18 February 2018

Menggantung Aib




Sejak ditanya Mirna, Badri tak lagi pernah ke tapian. Perasaan takut bercampur aduk dalam dirinya. Selama tak pernah lagi ke tapian, ia juga terus mencoba mencari peluang untuk menemukan Mirna. Tapi sepanjang itu pula, Mirna tak pernah dijumpainya.
Badri berupaya memintas jalannya sepulang mengantarkan makanan untuk abaknya, tapi saat itu, bukan Mirna yang mengantarkan makanan, melainkan amaknya. Badri berpapasan dengan wanita ramah dan berkerudung itu. Wanita itu disapanya. Ia balik menyapa dan menegur Badri, malahan menanyakan kondisi mande. Badri menjelaskan kalau mande dalam keadaan sehat.
Amak dari Mirna kemudian bercerita, ia juga sudah kangen dengan mande. Sudah lama tak jumpa. Badri baru sadar, selama ini hubungan amak Mirna dengan mande sangat baik. Amak Mirna menganggap mande sebagai kakak.
Sejak pertemuan Badri dengan amak, ia semakin dihantui perasaan takut yang dalam. Kalimat amak yang mengaku sudah kangen pada mande, sudah jadi penambah takut diri Badri. Ia berpikir, jangan-jangan rasa kangen itu hanya sekadar jalan untuk datang dan bertemu mande saja, kemudian amak akan mengungkapkan semua kelakuan anak bujang mande.
Perasaan takut bercampur aduk dalam diri Badri. Ia merasa menyesal telah melakukan hal yang tak senonoh itu. Ia menyesal, seharusnya kalau pun berniat untuk menjaga Rabiatun, seharusnya ia tidak sampai mengintip. Seharusnya dijaga dari kejauhan saja, tidak dimanfaatkan untuk berketerusan mengintip posisi Rabiatun disaat mandi.
Dua pekan selepas pertemuan dari lapau dulu, Badri kembali bertemu Mirna tanpa sengaja.
Dua minggu tidak ke tapian, kemana saja uda?” tanya Mirna, ketika mereka bertemu saat ada baralek[1] di rumah wali nagari. Ketika itu, Badri sedang menyiapkan kayu api di halaman belakang.
Pertanyaan itu tak saja mengejutkan Badri, tetapi hampir saja menjatuhkan kampak  untuk membelah kayu api. Badri tak menjawab.
Hanya saya saja yang tahu kalau uda sering ke sana, tapi kemana saja uda belakangan,” tanya Mirna lagi.
Badri serba salah. Mau bicara, mulutnya seakan terkunci. Mau menjawab, ia seakan kehilangan pikiran. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Saat belum ada jawaban sepatah kata pun, Mirna sudah tidak berada di tempatnya. Ia sudah kembali ke dapur, bergabung dengan gadis-gadis lain mempersiapkan kebutuhan dapur.
Selepas ditinggal dalam bingung, Badri selalu memperhatikan gerak-gerik Mirna. Ia menunggu saat yang tepat untuk bicara. Jika perlu meminta maaf. Badri sadar, apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Salah besar. Jangankan meminta maaf, diminta bersujud di kakinya pun, akan dilakukan Badri, asalkan Mirna tidak menyampaikan semua yang terjadi pada orang lain. Jika Rabiatun membocorkan, tamatlah riwayatnya.
Dalam kebingungan itu pula, Badri tak habis pikir. Ketidakhadirannya dalam dua pekan terakhir ke tapian, ternyata juga diketahui Mirna. Kebingungan Badri makin menjadi-jadi. Ternyata Mirna tahu segalanya tentang Badri. Termasuk kalau sudah dua pekan dirinya tidak mengintip ke tapian lagi.

