26 February 2022

Satiok Dikakoknyo Kameh

Inmemoriam H. Amran Sutan Sidi Sulaiman (Bagian 1 dari 2 Tulisan):


 Berpulangnya H Amran Sutan Sidi Sulaiman ke Rahmatullah, meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Sumbar. Putra Padangpanjang ini merupakan potret nyata  kegigihan seorang laki-laki Minangkabau dalam membangun  bisnis, mengelola dunia pendidikan dan ibadah.

Penulis pernah  dekat dengan orang tua dari dr Rika Amran (Wadir RS Siti Rahmah), dan Fadly Amran (Walikota Padangpanjang) ini, terutama ketika  penulis bersama Khairul Jasmi dipercaya menulis perjalanan 25 Tahun Universitas Baiturrahmah. Perjalanan universitas yang terkenal di bidang kesehatan tersebut, tak bisa dilepaskan dari kakok tangan beliau.

Pada kesempatan ini, penulis menurunkan sebagian kecil perjalanan H. Amran Sutan Sidi Sulaiman yang dikutip dari buku berjudul H. Amran Sutan Sidi Sulaiman, Universitas Baiturrahmah, Berkhidmat untuk Kemajuan Bangsa tersebut. Diterbitkan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. 

H. Amran lahir di Padangpanjang, 20 September 1929. Kepastian tanggal kelahirannya pun, sebenarnya didasarkan pada penghitungan terhadap sebuah peristiwa. Jamak pada masa lalu, orang hanya memperkirakan tanggal kelahiran. Begitu pun tanggal kelahiran H. Amran. Patokan hari kelahiran H. Amran, konon empat tahun setelah Hari Kalam (Hari Gelap) pada masa itu. Hari gelap dimaksud, pernah terjadi di suatu masa, Padangpanjang dan sekitarnya dilanda gempa dahsyat akibat meletusnya Gunung Merapi. Kejadiannya di tahun 1926, dan H. Amran lahir tiga tahun kemudian.

Di masa kanak-kanak, anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Haji Nurdin Datuk Palembang, seorang pedagang dan juga bertani dengan  Siti Djalilah, tak kuat bekerja di sawah, namun tahan jalan keliling kampung, masuk kampung keluar kampung menjajakan kue, sepanjang hari. Jika tidak keliling berjualan kue, ia dapat tugas menunggui lapau (kedai).

Setelah berumur 6 tahun, anak lelaki Minangkabau menjalani kehidupan di surau. Tidak boleh lagi tidur di rumah orang tua. Amran mengaji di Surau Guguak. Surau adalah tempat untuk menempa diri lelaki Minangkabau dengan mengaji, basilek dan pendidikan akhlak serta kepribadian muslim sejati. Pendidikan yang didapatkan di surau berbeda dengan pendidikan formal di sekolah.

Selesai salat subuh, para lelaki muda itu pulang ke rumah orang tuanya. Membantu pekerjaan orang tua, sekolah dan kembali lagi ke surau sebelum magrib. Begitulah setiap hari.

Ketika tentara Jepang masuk ke kampungnya, kehidupan menjadi berubah. Bahan makanan dan kebutuhan harian sulit didapatkan. Semua orang mengalami kesulitan luar biasa. Tak hanya itu saja, sekolah Amran pun terputus ketika ia seharusnya sudah duduk di kelas VI Sekolah Rakyat. Padahal sebenarnya Amran ingin terus sekolah, namun  tak ada aktivitas lagi di sekolah. Ia akhirnya mengikuti ayahnya berdagang. Ia bawa saka (gula merah) dari Kotobaru, lalu dibawanya dengan gerobak ke Sicincin, Pakandangan dan Pariaman. Ketika itu, mereka tidak bisa balik hari itu juga. Perjalanan tersebut menempuh waktu dua hingga tiga hari.

Tahun 1946, ayahnya sudah bisa menyewa kedai di Padangpanjang, kota kecil, berhawa sejuk. Sewa kedai dibayar setiap bulan. Kehidupan di Padangpanjang membawa kenangan tersendiri yang tak akan pernah bisa dilupakan.

