11 February 2018

Ketakutan Badri

Hop! Tatapan mata Badri tertumpuk pada sepasang bongkahan di dada Rabiatun. Jantungnya berdegup kencang. Badri mencoba menahan diri, menahan debaran jantung yang berdentum deras, sederas dentuman air terjun di tapian. Badri takut kalau-kalau dentuman itu terdengar Rabiatun.
Setelah sebelumnya tanpa sengaja melihat Rabiatun mengosok dan mengerayangi tubuhnya dengan sabun, kali ini Badri melihat sepasang bongkahan itu saat Rabiatun bersalin basahan dengan sarung yang kering, kemudian mengenakan pakaian.
Sejak melihat pemandangan itu, Badri merasa ia seperti menikmati pemandangan sendiri. Pemandangan yang menyenangkan, tak pernah ditemuinya sebelumnya. Pemandangan itu dinikmatinya dalam debaran jantung yang berdentum kencang. Seakan mampu mengoyang batang beringin tempatnya bersembunyi.
Badri juga harus memutar otak. Ia harus bisa mencari alasan yang tepat agar selepas ashar bisa menghindar dari kawan-kawan sepermainannya. Biasanya, saat-saat menjelang dan selesai ashar, mereka belum selesai bermain.
Sepekan pertama, Badri memberikan alasan yang asalan saja. Kawan-kawannya tak curiga. Mereka membiarkan Badri pergi. Setelah itu, Badri bingung sendiri. Ia selalu kesulitan untuk mencari alasan yang harus diubah-ubah setiap hari.
Belakangan, ia dapat akal. Ia memberikan alasan yang sangat jitu, sehingga, selepas ashar ia bisa pergi meninggalkan kawan-kawannya tanpa harus meminta izin lagi. Ia beralasan harus membantu ayahnya setiap selepas ashar. Jika tidak, ia akan dimarahi. Kawan-kawannya pun tak bisa menolak. Sejak saat itu, Badri bisa bebas untuk langsung ke tapian.
Selama itu pula, Badri tahu lekuk tubuh Rabiatun. Ia sangat menikmati lekuk tubuh itu dan ingin segera memilkinya, namun ia harus menahan diri. Tak boleh terburu-buru. Harus benar-benar memastikan kondisinya dan kemudian datang kepada keluarga Rabiatun pada saat yang tepat.
Badri  tahu kalau Rabiatun memiliki tanda lahir berupa bulatan hitam di bawah kuduknya. Tanda lahir itu berbentuk tompel, namun di mata Badri, tompel itu tidak membuat rusak punggung Rabiatun. Ia justru memandang tompel tersebut sebagai hiasan untuk memperindah punggung yang kuning langsat. Bagaikan kejora di malam kelam. Bagaikan mutiara di dalam lumpur. Membangkitkan gairahnya. Badri benar-benar menikmati.
Tapi, Badri tetaplah anak manusia biasa. Ia lengah. Kalau pun ia merasa sudah sangat hati-hati, sudah sangat waspada, namun aktivitasnya ada yang mengawasi. Badri telah mambungkuh tulang jo daun kaladi[1].
Tanpa pernah diduga, Badri tak sempat menjawab sepatah kata pun ketika Mirna menyapanya saat berpapasan jalan ketika secara tak sengaja bertemu sepulang dari lapau.
“Kenapa uda sering mengintip orang mandi?”  tanyanya.
Belum sempat tanya terjawab, Badri makin terkejut dengan pertanyaan susulan Mirna, “Apakah ada yang montok?”
Ketika tanya belum terjawab, Mirna berlalu. Badri terpaku dalam ketidakmengertian. Bingungnya bercampur malu. Ia terkejut,  ternyata ada yang mengetahui kalau dirinya  mengintip Rabiatun  mandi di tapian. Dua patah kalimat dari Mirna itu membuatnya terdiam. Tak bisa bereaksi apa pun. Ibarat petinju, ia tergelatak di atas  ring setelah dipukul roboh. Ia kalah telak dari lawan tak sebanding. Badri kalah TKO.
Dalam keadaan bingung, Badri mencoba mencari tahu, kenapa Mirna tahu kalau dirinya sering  mengintip di tapian.  Setiap langkah yang dilangkahkannya ke tapian mau pun saat sudah berada di tapian, ia selalu  memastikan tidak pernah seorang pun yang tahu.  Tak seorang pun yang pernah mengikuti langkahnya.
Badri pun kemudian berlari-lari kecil mengejar Mirna, ”Jangan asal tuduh saja,” katanya sesaat berada di samping Mirna.
Gadis yang dikejarnya melirik sekilas, kemudian melanjutkan perjalanannya. Badri masih mengikuti langkahnya, ”kalau takut merasa dituduh, kita selesaikan saja di balai adat. Saya punya bukti perangai uda,” tantang Mirna.
Ia kemudian berlalu meninggalkan Badri.
Badri tersintak. Ia mati kutu! Langkahnya terhenti. Tubuhnya menggigil. Berguncang hebat. Kakinya  terpaku ke bumi. Dicobanya untuk mengangkat kaki kanan, tak bisa. Sangat berat. Dicoba pula untuk melangkahkan kaki kiri, terasa lebih berat. Mulutnya pun terkunci. Wajahnya pucat pasi.