*

Sejak pertemuan ketika membantu persiapan baralek wali nagari, keduanya pun tak pernah berjumpa lagi. Sekali pun Badri tak pernah mendengar desas-desus tentang perangainya terhadap Rabiatun, namun ia tetap waspada. Ia tak ingin kecolongan. Ia tak ingin ditangkap massa. Ia kemudian menjaga jarak dengan banyak orang. Ia lebih banyak di rumah, jika tidak, ia dijumpai di sawah dan ladang.
Badri mencoba mengubur peristiwa itu. Perangai buruk yang pernah dilakukannya dialihkan pada kerja ke sawah dan ladang. Perubahan itu sekaligus membuat mande dan ayah heran bercampur haru. Badri yang ditemuinya sekarang tak lagi seperti Badri pada masa-masa sebelumnya.
Selama menjadikan kerja di sawah dan ladang sebagai pelarian untuk melupakan masa lalu, mengintip Rabiatun mandi di tapian, selama itu pula ia sulit melupakan bayangan. Bayangan lekuk tubuh Rabiatun di balik kain basahan, masih saja menari-nari di hadapannya. Selama mencoba melupakan peristiwa buruk itu, selama itu pula kehadiran Rabiatun menemuinya saat membelah kayu api, kembali datang padanya.
Ia sudah mencoba membuang jauh, sudah mengubur dalam-dalam, namun tetap saja tak mampu lepas darinya. Rasa sesal semakin menyesakkan di dirinya. Perasaan malu dan ketakutan masih terus  menghantui.  
Ia malu karena Mirna  justru mengetahui kalau dirinya mengintip Rabiatun  mandi di tapian. Badri juga takut, kalau Mirna menceritakan pada orang lain, bisa saja kelakuan buruknya sampai ke sidang nagari.
Terlintas dalam pikirannya, ia harus menemui Mirna dan kemudian bicara secara khusus. Ia berpikir, kalau tidak segera diselesaikan, dikuatirkan Mirna akan membeberkan pada orang lain. Ia sudah siap dengan sikap yang akan dilontarkan Mirna kepadanya. Sudah sangat siap. Apa saja akan diterima.
Ia pun kemudian mencari akal untuk bisa bertemu. Tapi tak pernah bisa. Akal lain pun diputar. Badri teringat salam yang dikirim amak untuk mande. Salam itu pun kemudian disampaikan Badri kepada mande.
Salam yang hebat. Mande merespon salam untuknya. Beliau menanyakan perihal amak Mirna kepada Badri, termasuk dimana bertemu. Ia mengatakan, sudah sangat lama tidak berjumpa. Sudah sangat lama mereka tak bertemu. Ia kemudian mengingatkan kenangan masa lalunya pada Badri, saat mereka masih remaja. Sering bersama.
Tiga hari kemudian, Badri terkejut. Mande meminta agar Badri mengantarkan masakan yang baru saja selesai dimasak. Mande memasak khusus makanan kesukaan teman lamanya, jariang batokok lado hijau. Mande yakin, kawannya tersebut belum akan berubah selera. Kalau pun berubah, ia masih yakin kalau temannya tersebut mau menikmati masakannya, apalagi ketika mereka masih akrab bergaul, semua teman-teman mereka tahu kalau mande paling jago memasak. Apa saja masakan yang diolahnya pasti enak.
Sekali diminta, Badri langsung menerima. Ia tak berpikir panjang. Ia berpikir, ini kesempatan sangat berharga untuk bisa bertemu Mirna. Jika tidak begini, akan sulit mencari momen agar bisa ke rumahnya, kemudian bertemu Mirna.
Badri mempersiapkan diri sedemikian rupa. Ia sudah menata pakaiannya, sudah mempersiapkan kata-kata yang hendak disampaikan kepada Mirna. Ia pun kemudian melangkah mantap. Langkah yang dilangkahkannya adalah langkah-langkah pasti. Ketika langkahnya terus bergerak pasti, tanpa disadarinya, hatinya terasa kuat untuk bertemu dan berterus terang pada Mirna, setelah itu minta maaf.
Ketika sampai di rumah Mirna, kehadiran Badri disambut amak. Salam balik dan masakan mande diterima amak sangat antusias. Beliau tak mengira kalau mande Badri masih ingat makanan kegemarannya. Amak menyukai masakan itu justru pertama kali diperkenalkan oleh mande, saat itu, mereka masih sama-sama hendak menyelesaikan sekolah dasar.
Setelah amak menerima masakan, beliau meminta Badri menunggu sejenak. Beliau pun masuk ke pondoknya, tak lama berselang Mirna keluar, menemui Badri. Lelaki yang awalnya sudah mempersiapkan diri, mendadak berubah grogi.
Dikuatkan diri untuk menyampaikan rencananya, namun Mirna hanya merespon dengan senyum kecut. Senyum miring. Ia tampak tak terlalu serius menanggapi Badri, “Belum saya sampaikan kepada siapa pun,”  katanya memancing dengan senyum miring.
Badri tertegun. Ketika ia hendak bicara, Mirna justru menghindar. Ia meninggalkan Badri begitu saja.








[1] Pesta pernikahan

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...