Padangpanjang, sejak dulu terkenal dengan kota yang memiliki banyak sekolah Islam. Ada Perguruan Sumatera Thawalib, didirikan Inyiak DR, ayah Buya Hamka. Ada Diniyah Putri, didirikan Rahmah El-Yunusiah bersaudara. Di sini banyak tokoh-tokoh pergerakan.

Tahun 1949, Amran memberanikan diri buka usaha sendiri. Modal awal, berupa sepeda pinjaman merek Hunger, dijualnya. Hasil penjualan dijadikan modal dan sewa kedai di Pasar Padangpanjang. Usahanya terus berkembang. Pergaulannya pun luas. Dua tahun berselang, ia melunasi utang usahanya. Sejak itu pula ia menanamkan prinsip, tak akan berhutang lagi.

Tahun 1952, disaat usahanya terus tumbuh dan berkembang, ia menikah dengan anak kawan ayahnya. Ketika itu, gadis tersebut berusia 19 tahun. Pernikahannya dikarunia empat orang anak; Ermida, Okmawida, Ali Herman dan Ahmad Suwarta.

Lima tahun berselang, ia menikah lagi. Ia menikahi Djusma dan dikarunia seorang anak, Retno Yelvi. Di tahun itu pula ia membeli sepeda kumbang Zandap. Tak banyak orang yang bisa memilikinya ketika itu.

Situasi berubah sangat cepat. Disaat menikmati masa-masa menyenangkan, tiba-tiba masalah melanda negerinya. Tokoh-tokoh di daerah menginginkan perbaikan, namun pemerintah pusat menilai keinginan tersebut sebagai pemberontakan. Terjadi konflik. Perang saudara terjadi. Peristiwa tersebut populer dengan istilah PRRI.

Penangkapan, penculikan, pembunuhan dan kesewenang-wenangan terjadi. Pembakaran di mana-mana. Usaha yang dibangunnya, tak bisa dilanjutkan. Amran pun berpikir keras, apa pekerjaan yang harus dilakukan lagi? Mulanya sempat akan menjadi tukang pangkas rambut. Tak jadi. Lalu, tukang reparasi jam. Tak cukup. Ia berpikir untuk meninggalkan Padangpanjang. Ia harus merantau. Kedua isterinya mengizinkan. Ia kemudian merantau ke Padang. Kota yang tak pernah diketahui sebelumnya.

Amran memboyong kedua isteri dan anak-anaknya ke Padang. Ia kemudian berjualan kain di kaki lima Pasar Mambo (sekarang, Koppas Plaza). Selain berjualan kain, ia kemudian juga kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas.

Ia bisa kuliah karena disaat sebelum menikah, sempat melanjutkan sekolahnya. Disaat menjual barang-barang P&D, selepas berjualan sendiri dari modal pinjam sepeda, ia melanjutkan sekolahnya sehingga memperoleh ijazah SMP dan SMA. Ia tak puas dengan ilmu ekonomi saja. Ia juga kuliah di Fakultas Hukum Unand. Aktivitas tersebut dijalaninya dengan penuh keyakinan. Di saat masa sulitnya, ia menyelesaikan kuliah C1 ekonomi  Unand.

Usaha kain berlangsung hingga 1962, lalu beralih menjadi agen semen. Ia beli semen dari “orang dalam” kemudian dijual ke pasar dengan harga dua kali lipat. Tapi usaha itu berhenti tahun 1965 karena sistem jatah semen untuk “orang dalam” ditiadakan.

Ada kebanggaan tersendiri bagi Amran ketika itu. Ia menyewa gudang di Kampung Cina untuk semen-semennya. Ketika itu, menyewa gudang di Kampung Cina merupakan ukuran sukses seorang pedagang pribumi.

Di Tahun 1965, setelah semen, ia beralih jadi agen garam. Modalnya 12 ton garam, atau Rp 12 juta di masa itu. Usaha garamnya bergerak naik. Dalam kurun waktu singkat, kemajuan usahanya sangat pesat. Ia juga pernah mengimpor garam dari India, sebanyak 5.000 ton.

Tahun 1971, usaha garamnya terus berkembang. Ia kemudian membuka  showroom mobil. Jual beli mobil sangat lancar. Ketika itu, ia beli mobil Rp 950.000--, dijual Rp 1.000.000,--. Labanya sangat besar untuk ukuran masa itu.

