuk menapak langkah masa depannya. Salah satu sasarannya,  mungkin bisa saja ke Proliga lalu memperkuat Timnas Voli Indonesia.

Lalu, liga voli remaja ini salah satu “chek point” yang akan mengantarkan ke tujuan itu, kemudian mungkin “chek point” yang lain diantaranya beragam kejuaraan, Popda,  Porprov, Porwil atau Kejurnas Pra PON, PON dan sebagainya. Buah terbaik matang di batangnya.

Menghadirkan Liga Voli Remaja ini, saya berpikir simpel. Tentu sudah tersedia dana memadai.

Tentu ada sponsor yang memberikan perhatian penuh. Apalagi panitia juga akan memberikan dukungan kepada peserta. Tak mungkin tidak! Apa yang bisa diperbuat jika belum ada anggarannya!

Saya diundang pada rapat persiapan akhir panitia. Wowww… sesak nafas ini. Sejauh ini, ternyata pengelola klub dan pelatih hanya punya semangat, tekad dan impian.

Puro mereka belum berisi. Kalau pun ada, asalnya juga dari mereka-mereka juga. Setiap klub harus menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan.

Catat; hanya sebagai jaminan. Bukan untuk biaya pendaftaran. Selesai liga, uang jaminan tersebut dikembalikan lagi.

Pembiayan Liga yang Unik

Sebuah pertanyaan susulan muncul. Bagaimana panitia membiayai liga tersebut? Ternyata, jawabannya sangat unik dan tak masuk akal. Tapi, realitanya liga sudah bergulir dan sejauh ini tidak ada masalah.

Biaya lapangan, nol karena lapangan milik klub. Honor wasit tidak ada. Kok bisa? Wasit berasal dari klub! Spanduk, umbul-umbul di arena pertandingan tanggungjawab masing-masing klub.

Mengapa liga ini tidak mendatangi sponsor? Belum ada sponsor yang tertarik, mungkin karena pemilik produk belum yakin liga ini bisa berjalan. Biasanya, begitulah sponsor!

Pertanyan ketiga; mengapa saat ini tak ada lagi instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta yang mau merekrut atlet untuk bekerja di perusahaan mereka?

Terkait pertanyaan ini, juga sering disebutkan,  instansi instansi atau perusahaan  tak peduli lagi dengan para atlet.

Pada era 1980-an, hampir semua BUMN/BUMD dan instansi pemerintahan serta swasta di Sumbar memberikan perhatian lebih kepada atlet, lalu memberikan pekerjaan kepada mereka. Sejak akhir 1990-an, nyaris tak terlihat lagi.

Ketika voli berjaya,  tahun 1980-an, beberapa klub hebat di Padang saja sangatlah banyak.

Diantaranya, klub atas nama instansi. Ada Telkom atau Perumtel, Merpati (Pos dan Giro), Porkalin (PLN), Rimbawan (Kehutanan).

Lalu,  RBC (Polresta Padang), Porsep (Semen Padang). Klub perusahaan swasta seperti Andespal, Bentoel, serta banyak lagi yang lain.

Klub milik masyarakat, Ivand (Andalas), Porkas (Berokmuaro), AIC (Aru Indah – Lubukbegalung), Desember ’80 (Pampangan).

Selanjutnya Ganesha, Ivadi (Aur Duri Indah), Terpedo (Kuranji), PAS (Parakgadang), GVC (Gurunlaweh), Wira Sakti (Nanggalo), Generasi (Pampangan).

Berikut, Opel (Lubukbuayo), Fhanter (Sawahan), Amor (Ranah), IOS (Saranggagak), Parker (Parakkerakah).

Ada juga klub dari sekolah setingkat SMA kala itu yang populer, seperti Tamara (SMAN 3 Padang) dan SGO.

Berasal dari Klub Kampung dan Sekolah

Rata-rata sebahagian besar pemain instansi pemerintah dan swasta  berasal dari klub kampung atau sekolah.

Klub kampung atau sekolah memproduksi pemain setiap saat. Kejuaraan sangat ramai. Tak hanya antar klub, tetapi juga antar perusahaan atau instansi.

Setiap instansi ingin pula mempromosikan diri. Mereka mendirikan pula sebuah tim.

Berbagai cara dilakukan, termasuk merekrut pemain dengan cara diterima sebagai pegawai atau karyawannya.

Pola ini menarik bagi pemain agar  bisa bekerja di instansi yang memberikan prospek masa depan.

Hubungan saling membutuhkan pun tak bisa terelakan. Kini, hubungan itu yang tidak terhubung lagi.

Tak salah kalau kemudian ada harapan yang mengumpal, Liga Voli Remaja ini hanya permulaan saja dari impian besar nantinya.

Bukan tidak mungkin pula, suatu ketika nanti kebutuhan klub, pemain, pelatih dan instansi akan bertemu pada satu titik yang saling membutuhkan.

Semoga!*

 

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...