02 August 2022

Setelah Tawuran Pelajar di Padang


 

Hari ini, 4 Muharram 1444 Hijriah. Masih pekan pertama tahun baru Hijriah, atau banyak juga orang menyebutnya sebagai tahun baru Islam.

Dalam catatan sejarah, penanggalan kalender Islam, baru digunakan saat sistem pemerintahan Islam dipimpin Khalifah Umar bin Khattab, atau 17 tahun setelah Hijrah, tepatnya 7 tahun setelah Rasullah Wafat.

Tahun baru Hijriah tersebut diputuskan pada momentum ketika Nabi Muhammad bersama sahabat melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Momentum tersebut dijadikan sebagai awal membangun masyarakat Islami. Pada tahun 2022 Masehi, momentum tahun baru Islam, atau tahun baru Hijriah, bertepatan pada Sabtu, 30 Juli.

Setelah 14 abad berlangsung, momentum tersebut tetap menjadi bagian penting dalam perjalanan anak manusia, khususnya umat Islam. Dimasa 14 abad lalu, Rasulullah beserta sahabat melakukan hijrah ke Madinah untuk sebuah perjuangan, menegakkan Islam, momentum tersebut dijadikan sebagai upaya mengevaluasi diri bagi umatnya, saat ini dan masa-masa datang.

Momentum evaluasi diri tersebut, harus benar-benar dilakukan, khususnya di dunia pendidikan Sumatera Barat, menyusul aksi tawuran pelajar dari tiga sekolah di Padang, beberapa hari menjelang momentum tahun baru Hijriah tersebut.

Aksi tawuran tersebut sudah sangat memprihatinkan. Para pelajar yang seharusnya berada di sekolah, konsentrasi menuntut ilmu pengetahuan, justru berbuat memalukan dengan melakukan serangan menggunakan senjata tajam. Melukai lawan pelajar lain yang tidak tahu duduk masalahnya.

Apa yang dikatakan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sumatra Barat Barlius kepada media, bahwa tindakan mereka yang terlibat tawuran tersebut bukanlah urusan kenakalan remaja. Hal ini disebabkan mereka sudah membawa clurit dan melukai serta membahayakan orang lain. Ranahnya sudah ke ranah kriminal. Pihaknya pun menyerahkan kasus tersebut ke pihak kepolisian.

Sikap Barlius ini patut diapresiasi agar pelaku harus ditindak tegas, sesuai hukum yang berlaku lantaran aksi mereka sudah sangat melampaui batas.

Pada sisi lain, ketika langkah hukum itu dijalani mereka, saatnya pula seluruh guru beserta pihak terkait di sekolah, melakukan evaluasi diri dan lingkungan, sembari menemukan jawaban; mengapa hal tersebut sampai terjadi?

Tawuran tersebut, tentu tidak terjadi secara tiba-tiba. Minimal ada pemicu yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Pelatuk inilah yang seharusnya ditemukan. Mengapa mereka sampai beringas dan seakan lupa diri, sehingga mau menyerang ke sekolah lain, kemudian melukai teman sebayanya?

Evaluasi diri ini penting, agar hal buruk ini tidak terulang. Perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar pelajar hari ini memiliki pemahaman dan kesadaran utuh, terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai pelajar dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Bangsa ini tentu butuh kehadiran generasi penerus yang tangguh secara pisik, serta memiliki 18 karakter pembentukan bangsa; Keimanan dan Ketakwaan, Jujur, Disiplin, Ikhlas, Bertanggungjawab, Persatuan, Saling Menghormati, Toleransi, Gotong-royong, Musyawarah, Kerjasama, Ramah, Keserasian, Patriotisme, Kesederhanaan, Bermartabat dan Harga Diri, Kerja Keras, Pantang Menyerah.

Dari banyak kemungkinan temuan evaluasi tersebut, mungkin salah satu yang perlu benar-benar dievaluasi adalah soal sanksi atau hukuman terhadap pelajar di sekolah, selain kasus tawuran. Hukuman tawuran, sudah tegas disampaikan Kadis Pendidikan Prov Sumbar Barlius, diproses secara hukum.

Di luar kasus di atas, sanksi atau hukuman ini terkait dengan masalah-masalah di sekolah. Misalnya sanksi bagi mereka yang terlambat datang ke sekolah, terlambat masuk, cabut, terlambat menyerahkan tugas, tidak mengerjakan tugas, dan lain sebagainya.

Pihak sekolah, sebaiknya menemukan cara lain yang lebih variatif dan mendidik. Tidak lagi memberikan sanksi sekadar membuat surat pernyataan, atau membersihkan kelas, membersihkan toilet, membersihkan pekarangan sekolah, atau memberikan tambahan tugas rumah yang lebih banyak dari biasanya.

Tugas-tugas yang menguras fisik tersebut, menjadi trend diera 1980-an hingga 1990-an, sudah saatnya ditinggalkan, lantaran mungkin sudah tidak masanya lagi. Perubahan zaman menghadirkan kemajuan berpikir setiap generasi pada kurun waktu tertentu. Pelajar setingkat SMA saat ini, tentu memiliki cara dan pola berpikir berbeda dengan generasi seusianya dimasa 1980-an hingga 1990-an tersebut, sehingga perlakuan kepada mereka juga harus berbeda.

Ketika anak-anak diera 1980-an hingga 1990-an masih bisa dihadapkan pada hukuman fisik, maka pada era generasi sekarang, hal tersebut sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan, sehingga perlu dicarikan opsi khusus. Sanksi atau hukuman yang diberikan, sebaiknya ditujukan langsung untuk meningkatkan pengetahuannya.

Diantara bentuk hukuman yang langsung meningkatkan pengetahuan mereka, misalnya, jika terlambat datang ke sekolah, mereka tidak lagi diminta untuk membersihkan pekarangan sekolah. Selama ini, jika ada siswa yang terlambat lebih dari 10 menit, lalu disuruh membersihkan pekarangan sekolah selama 15 menit. Ketika mereka masuk kelas, selain sudah terlambat hampir 30 menit, tubuh mereka juga sudah berkeringat.

Mengapa kepada mereka tidak diberikan sebuah buku? Lalu diberi waktu satu atau dua hari membacanya, kemudian mempresentasikan, atau meresume isi buku tersebut. Atau, hukuman lain yang membuat mereka “sibuk” karena disesuaikan dengan jurusan atau hobi yang mereka geluti.

Atau, tentu sekolah punya banyak pilihan-pilihan lain yang lebih ekspresif. Semoga!

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...