H Amran kemudian melihat celah. Ketika itu, kendaraan untuk  angkutan dalam kota di Padang, ketika itu hanya ada bendi, bemo dan datsun. H. Amran mendapatkan rute sendiri, sehingga akhirnya berlalu-lalanglah City Ekspres, atau Mini City Ekspres (MCE). Kendaraan berwarna kuning berpintu belakang itu  dikelolanya sendiri. Semakin terkenallah H. Amran di kancah dunia usaha Sumatera Barat.

Saking terkenalnya, ternyata belakangan ada yang mengganjalnya. Setiap ada tamu pejabat, H.Amran dihubungi, lalu dimintai bantuan untuk mendampingi atau membantu biaya selama tamu tersebut selama di Padang. Makan dan minumnya. Hotelnya. Ada juga yang meminta bantu carikan “selimut hidup” atau membiayai “selimut” tersebut.

Batin H. Amran menolak. Ia tinggalkan usaha tersebut. Dicoba usaha baru. Ia dirikan toko bertingkat (sekarang populer dengan sebutan Rumah Toko,--Ruko) di depan kawasan Terminal Lintas Andalas, bekas kuburan Belanda yang kini berdiri sebuah mall di Jalan Pemuda – Padang.

Konon, toko bertingkat yang dibuatnya tersebut merupakan toko bertingkat pertama di Padang. Walikota Padang Akhiroel Yahya sempat mempertanyakan keberadaan bangunan tersebut.

Setelah di depan terminal tersebut, juga mendirikan banyak toko bertingkat di kawasan Jalan M. Yamin. Persisnya di mulai perempatan Jl Hang Tuah – Jl M.Yamin – Jl. Pemuda dan Jl Hayam Wuruk sekarang. Toko bertingkat tersebut berjejer hingga depan terminal angkot, atau terminal Goan Hoad (sekarang Sentral Pasar Raya,--SPR). Dari banyak toko bertingkat yang dibuat, H. Amran menempati tokonya di perempatan jalan tersebut (sekarang di Padang Photo). Dari sana ia mengelola usaha  garam, gula,  jadi agen semen serta penjahit; Perdana Taylor. Dikerjakannya dengan senang hati.

Di tahun 1970-an itu pula, selepas magrib H. Amran melihat orang ramai disebuah toko di Jl M.Yamin. Toko tersebut sangat terang. Ia perhatikan. Di sana orang menjual televisi (TV). Ketika itu, TV termasuk barang langka dan mewah. Konon, hanya itu satu-satunya tempat orang menjual TV.

Besoknya, H. Amran langsung ke Medan. Ia beli TV di Jl Asia – Medan. Dibawanya TV satu truk. Entah TV baik, entah rusak, ia pun tak tahu bagaimana TV sesungguhnya. Sesampai di Padang, TV disusun dan dipajang di kedainya. Ia tak bisa menghidupkan.

Beberapa hari berselang, ada seorang anak muda melihat-lihat TV. Ia bertanya ukuran TV yang ada di depannya, “ini berapa inchi, Pak Haji?” tanya anak muda itu, ketika itu.

H. Amran tertegun. Ia juga tidak tahu, tapi nalurinya berkata lain. Anak muda ini bertanya dengan istilah yang dia sendiri tak tahu. Ia yakin, istilah yang disebut lelaki tersebut pasti terkait dengan istilah di TV.

“Anda mengerti dengan TV? Tahu cara menghidupkannya?” tanya H. Amran.

Ia menjawab datar. Tahu sedikit-sedikit dengan TV. Tanpa pikir panjang, H. Amran mengajaknya bekerja bersamanya. Ajakan itu pun diterima lelaki tersebut.

Saat usianya 41 tahun, ia naik haji. Tahun 1971, H. Amran menikah  lagi. Ia menikahi Zairat, sekretarisnya di perusahaan garam yang dikelolanya. Pernikahan dengan Zairat dikarunia dua  orang anak; Rika Amran, Sari Amran.

