29 May 2018

Kalah Kelas Dibandingkan Porkota

* Catatan Kecil Seremonial Pembukaan Porprov XIV/2016 Sumbar di Padang

Oleh: Firdaus Abie

Katanya, ada 18 kontingen yang berlaga di Porprov XIV Sumbar di Padang, sebab Kota Padangpanjang tak ikut serta, tetapi kenapa hanya ada 17 yang ikut defile? Kenapa pula wasit,  juri tidak ikut berdefile? Apakah ada aturan baru yang saya tidak tahu? Mohon pencerahannya, maklum  saya masih awam soal olahraga!
Status saya di facebook itu ditanggapi beragam sejumlah kawan. Tak hanya di beranda, tetapi ada juga yang menelpon langsung.
“Apakah hanya dua itu yang tampak?” tanya sejumlah kawan kepada saya. Tentu saja tidak!
Saya mencatat sejumlah ketidaklaziman terhidang  terang benderang dari seremonial pembukaan berbiaya besar tersebut. Seremonial pembukaan yang diharapkan menggetarkan, ternyata hanya sebuah tontotan tanpa greget.  
Pertama, Kota Padang yang seharusnya menjadi barometer, ternyata tak berdaya pada seremonial pembukaan Porprov XIV Sumbar, 2016. Kalah telak dibandingkan pembukaan tiga Porprov terakhir; di Agam, 2010. Di Limapuluh Kota, 2012. Di Dharmasraya, 2014.  Padahal, ketiganya tanpa menggunakan jasa EO asal Jakarta.
Saya yang awam, semula membayangkan. Menggunakan jasa EO dari Jakarta akan memberikan nilai lebih, sebab selama ini, orang-orang di daerah cenderung terlalu percaya bahwa kualitas orang-orang Jakarta selalu di atas kemampuan orang di daerah. Itu pula sebabnya, selepas magrib yang disambut gerimis, saya tetap melangkah mengharapkan dapat hiburan.
Kedua; Ketidakhadiran kontingen Kabupaten Dharmasraya saat defile, tak hanya menjadi sebuah preseden buruk, tapi secara tak langsung, telah “melecehkan”  rangkaian acara. Seremonial pembukaan dan penutupan adalah salah satu bagian penting dari sebuah agenda olahraga multievent yang harus diikuti setiap kontingen.
Dharmasraya telah “menodai” dengan menghadirkan “sejarah baru” pada Porprov. Kejadian ini akan memberi inspirasi  bagi daerah lain dikemudian hari, ternyata agenda pembukaan dan atau penutupan, bisa diabaikan.
Tak terbayangkan,  kontingen yang berkekuatan 300 atlet, 70 official, ternyata tak bisa mengirimkan wakilnya untuk defile. Kalau pun ada yang bertanding sebelum pembukaan, atau ada yang  akan bertanding besok paginya, namun tidak bisakah menghadirkan agak 30 sampai 50 orang saja untuk berdefile? Daerah lain juga tidak mengirimkan semua atlet atau officialnya untuk defile, namun ada wakilnya. Ada papan nama daerahnya yang berada di arena.
Saya yang berada di sisi kiri tribun tertutup, mencoba mencari-cari bupati Dharmasraya Sutan Riska, di tribun kehormatan. Saya ingin melihat wajahnya. Saya ingin melihat reaksinya saat tak ada kontingen dari daerah yang dipimpinnya berada di barisan defile tersebut, namun keinginan itu tidak terwujud sampai saya  meninggalkan Stadion H Agus Salim.  Pembatas tribun kehormatan dengan tribun di samping kiri, tempat saya duduk,  membuat saya tak bisa menemukan beliau.
Ketiga; saya sempat kagum, Porprov XIV memiliki theme song khusus. Hebat! Ternyata, theme song yang sudah dipersiapkan lama, sejumlah anak muda telah mempersiapkan diri, pagi hingga malam, ternyata gagal tampil. Persoalannya sepele, theme song yang dinyanyikan grup band lokal itu tak masuk dalam daftar acara. Mereka hanya grup band lokal! Tak hanya grup band yang akan membawakan theme song itu saja, tapi juga sejumlah grup band lokal gagal tampil. Tak ada ruang waktu untuk mereka.
