30 December 2014

Belajar pada Pertina


Oleh: Firdaus

Minggu (21/12) pagi. Fazril Ale, Sekum Pengda Pertina Sumbar, memberikan waktu kepada seorang petinju untuk segera menurunkan berat badannya.
“Waktu yang tersisa hanya dua jam,” kata Ale.
Permintaan itu disikapi berbeda oleh pelatih dari petinju tersebut. Sang pelatih mencak-mencak. Ia protes sikap Fazril Ale. Dua isi protesnya. Pertama, tak mungkin petinjunya kelebihan berat badan hingga 1,5 kg.
“Timbangannya rusak! Timbangannya rusak!” katanya keras, sehingga semua orang yang berada di aula Kantor Bupati Dharmasraya, ketika itu, terkejut.
Kedua, katanya, tak masuk akal jika harus menurunkan berat badan 1,5 kg dalam dua jam, “tak masuk akal, ini keputusan gila!” katanya.
Fazril Ale tak mau kalah, “mau tak masuk akal, mau dibilang gila, terserah! Jika sampai batas waktunya,  berat petinju anda tak sesuai,   panitia akan mendiskualifikasinya,” kata Ale.
Sang pelatih tetap ngotot. Ia menyalahkan timbangan. Katanya, timbangan rusak. Ketika  beberapa orang yang tahu takaran beratnya,  ditimbang, tak ada perbedaan. Disaat sang pelatih terus ngotot, Fazril Ale pun mengeluarkan kartu truf-nya.
“Sudahlah.  Tak usah anda ngotot. Saya tahu karakter petinju anda. Saya juga tahu karakter anda. Kalau anda tak senang, silakan protes dan kita adu argument anda dengan fakta!” katanya. Tegas!
Si pelatih pun kemudian diam. Tak ada perlawanan. Ia pun kemudian pergi. 