Pada  tahun 1975, ia dipanggil untuk menghadap Gubernur Sumbar Harun Zein. Persoalannya, kapal garam milik H. Amran ditahan di tengah laut. Ketika itu, kepada H. Amran dikabarkan, pengelolaan dan pendistribusian garam diambil alih oleh pemerintah. Ia kemudian disidang oleh pejabat daerah ketika itu, Mahyuddin Algamar.

“Kapal membawa garam ini akan ditenggelamkan,” kata Mahyuddin Algamar, ketika itu, seperti ditirukan oleh H. Amran.

Pernyataan itu justru disikapi santai oleh H. Amran, “silakan saja!” katanya.

“Tidak masalah bagi Anda?” tanyanya.

“Jika ditenggelamkan, ia masuk kategori force major. Saya akan terima asuransinya,” kata H. Amran tak kehilangan akal. Mahyuddin Algamar bingung.

Sepulang dari kantor gubernur, H. Amran menyampaikan ke isterinya. Garam yang dikelolanya ditenggelamkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Kini disebut, Pemerintah Provinsi –Pemprov) Sumatera Barat. Sejak itu pula, usaha garam diambil-alih oleh pemerintah.

Tahun 1979 Ia mendirikanTaman Kanak-kanak (TK) Baiturrahmah.  Maknanya, tempat atau rumah yang selalu dihiasi oleh kasih sayang. Setelah itu, berturut-turut didirikannnya SD, SMP dan SMA Baiturrahmah. Berlanjut mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi, Akademi keperawatan hingga berkembang jadi Universitas Baiturrahmah.

Ternyata, sado nan dikakoknyo, kameh. Semua yang dikerjakan H Amran berhasil secara baik. Apa rahasianya? Bagaimana pula kisahnya mendirikan sekolah dan kampus dengan karakter pendidikan Islam?

Jawabnya ada pada edisi kedua, besok. (Firdaus Abie)

 

**

 

Inmemoriam H. Amran Sutan Sidi Sulaiman (2/Tamat)

Mengelola Pendidikan Berbasis   Islam

 

 

Berpulangnya H Amran Sutan Sidi Sulaiman ke Rahmatullah, meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Sumbar, khususnya dunia usaha dan pendidikan. Jika sebelumnya menulis mengabarkan perihal kakok tangannya di dunia usaha, edisi kali ini akan menggambarkan perihal kepiawaiannya di dunia pendidikan.

Mendirikan sekolah, khususnya pendidikan Islam, tanpa perencanaan, tetapi hadir lantaran sebuah keprihatinan. Terungkap pada buku

H. Amran Sutan Sidi Sulaiman, Universitas Baiturrahmah, Berkhidmat untuk Kemajuan Bangsa, penulis tulis bersama Khairul Jasmi, bermula karena Haji Amran tertegun saat  melintasi jalan di kawasan Taman Melati, Padang. Ada sebuah mobil berhenti, seorang lelaki berada di belakang setir. Ia amati, pandangannya tidak keliru. Ia benar-benar melihat jelas.  Lelaki itu adalah temannya.

Haji Amran menghampiri. Benar. Lelaki itu adalah temannya yang baru pulang menunaikan ibadah haji. Haji Amran menggedor bagian belakang sedan yang sedang parkir. Sejenak lelaki itu menoleh. Bergegas ia keluar dan menghampiri Haji Amran.

Lelaki itu menggunakan gamis. Bersorban putih. Pakaiannya bersih dan rapi. Dua orang berteman bertemu tanpa sengaja. Keduanya bicara panjang lebar.  Haji Amran kemudian bertanya kepada temannya tersebut, kenapa ia ada di sini?

Haji Amran tersentak dengan jawaban sang teman. Katanya, ia sedang menunggu anaknya. Anaknya sedang di sekolah.

“Di sekolah ini?” tanya Haji Amran heran, sembari menunjuk Taman Kanak-kanak yang ada di hadapan mereka. Sang kawan mengangguk.

“Ini kan sekolah nonmuslim? Kamu seorang haji. Kok memasukkan anak ke sekolah nonmuslim?” tanya Haji Amran, tak mengerti.

“Saat ini tak ada satu pun sekolah Islam yang punya disiplin dan sarana pendidikan yang memadai,” jawabnya singkat.

