23 November 2014

Komunikasi Kabinet Jokowi




Oleh: Firdaus


Pameo usang; titip pesan bisa berlebih, titip uang bisa berkurang. Pameo itu memberikan gambaran,  rumitnya persoalan jika pesan disampaikan  tidak secara benar. Lalu, bagaimana jadinya jika pesan itu benar yang tidak jelas?
Usia Kabinet Kerja yang masih seumur jagung, ternyata telah “menghasilkan” sejumlah pesan yang membingungkan. Dalam ilmu komunikasi, sebuah pesan akan bisa dipahami oleh komunikan (audiens atau penerima pesan) jika disampaikan oleh komunikator (pengirim pesan) secara baik dan jelas.
Perintah presiden Jokowi ketika mengumumkan para pembantunya di halaman Istana Negara, sangat jelas. Jokowi berulang kali mengungkapkan; lari, lari, lari! Pesan tersebut memberikan isyarat, sang presiden ingin agar anggota kabinetnya segera bertindak dan bergerak cepat.
Hasilnya, sangat luar biasa. Dua pekan setelah presiden dilantik, tiga program sekaligus diluncurkan. Program yang kemudian diplesetkan banyak kalangan menjadi tiga kartu sakti;  KIS, KIP dan KKS, sepertinya ini adalah program dengan rekor tercepat yang pernah direalisasikan. Dalam dua pekan setelah pelantikan, Presiden telah merealisasikan janji kampayenya untuk menerbitkan tiga kartu tersebut.
Persoalan justru muncul dari setelah ketiga kartu sakti tersebut dikeluarkan. Seperti dikutip dari Ismedia, Rozaq Asyhari dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia melihat ada keganjilan dalam penerbitan kartu-kartu tersebut; setidak ada tigal hal yang patut dipertanyakan; Pertama, dari mana pos anggrannya diperoleh, sedangkan para menteri belum ada yang rapat dengan DPR. Semua anggaran yang digunakan dari APBN kan harus dibahas dan ditetapkan bersama antara pemberintah dan DPR. Apalagi program ini disebut untuk 1,289 juta masyarakat miskin, dengan total anggaran sebesar Rp6,44 triliun, ini kan bukan angka yang main-main. Semakin membingungkan ketika ada menteri yang menyebutkan sudah ada posting anggarannya, ini dapatnya dari mana dan kapan di bahas dengan DPR?
 Kedua, Hal aneh lainnya adalah mekanisme penggaran macam apa yang dipergunakan. Kok bisa hanya dalam dua pekan saja, uang bisa dibagi-bagi langsung ke masyarakat. Bukankah penggunaan anggaran tersebut harus sesuai dengan alur dan prosedur keuangan negara, yang bisa dikatakan hampir mustahil direncanakan dan dieksekusi hanya dalam dua pekan.
Keanehan ketiga menurut mahasiswa program doktor (S3) Fakultas Hukum UI ini adalah siapakah operatornya, dan bagaimana mekanisme pengadaannya. Pengadaan kartu dan lain sebagainya kan harus dilakukan dengan mekanisme tender, untuk program sebesar ini kan tidak bisa digunakan mekanisme penunjukan langsung, sangat tidak mungkin hal ini dilakukan hanya dalam waktu dua pekan saja.
Kondisinya lebih parah ketika diperhatikan secara seksama sejumlah pesan yang disampaikan para pembantunya, pascadiluncurkannya tiga kartu sakti pada 3 November 2013. Kartunya sudah dibagikan kepada masyarakat. Sehari setelah diluncurkan, Menteri koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menyatakan masih menyiapkan landasan hukum program yang diluncurkan. Keesokan harinya, Mensesneg Pratikno  menyatakan Penerbitan kartu KIS, KIP dan KKS sama sekali tidak memakan Anggaran Negara (APBN), melainkan dari tanggung jawab sosial sejumlah BUMN. Menurut Mensesneg dana itu berasal dari dana CSR BUMN. Tapi untuk tahun berikutnya baru dana dari APBN karena terkait anggaran.
Empat hari kemudian, Wakil Presiden Jusuf Kalla menjawab tentang tidak adanya payung hukum untuk 3 program kartu sakti. Menurut Jusuf kalla, KIS, KIP dan KKS itu payung hukumnya jelas. Menurut Jusuf Kalla, KIS anggarannya di BPJS (JK harus baca UU BPJS lagi) , Anggaran pendidikan di Diknas hanya sistem saja (tapi sistemnya seperti apa dia tidak tahu) kalau KJS itu di bawah Depsos anggarannya 5 Triliun,
Menurut Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Program 3 kartu sakti ini berlaku tanggal 7 November 2014. Artinya,  sudah berlaku seminggu, karena sudah berlaku, sudah ada yang memanfaatkannya, sudah tersebar kartunya.
Tanggal 8 November 2014, Eva sundari Politisi PDIP menyatakan bahwa sumber 3 kartu Sakti bukan dari dana CSR seperti yang diungkapkan Mensesneg Pratikno. Eva membantah pernyataan Mensesneg. Menurut Eva, pendanaan itu berasal dari APBN Perubahan 2014 pada zaman Pak SBY. Payung hukumnya adalah UU SJSN, UU BPJS dan Perpres.
Tiga hari setelah pernyataannya dipublikasikan media,  Mensesneg Pratikno  menyatakan  pendanaan 3 Kartu Sakti itu berasal dari APBN-P, lalu Pratikono mengatakan statemen terdahulu bahwa dana ketiga kartu tersebut dari CSR BUMN, bukanlah pernyataan darinya.
Dipandang dari sudut komunikasi, semua pesan yang dibeberkan para pembantu presiden sangat membingungkan masyarakat. Dalam konteks ini, seharusnya pesan yang disampaikan seragam, sebab membawa pesan yang sama dari sumber yang sama. Kenapa pesannya bias dan senjang?
Kesenjangan efek yang ditimbulkan oleh kekeliruan cara-cara komunikasi ini, setidaknya dapat diperkecil dengan menjalankan empat dari tujuh langkah, berdasarkan pandangan  Rogers dan Andhika (1979) dalam Pembangunan Komunikasi-nya Drs Zulkarimein Nasution, M.Sc, diantaranya;  mencakup prinsip-prinsip penggunaan pesan yang dirancang khusus untuk khalayak yang spesifik, mengkomunikasikan pesan bagi golongan yang tidak dituju namun tetap bermanfaat bagi golongan yang hendak dijangkau, melokalisir penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak, memanfaatkan saluran tradisional.
Terhadap kesimpangsiuran informasi yang dikomunikasikan kabinet kerja ini, ada persoalan mendasarkan lain; jangan-jangan pesan yang disampaikan itu sengaja dicari-cari untuk membuat kesan bahwa perintah pertama dari presiden; lari, lari, lari, sudah dilakukan. Apakah itu menabrak rambu-rambu atau tidak, itu diurus belakangan. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan.*

CATATAN: Tulisan ini dimuat pada rubrik KOPI MINGGU, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 23 November 2014

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...