10 November 2013

Maetong Suaro Antu

Oleh: Firdaus


Di Nagari Matikutu, sekelompok orang sedang berkumpul. Jika dilihat dari latar belakangnya, apalagi latar belakang terakhirnya, mereka adalah “orang-orang hebat“ karena baru saja mencalonkan diri untuk menjadi pejabat di Nagari Matikutu tersebut. 
Keinginan mereka menjadi pejabat tak menjadi kenyataan. Ketika penghitungan suara, suara mereka jauh tercecer di bawah pemenang I dan II. Dua peraih suara terbanyak, suara mereka juga tidak memenuhi syarat untuk langsung menjadi pejabat, sehingga dua peraih suara terbanyak itu harus mengulangi lagi pertarungan. Akan dilakukan pemilihan ulang.  
Ada pun mereka yang sedang berkumpul,  pada pemilihan ulang,  hanya akan menjadi penonton, kemudian menunggu siapa yang akan menang. Tapi, menariknya, mereka masih saja maajan tuah. Mereka sudah melemparkan umpan dengan harapan umpan tersebut akan “dimakan” oleh salah satu dari dua peserta yang bertarung pada pemilihan ulang.
Umpan yang dilemparkan berupa iming-iming sikap bahwa mereka akan mendukung salah satu dari dua calon.  Alasan mereka yang berkumpul, mereka punya dukungan. Dari total dukungan mereka, jika dukungan suara itu diberikan pada salah satu calon, maka memungkinkan calon yang didukung memiliki perolehan suara yang sangat signifikan. Kemudian memenangi pertarungan pemilihan ulang.
Umpan yang mereka tebar, mengandung isi. Isinya, ada ketentuan yang harus dipenuhi oleh calon yang akan didukung. Di antaranya, kapasitas dan kapabilitas calon yang akan mereka dukung akan melalui sejumlah proses. Konsep calon tersebut untuk membangun Nagari Matikutu akan dibedah dalam diskusi dengan mereka. Jika sesuai dengan konsep mereka, baru mereka akan mendukung calon tersebut.
Jika tidak ada yang sesuai, mereka tidak akan memberikan dukungan pada siapa pun. Mereka kemudian memilih untuk memposisikan diri untuk  mengamati dan mengawasi pemerintahan yang akan dijalankan calon terpilih.
Karapai dan Badai yang sejak awal mendengar diskusi orang-orang kalah itu, di lapau One Basuih, sesekali tersenyum mencuri dengar pembicaraan mereka. Dua sahabat itu kemudian mendiskusikan orang-orang kalah tersebut setengah berbisik.
Karapai menilai, mereka tak ubahnya sebagai orang-orang aneh. Sudahlah kalah, maajan tuah pula. Apa betul hebatnya sudut pandangan mereka terhadap langkah membangun Nagari Matikutu, sehingga dua pemilik suara terbanyak harus menyesuaikan dengan mereka?
“Kalau memang hebat, kenapa rakyat tak memilih mereka?” tanya Karapai pada Badai.
Namun kemudian Badai mendukung orang-orang kalah tersebut. Di mata Badai, ada juga benarnya kalau dua calon yang akan berlaga di babak terakhir berkolaborasi dengan mereka yang kalah. Bekal yang dimiliki orang-orang kalah tersebut bisa digabungkan dengan mereka.
Karapai menolak. Dari sudut pandang Karapai, apa yang ditawarkan orang-orang kalah tersebut tak lebih dari dua hal saja; bargaining dan upaya untuk mencari tempat jatuh yang empuk. Dua hal tersebut sekadar untuk menutup malu dari kekalahan saja.
“Haruskah pemenang yang menyesuaikan diri dengan mereka yang kalah?” tanya Karapai.
Belum sempat tanya terjawab, Karapai pun membeberkan logika. Muara dari pemilihan ulang adalah peraih suara terbanyak. Kalau pun total suara orang-orang kalah di babak awal dikumpulkan, dan persentasenya cukup tinggi, tapi tidaklah memberikan jaminan  bahwa suara tersebut akan bisa dipindahkan begitu saja.
Suara tersebut ada di tangan pemilih. Di tangan masyarakat luas. Di tangan masyarakat bebas. Memindahkan suara tersebut tidak semudah bicara, tidak segampang membalik telapak tangan. Jangankan suara masyarakat luas yang bebas, suara keluarga atau tetangga saja tidak ada yang bisa menjamin. Kecuali kalau pemberian hak suara diwakilkan pada calon-calon bersangkutan.
Karapai tersenyum.
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Badai.
“Pantas saja mereka kalah, dan beruntung warga Nagari Matikutu tak menjadikan salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya,” Karapai menyimpulkan.
“Kenapa? Kenapa begitu?” tanya Badai.
“Ya, pantas mereka kalah. Sudut pandangnya terhadap penghitungan sebuah proses seperti itu. Kemudian beruntung warga Nagari Matikutu tidak memilih calon pemimpin yang bisanya maetong suaro antu. Hari gini masih maetong suaro antu?”  Karapai menyindir sembari menyebutkan, pertemuan mereka tak ubahnya habih cakak takana silek. *  
(firda71_padang@yahoo.com)


Catatan: Tulisan ini juga dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 10 November 2013. Lihat juga di http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4117

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...