03 April 2012

Siaga Panti



Oleh: Firdaus

 
Pada banyak kejadian, biasanya pengawasan baru dilakukan setelah peristiwa buruk terjadi. Pengawasan ketat dilakukan, terutama sepanjang masyarakat masih memberikan perhatian kepada kejadian tersebut. Setelah itu, dalam kurun waktu tertentu, biasanya tak lebih dari tiga bulan sejak peristiwa buruk terjadi, maka situasinya akan normal kembali.
Sejumlah fakta terbentang. Masih segar dalam ingatan, ketika seorang pilot sedang nyabu di kamar hotel, lalu dilakukan tes urine pada banyak pilot. Ketika terjadi perkosaan di atas metromini di Jakarta, aksi “pembersihan” angkutan sejenis yang menggunakan kaca film gelap pun dilakukan di seluruh Indonesia. Ketika kejahatan dilakukan gang motor di Bandung, razia para “gang” motor pun serentak dilakukan di seluruh Indonesia.

Di Sumbar, ketika ada aksi tari telanjang di sebuah kafe di Padang, langsung diikuti dengan razia di sejumlah tempat untuk memantau penyalahgunaan izin kafe. Di saat masih segar dalam ingatan masyarakat tentang longsor di Kecamatan Simpang Tigo Alahanmati, Kabupaten Pasaman, langkah “pengawasan” pun dilakukan untuk melihat kondisi di kawasan Panti.
Hasilnya sungguh mengejutkan. Kawasan ini sudah masuk dalam kategori siaga. Kawasan Panti Harus Siaga! Begitu judul headline Harian Umum Rakyat Sumbar , edisi Sabtu (25/3). Dasarnya, ekosistem cagar alam dan hutan lindung sudah rusak. Aksi pembalakan liar dan pembukaan perkebunan oleh masyarakat menyebabkan kondisi hutan lindung sangat memprihatinkan.
Selama ini, sangat jamak terjadi kalau jika ada sebuah persoalan, terutama berkaitan dengan lingkungan, maka masyarakat akan alasan untuk dikambinghitamkan. Kerusakan akibat ulah masyarakat. Kerusakan karena kelalaian masyarakat. Masyarakat yang mana? Entah! Persoalan hutan sangatlah kompleks. Masyarakat berladang, orang bagak menebang. Kalau pun masyarakat (kecil) yang menebang, tetapi mereka hanya buruh yang menerima upahan.
Inilah dilematisnya.  Negeri yang katanya sudah maju, transportasi dan komunikasi sudah sedemikian canggih, ternyata para aparaturnya masih sering kecolongan. Kawasan Panti hanya-lah satu contoh kecil. Di negeri yang  penduduknya tergolong ramai, ternyata bisa kecolongan begitu saja. Hutan lindungnya sudah rusak. Siapa yang merusak? Tak adakah yang tahu? Kemana saja masyarakatnya? Dimana saja aparatur pemerintahannya? Mungkinkah masyarakat tutup mata karena mereka menggantungkan hidup di hutan itu, ataukah aparaturnya tutup mata dan tutup kuping karena ada kekuatan yang lebih kuat dari kekuatan yang mereka miliki?
Inilah keanehan di negeri ---yang katanya--- beradat ini. Kepedulian hanya dipertontonkan sesaat setelah sebuah musibah terjadi, itu pun cenderung berbau jualan politis atau sekadar ambiak muko kalau yang bersangkutan sudah bekerja.*

 CATATAN: Tulisan ini dimuat di Harian Umum RAKYAT SUMBAR, edisi Senin 26 Maret 2012



















No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...