04 September 2017

Tidur Pulas Tarakan - Balikpapan


*Terkatung-katung 8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT

Pengantar dari Redaksi
Kamis – Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari rombongan Kemendes PDTT, terkatung-katung dihempas badai dan ombak besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara.  Rombongan itu bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi di Pulau Sebatik. 
Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, yang berada dalam rombongan, menuliskan  pengalamannya dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah keduabelas. Tulisan penutup. [] []


Selepas subuh, saya kembali ke ruangan tempat kami makan. Kelopak mata sudah terasa berat untuk dibuka. Badan terasa letih. Kondisi fisik melemah. Saya dapati ruangan sudah bersih. Suhu ruangan sangat sejuk dan aroma pengharum ruangan yang nyaman. Saya lalu tidur meringkuk, bergulung berselimut sarung.
Hitungan detik berikutnya,  Nana Suryana,  tenaga ahli Setdirjen Pembangunan Kawasan Pedesaan, datang. Ia memilih tidur di lantai beralas karpet, “dingin,” katanya singkat.
Belum sempat ia merebahkan tubuhnya, masuk seorang lagi. Rupanya seorang prajurit di KRI Kerapu 812. Ia menyerahkan sehelai baju kaos loreng kepada Nana, “terima kasih, bang,” kata Nana.
Nana  tak menduga diberi kaos tersebut. Nana menyebutkan, tadi dia sempat berbicang-bincang usai makan dengan tentara tersebut, kemudian ia menceritakan semuanya. Termasuk seluruh pakaian yang dibawanya sudah terendam air. Basah semua. Sebelum Nana berganti baju, saya sudah tidak tahu apa-apa lagi.
Ketika saya bangun, ada empat orang lagi yang tidur. Tiga di lantai, satu di kursi santai. Saya segera bangkit. Sudah setengah delapan pagi. Saya bergegas ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi, kemudian mengemasi jaket yang tadi dijemur di buritan dan memasukkannya ke tas. Di tas, masih ada dua stel pakaian bersih. Alhamdulillah tidak ikut basah.
Saya bergabung dengan  kawan-kawan senasib di buritan. Ada juga Mayor Laut Ramli Arief dan beberapa personil KRI Kerapu 812. Kami bercerita ringan seputar kejadian yang baru  dialami. Cuaca pagi sangat cerah. Secerah hati kami setelah melewati masa menegangkan.
Menjelang merapat di dermaga, sebuah kapal seakan menyambut kehadiran kami. Ada lambaian tangan dari sejumlah orang dari KN Gajah Laut, kapal milik Bakamla. Saya tak tahu siapa saja di atas kapal tersebut, namun tetap membalas lambaian.  
Ketika KM Kerapu 812 merapat, satu persatu naik ke dermaga Lantamal Tarakan. Saya naik ke dermaga setelah Adji Setyo Nugroho,  Dt Febby (keduanya Tim Ahli Kantor Staf Menteri Kemendes PDTT), dan Toaik dan Ope. Setelah tas saya ambil, saya mendatangi Datuk Febby. Ketika itu ia sedang terlibat pembicaraan dengan seseorang berbaju batik, sedangkan Adji bicara dengan lima orang, diantaranya ada yang berseragam TNI-AL dan berbaju batik.
“Datuk, mohon izin,” kata saya memotong pembicaraan Datuk Febby dengan seseorang berbaju batik tersebut, setelah saya menyalami keduanya.
“Ya, silakan, pak” kata lelaki berbaju batik tersebut sembari menepuk pundak saya.
“Saya minta bantuan, pak. Kiranya ada anggota bapak yang bisa mengantarkan saya, Ope dan Toaik langsung ke bandara,” kata saya.
“Pesawat jam berapa?” tanyanya.
“Sembilan seperempat,” jawab saya.
Ia kemudian melihat jam di pergelangan tangannya, “kayaknya tak terkejar lagi, pak,” katanya.
“Masih ada sekitar satu jam lagi,” jawab saya. Ope dan Toaik juga membenarkan. Rasanya masih bisa dikejar.
“Sebaiknya bapak istirahat dulu di sini,” pintanya.
Ope menjelaskan kepadanya, tiket perjalanan kami satu paket terkoneksi Tarakan – Balikpapan – Jakarta dan Padang, hari ini.
“Dikejarkan pun ke bandara, rasanya tak terkejar dengan waktu yang tersisa. Sebaiknya istirahat dulu di sini agak sejenak, minimal hingga lepas siang. Tenangkan diri dan pikiran agak sejenak,” pintanya.