Haji Amran tersentak. Dadanya sesak. Ada gemuruh tak karuan. Ia mau marah kepada temannya tersebut. Ia sudah tak menghargai sekolah Islam yang ada. Ketika hendak melampiaskan berang, tiba-tiba ia sadar, sang teman ada juga benarnya.

Ia amati sekelilingnya,  ada beberapa sekolah Islam, namun disiplin dan kualitasnya mulai luntur. Tak sedikit orang tua yang mengantarkan anak mereka ke sekolah nonmuslim. Tak hanya orang awam, tetapi juga tokoh-tokoh yang dikenal sebagai mubalig, ulama dan pemimpin Islam yang berkecukupan. Mereka memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.

Kejadian ini membuat sesak di dada Haji Amran. Baginya, pendidikan di usia kanak-kanak tersebut sangat penting. Ia mendapatkan bekal pendidikan agama justru sejak usia tersebut. Ketika ia masih di kampungnya, Padangpanjang, ia pernah dipercaya untuk membantu menaikkan citra sekolah Islam, di bawah bendera sekolah Muhammadiyah.

Ketika itu, sekolah Muhammadiyah sudah kehilangan citra. Kualitasnya merosot. Kekhasan sekolah tersebut hilang sejalan perubahan zaman. Sekolah itu tergerus perubahan zaman. Kondisinya benar-benar terpuruk.

Di pikiran H. Amran terlintas sebuah sekolah Muhammadiyah di Ujung Belakang Olo. Ia sering ke sana karena menjadi donatur tetap. Sesungguhnya ia miris melihat sekolah tersebut. Sekolah agama, namun guru-guru negeri yang diperbantukan di sana menggunakan busana umum. Berbaju Yerek. Bajunya selutut. Tidak cocok dengan sekolah Islam. Tapi tak ada yang bisa mengubahnya.

Kenyataan yang ditemuinya di kawasan Taman Melati, Padang, dan realita lain yang sering dijumpainya, membuat ia  semakin gelisah. Ada semacam “pukulan” bersarang di hatinya. Ia harus berbuat sesuatu. Sejak itu pula, Haji Amran memutuskan, ia harus mendirikan sekolah Islam. Ia harus mendirikan sekolah yang memiliki disiplin. Memiliki para guru berkualitas. Sarana dan prasarana yang lengkap.

Keinginan mendirikan sekolah tersebut, tak bisa pula dilepaskan dari penyerahan diri  sepenuh hati. Ia menyampaikan kepada Djusna, isteri keduanya yang dinikahinya tahun 1957. Ia akan mengabdikan diri saja untuk membina anak-anak. Ia akan buka sekolah untuk ladang ibadah. Apalagi setelah menghadapi kenyataan pahit dalam usahanya, ia merasa sudah cukup berkecimpung di dunia usaha, seperti selama ini dijalaninya. 

Ia kemudian menyampaikan rencana berikutnya kepada isterinya, Djusma untuk mendirikan Taman Kanak-kanak untuk ladang ibadah baginya. Tahun 1979, dibuka Taman Kanak-kanak (TK) Baiturrahmah. Diberinya nama Baiturrahmah. Maknanya, tempat atau rumah yang selalu dihiasi oleh kasih sayang.

Sistemnya,  dijemput dan diantar murid-muridnya. Makanan dan minuman anak disediakan. Ia mendaftarkan anaknya, Rika Amran (kini, dr Rika Amran, Wakil Direktur RS Siti Rahmah), sebagai murid pertama di Taman Kanak-kanak Baiturrahmah. Rika adalah buah hati Haji Amran dengan Zairat.  Selain Rika, ada 268 orang lain yang tercatat sebagai murid TK Baiturrahmah, angkatan pertama.

Jumlah sebanyak itu, sangat mengejutkan. Haji Amran tak pernah menduga. Para guru lainnya juga tak menyangka. Kehadiran murid yang sangat banyak, diangkatan pertama tersebut, membuat Haji Amran semakin percaya, jika sekolah ini diurus secara serius, hasilnya akan mengembirakan.

