25 April 2012

Ujian Nasional



Oleh: Firdaus


Kini namanya Ujian Nasional (UN). Hari ini, sudah dua hari UN tingkat SLTP dilaksanakan. Pekan lalu, UN SLTA. Sebelum bernama UNi, namanya Ujian Akhir Nasional (UAN). Sebelumnya lagi, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Sebelumnya lagi, Evaluasi Belajar Tahan Akhir (Ebta).
Apa yang berbeda? Seorang teman saya semasa es em a dulu yang  kini menjadi guru, menyebutkan; substansinya tak berbeda, tetapi “entertainment”-nya yang seakan dikondisikan.
Maksudnya?

Substansi dimaksud, perihal lulus atau tidaknya seorang siswa ditentukan oleh nilai pada bidang studi tertentu, yang diujiankan selama UN tersebut. Bagaimana nilai lain, seakan “tidak dianggap” jika nilai UN jeblok. Dinyatakan lulus jika nilai rata-rata bidang yang diujiankan; 5,5. Nilai rata-rata ini lebih tinggi dibandingkan semasa kami  sekolah dulu.
Di sinilah letaknya mata pelajaran lain seakan “tidak dianggap” jika sudah berurusan dengan ujian akhir. Padahal selama pendidikan berlangsung, pelajaran lain tetap diberikan, malahan jam pelajarannya ada yang lebih panjang dibandingkan dengan bidang studi yang diujiankan.
Di sisi lain, jika dirasakan apa yang terjadi pada masa lalu dengan kondisi hari ini, seakan pada pelaksanaan kali ini, seakan UN merupakan sosok yang menakutkan, sehingga sepanjang waktu, setiap orang, terutama pelajar dan orang tuanya sangat mencemaskan keberadaan UN. Takut anak-anak mereka tidak lulus.
Kecemasan dan ketakutan juga menghinggapi “operator pendidikan” dalam hal ini Dinas Pendidikan di berbagai daerah. Kecemasan mereka, jika banyak anak didik mereka tak lulus, seakan nasib mereka sudah berada di ujung tanduk. Begitu pun jika nilai anak didiknya kalah bersaing dengan sekolah lain. Apalagi jika label Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) sudah melekat di belakang nama sekolahnya, maka, “kiamat”-lah mereka.
Saya teringat seorang kawan ketika akan menghadapi Ebtanas dulu. Esok pagi ia harus menjalani Ebtanas, sementara malamnya dia masih melaksanakan ronda malam, menggantikan orang yang seharusnya ronda. Jika ia tak menggantikan orang, maka, ia tidak akan memiliki uang untuk ongkos pergi ujian besok. Seminggu Ebtanas, ia harus menjalani tiga malam menerima upah ronda.
Tidak cemaskah ia tidak akan lulus? Yang pasti, kecemasan itu tetap ada. Orang tuanya juga cemas kalau anaknya tak lulus. Hanya saja, ia menjalani semuanya dengan tenang, tidak panik, lingkungannya ---termasuk guru dan pihak sekolah--- juga berupaya untuk menghadirkan kedamaian dan ketenangan di lingkungannya.
Kenyataan hari ini, seakan berbeda.  Sejumlah sekolah dan berbagai kalangan pendidikan seakan berupaya “mengkondisikan” betapa menakutkannya UN. Malahan di sejumlah sekolah sengaja melaksanakan acara tertentu yang kemudian semakin menambah kecemasan para siswa. Awalnya memang dimaksudkan agar para pelajar tetap ingat pada Allah. Tak ada yang salah dari maksud acaranya, namun kemudian kemasannya seakan menjadi lain. Para pelajar semakin panik dan takut. Tak jarang acara tersebut berujung bertangis-tangisan.
Tiba-tiba saya teringat pesan bijak orang bijak; apa yang kita pikirkan, itulah jadinya. Artinya, jika “operator pendidikan” dan lingkungannya sudah panik, anak-anak pun panik, maka dapat dipastikan; hasilnya adalah sebuah kepanikan. Pendidikan yang panik.
Duh, panik….! Eh, jangan panik! []



CATATAN: Tulisan ini dimuat Harian Umum Rakyat Sumbar, edisi Selasa 24 April 2012

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...