08 July 2021

Inspirasi dari Mas Santoso

Di antara kelebihan menulis, bisa dikerjakan di mana saja. Dapat dilakukan  kapan saja. Saya yakin, semua orang bisa memahaminya.  Tapi ketika membaca tulisan  Mas Aqua Dwipayana tentang  Mas Santoso, seorang wartawan senior yang saat ini berjuang melawan stroke yang menyerangnya, justru semakin membuka mata kita dan mengingatkan saya pada dua hal penting.

Tulisan yang dibagikan Mas Aqua di Komunitas Jari Tangan, dikisahkan bagaimana seorang wartawan senior Jawa Pos, menderita stroke. Sempat putus asa dan depresi, Mas Santoso kemudian bangkit. Ia menulis. Terus menulis. Menulis terus.

Ia kemudian menulis sebuah buku. Buku yang ditulis tak jauh dari aktivitas yang sedang dihadapinya. Bukunya berjudul, Melawan Stroke. Dicetak secara mandiri pada Agustus 2020. Kini ia mempersiapkan buku berikutnya, My Wife My Treasure, berisi tentang apresiasinya terhadap kesetiaan dan kegigihan isteri mendampinginya, terutama disaat stroke.

Buku pertama, laris manis. Hasil penjualan bukunya bisa untuk membayar kontrakan yang ditempatinya. Buku My Wife My Treasure ditargetkan cetak pada September 2021. Targetnya, untuk kontrakan rumah berikutnya.

Lalu, apa dua hal penting yang ingin saya sampaikan?

Pertama, bagi saya, ini sebuah referensi hebat. Jika sebelumnya, kehebatan menjalani aktivitas menulis bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, kini harus ditambah satu lagi. Bisa dilakukan dalam keadaan apa saja. Sehat, gembira, sedih, dan sakit. Dibandingkan keadaan Sehat, gembira, sedih, maka keadaan paling sulit dan rumit adalah disaat sakit. Apalagi dalam kondisi  stroke. Terjadi pelemahan terhadap sebagian organ tubuh. 

Tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan orang dalam keadaan sakit, apalagi kegiatan tersebut berpengaruh besar dalam upaya mempertahankan diri dan keluarga. Buku yang dihasilkan Mas Santoso justru dijual untuk membayar kontrakan rumahnya.

Di sisi lain, apa yang ditulis Mas Santoso, bisa dijadikan inspirasi oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang beranggapan  menulis itu sulit, atau selalu menghabiskan hari-harinya untuk mencari ide tulisan. Katanya, jangankan untuk menulis materinya, idenya saja sulit didapatkan. Lalu mereka mencari hingga jauh, bahkan ada yang  melakukan  “ritual” perjalanan dan sebagainya.

Pada setiap kesempatan memberikan pelatihan atau workshop menulis di berbagai tempat, saya selalu sampaikan langkah sederhana; tulislah apa yang ada di lingkungan kita. Tulislah apa yang dekat dengan keseharian kita. Keseharian kita yang selama ini dianggap sebagai hal yang biasa, tetapi bisa saja orang lain, atau komunitas tertentu bisa saja memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa.

Mas Santoso membuktikan kepada kita semua. Melawan Stroke, itu judul buku beliau. Judulnya  langsung  ke sasaran. Jika dihitung, pasti sangat banyak orang berjuang melawan stroke.  Berbagai cara dilakukan agar mereka bisa bangkit dan sembuh. Mungkin banyak yang memiliki cara hebat, cara praktis, namun karena tidak dituliskan, tidak ada yang tahu.

Saya belum membaca bukut tersebut. Tapi dari judulnya saja, saya menduga  buku Mas Santoso tentulah berisi tuntutan dan cara-cara yang dijalani beliau menghadapi stroke, sehingga saya memiliki asumsi bahwa buku ini akan menjadi  buku “abadi” dan berguna sepanjang masa, khususnya bagi orang-orang yang kena stroke.

Beriring sejalan, buku lanjutan yang sedang dipersiapkannya,  My Wife My Treasure, berisi tentang apresiasinya terhadap kesetiaan dan kegigihan isteri mendampinginya, terutama disaat stroke, adalah panduan hebat untuk kekokohan pasangan dalam melayani pasangannya disaat-saat menghadapi ujian berat tersebut.

Hebat. Disaat berjuang melawan, stroke, beliau masih bisa menulis. Ternyata, menulis bisa dilakukan dalam situasi dan kondisi kesehatan apa pun.

Kedua, menulis adalah obat. Saya menyimpulan demikian karena teringat pada dua kejadian lain, beberapa tahun silam.

Seorang wartawan senior Kompas asal Sumatera Barat, Martias Duski Pandoe, yang sehari-hari disapa Pak Pandoe, pernah menjalani hal tersebut. Dihari tuanya, beliau diserang stroke. Yuniornyo, Sutan Zaili Asril, saat itu  menahkodai Harian Pagi Padang Ekspres, mengundangnya untuk terus menulis. Akhirnya beliau menulis setiap Minggu di Padang Ekspres. Ketika itu, Pak Pandoe berusia 75 tahun.  

Seorang wartawan senior lain, Sjafri Segeh yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Haluan, koran terbitan Padang, dihari tuanya juga tetap menulis. Katanya suatu ketika kepada penulis, selain untuk terus menyalurkan pikiran kita kepada publik, juga untuk mengasah otak agar jangan cepat pikun.

Semoga buku Mas Santoso berjudul My Wife My Treasure segera terbit menyusul Melawan Stroke dan bisa laris manis di pasaran. Salam salut dari yunior, Mas!*

 

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...