Sebelum menerima murid, Haji Amran mempersiapkan semuanya secara matang. Seizin isterinya, ia membangun di lahan miliknya, seluas 1.200 meter. Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Guru diseleksi secara ketat. Haji Amran ikut melakukan proses seleksi. Syarat menjadi guru di TK Baiturrahmah; cerdas, berpenampilan menarik, memakai baju kurung dan selendang. Baju kurung, selendang, kain, sepatu, disediakan sekolah. Gurunya harus cantik, jika perlu lebih cantik dari orang tua murid. Standar menjadi guru di TK Baiturrahmah sangat tinggi. Di atas rata-rata guru TK lainnya.

Misi pendidikan Islam dijalankan. Amanah orang tua, menyerahkan pendidikan anaknya ke TK Baiturrahmah, dijaga baik-baik. Setiap anak diawasi. Sopan santun dijaga. Etika dipelihara. Etika murid kepada guru, guru kepada murid, guru kepada guru, murid kepada murid. Pelajaran amalan ibadah, salat, mengaji Al-Quran, membiasakan baca basmallah setiap berkegiatan.

Tak cukup sampai di sana. Orang tua tak boleh mempersiapkan bekal untuk anak ke sekolah. Semua disediakan sekolah. Sekolah yang mengatur semuanya. Sekolah mempersiapkan secara matang. Makanan yang dimakan murid, dipastikan terjamin kesehatannya. Semua makanan dan minuman disediakan guru secara bergantian.

Sebelum angkatan pertama  tamat,  para orang tua murid TK mendatangi Haji Amran. Kata mereka, jika pak Haji Amran tidak segera membuka SD, mau sekolah di mana anak-anak mereka kelak? Apakah akan dibawa kembali ke sekolah nonmuslim?

Haji Amran terdiam. Ia tersentak dengan pernyataan dan desakan orang tua murid tersebut. Ia berpikir keras. Akankah mungkin baginya  merealisasikan keinginan orang tua murid? Apakah mungkin ia mewujudkan impian agar ada sekolah berbasis pendidikan Islam dengan disiplin yang kuat?

Akhirnya tahun 1981, murid TK tersebut akhirnya “pindah” ke SD Baiturrahmah yang didirikan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Desakan terus mengalir kepadanya. Beliau diminta para orang tua untuk melanjutkan jenjang  pendidikan di  Baiturrahmah. Secara berturut-turut,  tahun 1982 berdiri SMP Baiturrahmah, dan setahun kemudian berdiri SMA Baiturrahmah.

   Waktu terus bergerak, tanpa henti. Aktivitas terus meningkat setiap hari. Setelah mendirikan TK, tahun 1979, lalu berturut-turut mendirikan SD, SMP dan SMA. Setelah itu, Yayasan Pendidikan Baiturrahmah memiliki tiga sekolah tinggi dan satu akademi.

Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi (STKG),  berdiri atas izin operasional Kopertis Wilayah I, tahun 1985. Tiga tahun berselang, STKG memperoleh status terdaftar berdasarkan SK Mendikbud RI No 0284/0/1988. Di tahun berdirinya STKG, juga diperoleh izin operasional Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), padahal awalnya tak ada lagi peluang untuk ilmu ekonomi di lingkup Kopertis Wilayah I.

Tahun 1992 berdiri Akademi Keperawatan, berstatus izin operasional. Setahun berselang berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran Umum (STKU), menggandeng Fakultas Kedokteran Unand sebagai mitra. Ketua Yayasan Pendidikan Baiturrahmah, H. Amran tak puas sampai di sana. Empat perguruan tinggi yang dikelolanya bergerak sendiri-sendiri. Satu sama lain terpisah. Di antaranya, tiga sekolah tinggi dan satu akademi. Ia kemudian menyatukan tiga sekolah tinggi tersebut. Impiannya terwujud. Hari bersejarah ditorehkan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Berbekal SK No 070/D/O/1994, tertanggal 16 Juli 1994. SK Mendikbud tentang Perubahan Sekolah Tinggi ke Universitas Baiturrahmah.  Ketiga sekolah tinggi  digabungkan dalam satu kesatuan menjadi Universitas Baiturrahmah. Status sekolah tinggi menjadi fakultas.

Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi berubah menjadi Fakultas Kedokteran Gigi. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi berganti jadi Fakultas Ekonomi. Sekolah Tinggi Kedokteran Umum menjelma jadi Fakultas Kedokteran. Akademi Perawat tetap. Tidak berubah.