Saya, Ope, Toaik saling berpandangan, lalu kami sepakat menerima saran lelaki berbaju batik itu. Belakangan saya mengetahui kalau beliau bernama Novachristo Joseph Silangen, sehari-hari menjabat sebagai Pemimpin BNI Cabang Tarakan, Kalimantan Utara.
Bersamaan dengan itu pula, Deputi Operasi Bakamla Laksamana Madya Rahmat Eko Rahardjo,  Kepala Biro Umum Bakamla Laksmana Pertama Suradi Agung Slamet,  Danlantamal Tarakan Laksamana Pertama Ferial Fachroni, Kasubbag Humas Bakamla Kapten (Mar) Mardiono, menemui kami. Mereka menyalami kami satu persatu, termasuk  Komandan KRI Kerapu 812 Mayor Laut Ramli Arief.
Sesaat di dermaga, kami kemudian dibawa istirahat sejenak di Markas Lantamal di Tarakan. Setelah makan,  delapan dari 12 rombongan kami bergerak menuju Bandara Internasional Juwata. Kami  makan  di sebuah kedai sederhana. Semua menikmati jamuan Novachristo Joseph Silangen.
Saat makan siang itu, sang Kacab BNI Tarakan tampak sibuk mengatur perjalanan selanjutnya. Ia sudah mempersiapkan kendaraan untuk delapan orang yang akan langsung ke Bandara Juwata, dan sekaligus mengatur persiapan untuk istirahat dan keberangkatan saya bserta Ope, Toaik dan Nana. Jadwal penerbangan kami dari Tarakan ke Balikpapan dan terus ke Jakarta dimulai pukul 17.10 wita.
Selama menunggu penerbangan, kami berempat dibawa istirahat oleh Novachristo Joseph Silangen ke rumah dinas Wakil Kepala Cabang BNI Tarakan. Rumah dinas ini sangat rapi. Penghuni belum masuk. Kata Novachristo, baru saja terjadi mutasi dan promosi dijajarannya. Wakil Kacab sebelumnya, promosi menjadi Kacab di tempat lain, sedangkan wakil yang baru juga promosi dari tempat lain. Wakil yang baru, direncanakan baru akan menempati rumah tersebut Senin berikutnya.
Selama di rumah dinas Wakacab BNI Tarakan, kami memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan santai sejenak. Kami merasa tersanjung dan risih juga karena dilayani sangat telaten oleh dua orang staf  Novachristo.
“Sampaikan saja kepada mereka apa yang bapak butuhkan. Saya mohon izin sebentar, nanti saya ke sini lagi,” kata Novachristo, belakangan saya dapat kabar kalau beliau ada pertemuan dengan Wakil Kepala Wilayah BNI Irwan.
Pukul 15.30 wita, kami bergerak ke Bandara Juwata. Bandaranya tak jauh dari pusat kota. Saya memperkirakan, tak sampai  10 menit dari tempat kami istirahat, sudah sampai di bandara.  Keberangkatan kami ke Bandara lebih cepat dari rencana yang kami janjikan kepada Novachristo, sehingga beliau menyusul kami ke bandara.
Novachristo datang bersama Irwan, pimpinannya. Saat perkenalan, Irwan langsung menditeksi kami, “Padang ya, pak?” tanyanya.
“Iyo, da,” sambar saya.
“Padang dima?” tanyanya.
“Padang kota. Lubuakbagaluang,” jawab saya.
“Ambo rang Bukiktinggi,” jawabnya.
Ia pun bercerita, baru setahun jadi wakil kepala wilayah. Sebelumnya ia kepala cabang di Medan. Posisinya di Medan digantikan orang Padang juga, yang sebelumnya berkarir lama di BNI Wilayah di Padang.
Ketika ada panggilan masuk ke ruang tunggu, kami pun beralih posisi. Di ruang tunggu, saya baru menghubungi isteri dan mengabarkan perihal yang terjadi malam sebelumnya. Awalnya saya bermaksud menyampaikan setelah  di rumah saja, namun sore itu, sejumlah media online dan televisi sudah memberikan peristiwa di lautan tersebut. Saya tak ingin isteri dan anak-anak kuatir.
Begitu sampai di dalam pesawat, saya langsung duduk di 8C, sesuai nomor pada boardingpass. Di sebelah saya, Ope dan Toaik. Sebelum awak kabin memperagakan demo penggunaan alat-alat di pesawat, saya sudah tidak tahu apa-apa lagi. Saya tertidur.
“Pulas sekali tidurnya,” kata Ope, ketika saya terbangun bersamaan dengan adanya pengumuman bahwa pesawat segera mendarat di Balikpapan. *

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...