*

Minggu (28/12), pagi ini. Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Sumbar ke 13, di Kabupaten Dharmasraya, tahun 2014, telah berakhir. Ditutup dua hari lalu. Kota Padang tetap perkasa. Menjadi juara umum untuk ke 13 kalinya. Tak tergoyahkan sejak pertama kali hajatan ini digelar, sejak Porprov  masih bernama Pekan Olahraga Daerah (Porda).
Setelah Porprov usai, gelanggang pun sepi. Semua kembali ke “habitat”-nya. Tinggal kenangan, suka dan duka tercecer sepanjang perjalanan mempersiapkan atlet, kontingen, sarana dan prasarana hingga perangkat pertandingan serta perangkat pendukung suksesnya hajatan di bumi Dharmasraya.
Sejumlah catatan pun mengemuka usai pesta dua tahunan tersebut. Pertama, terlepas dari berbagai masalah  selama persiapan hingga selesai Porprov  2014, yang pasti Kabupaten Dharmasraya telah mencatatkan dirinya dalam lembaran sejarah olahraga di Sumbar.
Negeri yang baru seumur jagung, ternyata mampu menyelesaikan tugas besar untuk ukuran kegiatan provinsi. Sukses ini sekaligus mengikuti sukses MTQ tingkat Sumbar, beberapa tahun sebelumnya. Kabupaten Dharmasraya  menjadi daerah pemekaran pertama di Sumbar yang telah berhasil menjadi tuan rumah MTQ dan Porprov.
Kedua, adanya batasan usia untuk cabang tertentu, perlu didukung penuh. Semua cabang harus memiliki  batasan usia. Pembatasan usia ini ditujukan agar Sumbar tetap memiliki atlet-atlet muda yang bisa dibina dan dipersiapkan secara berjenjang dan terukur. Ketika tak ada pembatasan, maka atlet-atlet uzur akan tetap perkasa.
Jika diajukan komitmen ini, tak semua cabang yang setuju. Alasannya,  di cabang tertentu, hingga tingkat dunia pun tak ada batasan usia, kenapa di Porprov harus dibatasi? Jika bersikukuh dengan sudut pandang berbeda ini, maka tak akan pernah ada titik temunya, tetapi jika sama-sama melihat dari sudut pembinaan, maka tak ada yang tak mungkin. Justru akan melahirkan bibit-bibit yang lebih potensial.
Ke tiga, Pengprov itu menjadi pemain. Ini masalah klasik, masalah sejak  doeloe. Entah kenapa, krumuk-krumuk ini tak pernah selesai.  Banyak cabang yang ----sepertinya---- sengaja membiarkan  ketidakberesan penangganan atlet. Membiarkan ketidakteraturan, akan memberikan peluang keuntungan tertentu pada orang-orang tertentu di cabangnya.
Pengurus Provinsi (Pengprov) cabang olahraga  seharus menjadi operator dan atau wasit, tapi dalam prakteknya, masih banyak Pengrpv  berperan sebagai “playmaker untuk kepentingan tertentu. Pengprov menjadi “playmaker” sudah menjadi rahasia umum.  Sengaja mendistribusikan atlet ke daerah yang membutuhkan, sekali pun daerah bersangkutan tak memiliki hubungan dengan atlet bersangkutan, apalagi membinanya.
Dalam kapasitas “wasit”,  seringkali pula Pengprov membiarkan off side dan pelanggaran. Mudahnya atlet lompat pagar, merupakan salah satu indikator. Padahal sebagai otoritas cabang, seharusnya Pengprov sudah tahu dan mengenal semua atlet yang berlaga.
Ketentuan tempat menetap, mesti diperpanjang. Kalau kurang setahun, akan membuka celah kecurangan. Menghadapi ivent resmi berkelas daerah, persiapan selama itu sangatlah singkat, sehingga sangat tidak masuk akal jika kondisi seperti ini masih dikategorikan sebagai pembinaan oleh daerah bersangkutan.
Buntut realita itu, pada Porprov kali ini, disinyalir ada atlet yang lompat pagar disaat-saat injury time.  Hijrah ke daerah baru jelang pendaftaran saja. Hebatnya  oknum aparatur pemerintahan turut memuluskan langkah curang itu. Identitas keluarga diperoleh secara gampang. Konon ada juga tiga bersaudara yang  membela tiga daerah berbeda. hal itu berarti, satu keluarga punya tiga kartu keluarga di tiga daerah berbeda.
Terjadi saling klaim atlet terjadi. Paling  kentara dan “telanjang”  terjadi di beberapa cabang, ”terutama dibulutangkis, panjat tebing dan renang,” kata Syaiful SH, Waketum KONI Provinsi Sumbar.
Keempat, terobosan yang dilakukan tinju, patut diacungi jempol. Membatasi petinju yang bertarung di Porprov dengan jalan seleksi melalui Kejurda,  sekaligus Pra Porprov,  memberikan jaminan kualitas. Petinju yang bertarung di ajang ini harus melalui proses panjang.
Pada banyak cabang, sering dijumpai pertarungan tak seimbang. Masih ada yang mengirimkan atletnya dalam konteks mencoba, padahal Porprov bukanlah ajang ujicoba. Sudah menjadi bagian dari  pertarungan sesungguhnya. Tidak sembarangan.
Terhadap persoalan hal ini, ada beberapa indikasi. Di antaranya, memanfaatkan peluang aji mumpung. Mumpung ada kesempatan, ada duitnya, maka ada peluang untuk “menderek” orang-orang tertentu.  Padahal bisa saja atlet yang diterjunkan tersebut belum pantas untuk diturunkan dan “diadu” di arena. 
Ketika Porprov di Limapuluh Kota, dua tahun silam, ada 215 petinju yang berlaga. Ada sejumlah partai tak seimbang. Kali ini hanya ada 90 petinju, hasil saringan melalui Kejurda.  Pemberlakuan sistem Pra Porprov, sangat membantu Pengrov mendata atletnya.  Sebelum Porprov berlangsung,  pergerakan atlet sudah bisa dimonitor. Kalau pun, misalnya, atlet tertentu dapat tiket ke Porprov berdasarkan by name, maka ia harus turun atas nama daerah yang dibela semula, tak bisa dibawa ke tempat lain. Begitu pun sebaliknya. Jika ia sudah membela sebuah daerah di babak Pra Porprov, kemudian gagal ke Porprov, maka ia tak bisa  pindah begitu saja ke  daerah lain.  
Diperkirakan tak banyak Pengprov yang setuju dengan syarat Kejurda ini. Jika itu diterapkan, maka Pengprov tak akan bisa lagi menjadi playmaker, yang berperan mendistribusikan atletnya secara “merata” ke daerah. Proses pendistribusian itu,  diduga dan sangat mungkin  terjadi transaksi. Kalau bisa bertransaksi,  maka daerah akan lebih cenderung memilih opsi transaksi daripada pembinaan.*



*Penulis adalah wartawan utama Harian Umum Rakyat Sumbar

CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada rubrik KOPI MINGGU, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 28 Desember 2014 

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...