Peresmian Universitas Baiturrahmah ditandai dengan pembukaan selubung nama, di Kampus Baiturrahmah, Jl. Damar I No.5 Padang dan diserahkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang perubahah tiga sekolah tinggi ke Universitas Baiturrahmah oleh Kopertis Wilayah X Prof. Ir. Firdaus Rivai M.Sc kepada Ketua Yayasan Pendidikan Baiturrahmah H. Amran, di kampus Baiturrahmah Jl Damar I No 5 Padang, pada Rabu 10 Agustus 1994.

Perubahan status ketiga sekolah tinggi menjadi Universitas Baiturrahmah, berakibat berubah pula komposisi struktur di kampus tersebut. Rektor Universitas Baiturrahmah, Dr H. Aslir Sahur. Dekan Fakultas Ekonomi, Chaidir Anwar, MBA. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi, Dr Alioes Aliloeddin. Dekan Fakultas Kedokteran Prof Asnil Sahim. Direktur Akademi Keperawatan, Dr Osri Kamin.

Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin, disaat meresmikan Universitas Baiturrahmah mengingatkan agar pengelola pendidikan di Sumbar harus berorientasi kualitas. Jika tidak,  akan dapat menjatuhkan citra lembaga pendidikan tersebut dan sekaligus secara tak disadari, telah turut mempersiapkan masa depan yang suram.

Kemajuan perguruan tinggi, katanya, tidak dilihat dari jumlah mahasiswa yang banyak. Tidak dari banyak jurusan. Tidak dari gedung semata, tetapi semakin baiknya mutu dan tingginya kemampuan lulusan. Gubernur juga mengingatkan mahasiswa. Kata beliau, kalau hanya mengharapkan ijazah, dikhawatirkan akan menyulitkan masa depan. Kunci di lapangan kerja adalah persaingan kualitas dan bekal keahlian. Dunia kerja lebih mementingkan tenaga terampil. Di dunia kerja swasta, jika keterampilan tidak ditingkatkan, bisa saja kontrak tidak diperpanjang. Atau status tidak naik-naik.

Pejabat pemerintah juga diperingatkan gubernur. Beliau meminta agar pejabat pemerintah tidak memaksakan kehendak agar anaknya harus diterima di perguruan tinggi. Jika ada yang meminta, jangan pedulikan. Jika perlu, laporkan kepadanya.

Kenapa hal tersebut jadi perhatian gubernur? Hasan Basri Durin mengungkapkan, jika perguruan tinggi memberikan toleransi, maka hanya akan melahirkan pengangguran tingkat tinggi, bukan melahirkan sarjana berkualitas. Kehadiran Universitas Baiturrahmah merupakan universitas ke sembilan di Sumbar. Ketika itu, Firdaus Rivai mengharapkan agar Baiturrahmah lebih fokus kepada dunia kesehatan. Pengembangan universitas yang menjurus kesehatan sangat dibutuhkan masyarakat.

Kehadiran Universitas Baiturrahmah disambut gembira masyarakat Sumbar, sebab diyakini akan memberikan dampak besar dalam peningkatan kualitas pendidikan. Buktinya, saat peresmian universitas tersebut, sangat banyak yang hadir. Tak hanya dari Sumbar, tetapi juga dari Medan dan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud Prof Dr Yahara Sukra.

Agustus 1998, keluar nilai akreditasi. Fakultas Kedokteran  Baiturrahmah memperoleh akreditas B. Akreditasi Fakultas Kedokteran Unand; B. Sama.  

Tentu saja, jika ditanya, siapa sosok penting di balik kehadiran TK, SD, SMP, SMA, Akper dan Universitas Baiturrahmah serta  Rumah Sakit Islam Siti Rahmah? Hanya ada satu nama. Haji Amran Sutan Sidi Sulaiman.

Jika pertanyaan itu dilanjutkan; siapa orang hebat yang mendorong dan “mengawalnya?” Jawabnya; Rosma, Hj Djusma, Zairat, dan Hj Maizarnis. Keempat orang perempuan hebat tersebut adalah isterinya. Serta 14 orang anaknya yang patuh dan taat pada orang tua serta agama.*  

 

 

 

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...