28 February 2012

Dua Pelajar di Angkot


 Oleh: Firdaus

Suatu ketika, saat menuju pulang dengan angkot, selepas Magrib, saya duduk bersebelahan dengan  seorang pelajar berseragam putih abu-abu. Persis di depannya, ada temannya juga. Keduanya membicarakan perihal sekolah, pendidikannya, termasuk masa depannya.
Awalnya saya hanya mencuri dengar pembicaraan keduanya saja, namun semakin lama, pembicaraan mereka semakin menarik bagi saya. Saya simak terus, kemudian saya ikut menimpali pembicaraan itu. Keduanya, mulanya terkejut, namun kemudian tak menolak jika saya ikut bergabung “membahas” apa yang sedang mereka “pergunjingkan” tersebut.

Keduanya mengaku sekolah pagi. Di sekolahnya diberlakukan sistem satu shif. Jam belajar lebih panjang. Bubar jam regular, atau jam pelajaran standar ---setiap hari--- hampir pukul 14.00 WIB. Selesai itu, mereka tak bisa langsung pulang. Semua siswa harus  mengikuti tambahan pelajaran. Itu pun harus dengan guru bersangkutan. Tak bisa tidak. Hukumnya wajib. Setiap hari, rata-rata ada dua  materi pelajaran tambahan, sehingga semua berakhir antara pukul 17.00 hingga 17.30 WIB.
“Jika tidak, jangan harap bisa memiliki nilai bagus, bang,” kata pelajar berjilbab di sebelah saya.
Awalnya saya membenarkan, jika belajarnya tidak ditambah dari yang biasa, mana mungkin bisa mendapatkan materi yang diajarkan secara baik dan benar. Hanya saja, gadis itu menolak.
Katanya, pokoknya semua siswa wajib mengikuti ---termasuk membayar biaya tambahan---, sekali pun pikiran atau hati tidak pada pelajaran tersebut,  asalkan badan ada di kelas bersama sang guru, maka nilai dijamin aman.
Tiba-tiba saya teringat akan masa lalu, ketika masih SMA dulu. Jika sekolah pagi, pulangnya sekitar pukul 12.00 WIB. Jika sekolah siang, masuk sekitar 12.30 WIB selesainya sore, sekitar pukul 17.00 WIB. Kemudian saya menghubungkan jam sekolah kedua tunas bangsa di sebelah dan depan saya, dan kemudian saya berandai-andai  masih berseragam putih abu-abu bersama mereka. Hm… pasti saya tak bisa lagi bermain bola di sawah, bermain voli di pinggir kali, bercengkrama di pos ronda bersama teman sebaya menjelang pukul 21.00 WIB dan kemudian pulang untuk tidur.
Haruskah pendidikan seperti itu? “Memperkosa waktu” anak didik dengan menjejeli mereka setiap hari dengan teori, rumus, hafalan, dan sebagainya. Anak-anak seakan menjadi  “obyek“  pencapaian target guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan dengan kalkulasi angka-angka kelulusan, nilai rapor.
Di sisi lain, lantaran tak mau distempel sebagai siswa pemalas, pembangkang, atau cap negatif lainnya, maka anak-anak bangsa terpaksa harus mengikuti aturan jadwal yang sudah ditetapkan tanpa sedikit pun bisa dibantah.
Sejak pemberlakuan waktu yang sangat padat untuk sekolah dan belajarnya, sejak itu pula anak-anak bangsa kehilangan masa kanak-kanaknya, tak menikmati masa remajanya. Kenyataan ini bisa  berujung kepada minimnya (untuk lebih halus saja, seharusnya saya tulis; hilangnya,---penulis) nilai sosial dan hubungan sosial di kalangan mereka.
Cobalah agak sejenak perhatikan anak-anak di sekitar  kita, lalu tanyai mereka tentang lingkungannya. Kemudian coba bandingkan dengan masa lalu. Ada  perbedaan mencolok antara anak-anak masa lalu dengan anak-anak sekarang dalam memahami lingkungan,  hubungan sosial nilai-nilai sosialnya. Di sisi lain, pendidikan masa lalu juga tak kalah kelasnya dibandingkan sekarang, sementara jika bicara soal kepribadiaan, silakan jawab sendiri. Padahal ketika itu tak pernah disibukkan dengan kampanye pendidikan karakter.*

 CATATAN: Tulisan ini dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, pada kolom KOPI MINGGU, edisi Minggu 27 Novermber 2011


No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...