Dicoba untuk memanggil Mirna, namun niatnya diurungkan. Ia tak mau Mirna ”menelanjangi”-nya lagi. Ia merasa seakan dipukul sangat kuat oleh gadis yang selama ini tak pernah menjadi perhatiannya.  Pukulan itu telak mengenai wajahnya. Menghancurkan mukanya. Berkeping-keping.
Badri mencoba mencari-cari, kapan ia ketahuan mengintip oleh Mirna. Ia mencoba mengingat kejadian-kejadian yang pernah dilalui selama mengintip Rabiatun di tapian, namun ia tak menemukan momentum kapan Mirna mempergoki kelakuannya.
Pikirannya melayang jauh ke belakang, menjemput ulang kisah masa lalu. Mencari waktu-waktu yang telah terpenggal untuk menemukan momentum masa lalu. Badri mencoba mengingat, apakah gerakan, langkahnya atau desahan nafas mau pun debaran jantungnya ada yang mencurigakan sehingga diketahui.  Ia merasa langkahnya tak ada yang mencurigakan, namun dirinya tak habis pikir kenapa Mirna mengetahui kalau dirinya sering mengintip di tapian.
Dalam kebingungan,  Badri  berpikir, ia harus bicara khusus dengan Mirna. Ia takut kalau aksinya itu dibeberkan  kepada orang lain, atau ke wali nagari. Jika itu terjadi, maka ke manalah wajah akan disurukkan. Apalah kata orang kampungnya nanti. Apalah yang akan terjadi pada mande dan ayahnya nanti.
Terbayang di pikirannya, orang-orang kampung akan menelanjangi dan kemudian mengusirnya keluar dari kampung. Ia tak mampu membayangkan kalau dirinya  disidang, kemudian diberi hukuman cambuk di hadapan orang banyak selepas salat jumat.
Kalau itu terjadi, apa yang harus dilakukannya? Seburuk-buruk nasib yang akan diterimanya adalah hukuman terburuk dan paling hina di kampungnya, yakni hukuman dibuang sepanjang adat. Jika itu terjadi, maka ia harus menghapus kampung halamannya, kawan-kawan sepermainannya dari dalam pikirannya. Ia harus pergi jauh. Tak akan pernah diizinkan pulang kampung, sekali pun mayatnya sudah terbujur kaku.
Tak seorang pun yang berani menantang hukum adat di kampungnya. Tak seorang pun yang mau berperkara perihal adat di tanah kelahirannya. Bagi masyarakat beradat, seperti orang-orang di kampungnya, perihal adat adalah perkara sakral pertama dalam kehidupan mereka setelah agama.
Setiap langkah kehidupan masyarakat, semuanya dilandaskan pada aturan agama dan adat. Tak ada yang berani untuk menolak apalagi melawan aturan yang ada. Jika dilarang agama, maka otomatis adat akan ikut melarang. Tak bisa ditawar-tawar. Tak seorang pun berani bernegosiasi. Jangankan dilarang oleh agama dan adat, langkah yang tidak dilarang oleh agama tapi dilarang oleh adat, maka tak seorang pun yang berani membantah, melanggar apalagi sampai melakukannya.
Agama yang dianut orang kampungnya hanya melarang pernikahan sepasang anak manusia yang sama-sama memiliki garis keturunan seayah dan seibu. Tak ada aturan yang melarang pernikahan sesuku, tapi adat mengatur larangan. Setiap anak yang lahir ke muka bumi otomatis menjadi anggota kaum dari sebuah suku. Suku yang menjadi garisan silsilah anak tersebut menurut pada turunan garis kaum amaknya. Suku amaknya  menjadi suku anak tersebut.
Larangan adat, sekali pun sepasang anak manusia tersebut tidak memiliki hubungan keluarga dari garis ayah atau ibunya, namun jika keduanya satu suku, tak ada alasan yang membenarkan mereka bisa menikah. Aturan itu sudah berlaku sejak lama, sejak nenek moyang mereka. Konon kata nenek moyang mereka secara turun temurun, aturan itu sudah ada sejak masa gunung berapi masih sebesar telur itik.
Garisan sesuku dianggap sebagai garisan kekerabatan yang sangat dekat. Sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, bagaikan sisi setiap jari. Terpisah oleh jarak namun satu dalam sebuah genggaman. Sejak bumi terbentang, tak seorang pun yang berani melanggar pantangan.*




[1] Membungkus tulang dengan daun (istilah di Minangkabau) yang berarti, seberapa pun pintarnya menyimpan sesuatu, maka suatu saat akan diketahui oleh orang lain juga.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...