Padahal, misalnya, grup band yang akan menyanyikan theme song itu bisa ditampilkan saat mengiringi defile kontingen, atau pada waktu yang dikhususkan, sebab mereka membawakan theme song yang membawakan lagu khusus, pembawa semangat yang disesuaikan dengan tema perjuangan duta-duta olahraga se Sumbar. Theme song Porprov kalah tempat dari  solo song.  
Keempat; baru kali ini saya menyaksikan pemandangan aneh pascadefile kontingen. Ada dua kejadian aneh. Pertama, kontingen yang sudah berdefile,  berbaris di lapangan hijau, menghadap ke tribun utama. Saling berhadapan dengan penonton dan tamu di tribun kehormatan.
Para atlet tersebut kemudian pergi begitu saja, meninggalkan penonton dan tamunya di tribun, sebelum barisan mereka dibubarkan. Lazimnya dalam sebuah kegiatan multievent olahraga; setelah seremonial pembukaan ---di antaranya berisi menyanyikan lagu Indonesia Raya, Laporan Panitia, Sambutan-sambutan, pembukaan ditandai dengan sirine atau pemukulan benda tertentu dan sebagainya, penyulutan api di kaldron---, maka seremonial pembukaan berakhir, kontingen yang berada di lapangan dibubarkan, kemudian acara hiburan dilaksanakan di lapangan.
Tapi yang terjadi saat pembukaan Porprov XIV tidak begitu. Sebahagian besar atlet sudah meninggalkan lapangan hijau sebelum seremonial pembukaan berakhir. Lalu, keanehan kedua; atlet yang masih berbaris di lapangan hijau karena tahu seremonial belum selesai, tiba-tiba seakan “terusir” karena adanya tari massal yang hendak menggunakan lapangan.
Kelima; seorang mantan petinju Sumbar yang duduk di samping saya sempat mengumpat kesal. Alasannya, bendera KONI yang dinaikkan dengan iringan lagu Patriot Olahraga, dipasang di tiang bendera yang sama tinggi dengan bendera Merah Putih. Katanya, ada aturan pemasangan bendera Merah Putih jika digandengkan dengan bendera lain.
Keenam, satu laporan panitia dan tiga sambutan. Semuanya berdurasi lumayan panjang, sehingga meninggalkan kegelisahan bagi banyak orang. Durasi yang lumayan panjang ini memaksa acara terus molor. Padahal sesungguhnya bisa dikondisikan sejak awal. Disaat kegelisahan pada pidato-pidato yang panjang itu, suasana pun sedikit terganggu lantaran Sekretaris Menpora memberikan apresiasi terhadap Porprov Sumatera Utara (bukan Sumatera Barat), walau kemudian diralatnya Porprov Sumatera Barat.
Keenam; ketika rombongan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno belum sampai diposisi semestinya, MC sudah mengumumkan untuk menyanyikan lagu kebangsaan, sehingga saat lagu Indonesia Raya berkumandang, semuanya masih sibuk mencari posisi.
Catatan di atas, hanya catatan kecil saja.  Refleksi bagi pengelola iven olahraga. Ternyata, rentang waktu yang panjang tidak memberikan jaminan perbaikan kualitas. Pelaksana dari luar bukan jaminan kualitasnya lebih.
Setelah di bagian atas catatan ini saya membandingkan dengan pembukaan tiga Porprov terdahulu kalah kelas, tiba-tiba saya jadi ingat, dibandingkan pembukaan Porkota Padang tahun 2004 pun, juga jauh tertinggal. Tidak menggunakan tenaga luar, justru lebih meriah dan mampu mendatangkan Menpora untuk meresmikannya.
Maaf, ini hanya catatan dari saya yang awam soal olahraga! Sudahlah, Saya takut nanti ada yang tersinggung. *

Catatan; Tulisan ini dimuat di Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...