29 June 2015

Kedai Ayah



Oleh: Firdaus


Lelaki tua itu meminta diturunkan ketika mobil yang membawa kami sampai di depan pasar Padangpanjang. 
“Ayah turun di sini saja,” katanya.
Kemudian mobil berhenti menjelang pertigaan Padangpanjang – Tanahdatar – Bukittinggi. Sebelum turun, lelaki tua itu tak lupa mengucapkan terima kasih. Berulangkali ia mengucapkannya.
Setelah ia turun, teman sekantor, yang sejak dari Padang bersama saya ke Bukittinggi, berulangkali mengungkapkan rasa kagum kepada lelaki tua itu.  
“Kini saya baru benar-benar percaya,” kata sang teman.
Saya terkejut, “berarti selama ini, sebelum anda berjumpa dan mendengarkan langsung dari beliau, tak percaya dengan apa yang saya sampaikan?”
“Masalahnya bukan soal percaya atau tidak, kisah yang pernah kamu sampaikan, seakan kisah di cerpen saja. Anda salah seorang penulis cerpen, jadi saya sedikit ragu,”
“Ragu soal materinya atau apa?”
“Materi yang disampaikan dan kisahnya secara detail, tapi ketika saya konfirmasikan ulang, ternyata tak ada perbedaan,” katanya.
Saya tersenyum. Kawan saya tersebut tetap bergumam dan mengagumi lelaki tua yang saya panggil ayah tersebut.
Ayah yang saya maksud, tak ada hubungan apa pun dengan saya. Saya mengenalnya, mungkin, secara kebetulan. Suatu ketika, tiga tahun lalu, ketika mengemudikan kendaraan dari Padang ke Bukittinggi, saya mampir di sebuah kedai kecil, persisnya di perbatasan Tanahdatar - Padangpanjang. Kedainya bersih, toiletnya juga. Ada mushalla kecil. Bersih dan sangat terawat.
Belum habis kopi yang saya pesan, empat orang anak muda tampak gelisah. Setelah menghitung uang, satu sama lain masih saling merogoh kantong.
"Pak, maaf. Uang kami tak cukup. Jika diizinkan, kami titipkan ktp dan hp di sini dulu. Besok lusa kami mampir lagi ke sini. Hanya ini sisa uang kami, pak," kata salah seorang dari mereka lalu menyerahkan uang yang terkumpul, sebuah ktp dan hp, kepada pemilik kedai.

"Ananda dari mana dan hendak kemana?" tanya lelaki pemilik kedai. Usianya saya perkirakan mendekati 70an tahun.
Kemudian dijelaskan, mereka dari Padang. Sehari-hari kuliah di Padang. Tujuan mereka hendak pulang kampung lantaran ada libur kuliah beberapa hari. Pemilik kedai itu kemudian mengambil beberapa lembar uang saja. Tidak semuanya.
"Ayah ambil ini saja. Sudah cukup. Kalian bawa sajalah. Siapa tahu sisa uang itu ada gunanya sepanjang perjalanan kalian. Begitu pun ktp dan hp ini, pasti sangat kalian membutuhkan," katanya sembari ia menyebut panggilan ayah kepada dirinya.
Keempat anak muda itu bingung. Mereka terkejut, "bawa sajalah. Jika kalian sempat ke sini lagi, mampirlah. Jika tidak, ayah sudah mengikhlaskannya. Semoga kelak kalian menjadi orang-orang yang berguna bagi bangsa dan agama," katanya sambil menepuk-empuk bahu anak-anak tersebut.
"Tapi...."
Belum sempat mereka melanjutkan, pemilik kedai itu memotong kalimat anak muda tersebut, "tak usah kalian pikirkan, kalian kan sudah bayar. Ini uang kalian sudah di tangan ayah kan?" jawabnya balik bertanya sembari memperlihatkan lembaran uang kertas di tangannya, uang dari anak muda tersebut. Ia hanya mengambil beberapa lembar saja, lalu sisanya diserahkan kembali kepada anak-anak muda tersebut.
Setelah itu pemilik kedai tersebut mengizinkan mereka pergi dan beliau mengantarkan mereka sampai parkiran di depan kedai. Anak-anak itu kemudian bersalaman sembari mencium tangan lelaki tua tersebut.
Tiga tahun berselang,  saya mampir lagi di kedai tersebut. Kedainya masih seperti dulu. Masih bersih. Toiletnya juga bersih. Mushalla makin indah. Di sekitar kedai itu, ternyata sudah berdiri kedai-kedai lain sejenis, namun kedai ayah lebih ramai daripada saat saya mampir dulu. Juga lebih ramai dibandingkan kedai-kedai yang lain.
Kisah itu saya sampaikan kepada beberapa teman. Di saat  kehidupan yang  sulit saat ini, masih saja ada orang yang mau menolong tanpa pamrih. Hebatnya, langkah itu  dilakukan seorang yang sudah lanjut usia, padahal kedainya hanya kedai kopi kecil di pinggir jalan.
“Kalau ada yang belanja, tapi uangnya tidak cukup, bagaimana, Yah?” tanya kawan saya, ketika kami dalam perjalanan.
Pertanyaan kawan itu, seakan ia mengkonfirmasikan perihal yang pernah saya sampaikan kepadanya, ketika saya menyaksikan dan mendengar langsung dialog ayah dengan empat anak muda yang kekurangan uang saat perjalanan dari Padang – Bukittinggi, tiga tahun silam.
“Ayah ikhlaskan saja, sebab pintu rezeki dari Allah sangat banyak. Jika kita berbuat baik dan ikhlas, niscaya akan banyak pintu rezeki yang terbuka,” katanya.
Kehadiran ayah di mobil yang membawa saya dan teman kantor itu, lantaran sebelumnya kami sempat mampir di kedai itu sejenak untuk mengopi. Ketika akan melanjutkan perjalanan, saya melihat ayah seperti menunggu sesuatu.
Saya menanyai, sedang menunggu siapa? Ayah menjelaskan, ia sedang menunggu kendaraan yang akan ke Padangpanjang. Lantaran kami akan melalui arah yang dimaksudnya, saya mengajak ayah untuk ikut. Jadilah –ketika itu--- kami satu kendaraan. *


CATATAN
Naskah ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu 10 Mei 2015



No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...