22 November 2010

Masa Lalu untuk Masa Depan

Oleh: Firdaus


Pesan bijak Confusius, salah seorang pemikir paling berpengaruh di dunia, tiba-tiba mengingatkan saya tentang apa yang terjadi di hadapan saya, ketika hadir dalam sebuah pertemuan alumni. Kata filsuf hebat itu, suatu bangunan yang berpondasi kuat tidak akan runtuh. Sesuatu yang dipegang erat tidak akan terlepas.

Artinya, sesuatu yang dipersiapkan secara matang dan dengan langkah-langkah nyata, biasanya akan bermuara kepada keberhasilan. Kekokohan. Setidaknya, itu yang saya dapatkan dari sebuah reuni yang saya hadiri, belum lama ini.

Sejumlah kawan-kawan lama yang hadir, umumnya mereka sudah ”menjadi orang” dan dapat dibanggakan. Boleh dikata, mereka sukses untuk ukuran orang-orang seusianya.

”Inilah kebanggaan kami, bahwa kalian telah menjadi orang,” ungkap sejumlah guru.
Ketika dikabarkan kepada sang guru keberadaan kawan-kawan yang lain, lalu satu persatu ”dipretelinya”, ternyata pengakuan mereka, tak banyak yang meleset dari apa yang didapatkannya ketika kami masih bersekolah dulu.

Lalu sang guru mengingatkan saya akan pesan bijak masa lalu; kok ka mancik, saja ketek lah nampak ikunyo (kalau tikus, sejak kecil sudah kelihatan ekornya). Artinya, kata sang guru, sebenarnya apa yang dilakukan dari awal, akan membentuk karakter diri dikemudian hari.

Sang guru kemudian membeberkan ulang beberapa kawan-kawan saya tersebut. Ada kawan saya yang selalu berpenampilan ala tentara. Kawan-kawan memanggilnya Tentara Swasta. Panggilan itu, terasa sangat mencimeeh, tetapi kawan tersebut tak mengubah penampilannya. Cita-citanya sudah bulat, menjadi perwira angkatan darat. Setelah belasan tahun tak jumpa, ternyata cita-cita kawan tersebut kesampaian.

Ada juga kawan yang ketika sekolah suka berkhayal, lalu menulis puisi dan cerpen, kemudian digelari ”Seniman Sablenk”, ternyata justru jadi seniman benaran. Sudah sangat banyak karyanya menembus media lokal dan Jakarta.

Kawan lain, sangat pintar. Selalu juara. Kurangnya, dia tergolong kuper (kurang pergaulan, atau kurang bergaul), sehingga nama kawan-kawan selokalnya saja tidak semuanya yang hafal olehnya. Kebiasaannya, datang ke sekolah hanya untuk belajar. Tugas PR (Pekerjaan Rumah)-nya pun hampir tak pernah dapat dilihat oleh yang lain. Konon ketika ia kuliah, juga seperti itu. Tamat kuliah, ia tak memiliki akses kemana-mana, selesai kuliah langsung menikah dan kini mengurus rumah tangga.

Sebenarnya, jika diurut satu persatu, sangat banyak lagi. Satu sama lain memiliki kurenah yang berbeda. Ada kawan yang terlihat biasa-biasa saja oleh kawan-kawannya, malahan sering datang terlambat, ternyata dia justru menjadi orang yang sukses dalam membuka usaha sendiri, ”kalian saja yang tak tahu. Ketika masih sekolah, ia sudah berjualan dan memulai usaha sendiri,” kata sang guru sembari membeberkan, kawan tersebut sering terlambat karena harus mengantarkan jualannya terlebih dahulu ke sejumlah lapau.

Itulah masa lalu, masa yang telah membentuk karakter seseorang sejak awal. Kalau pun ada yang meleset, jelas sang guru, tak banyak. Sang guru tetap memegang prinsip, bahwa masa lalu seseorang akan berpengaruh terhadap keberadaannya dikemudian hari. Artinya, masa lalu untuk masa depan, sebab tak ada yang kebetulan dalam hidup ini.

Artinya, ketika menoleh ke belakang, kita punya kesimpulan lain, kekuatan masa depan, sesungguhnya kekuatan yang dibangun hari ini. Karenanya, dalam pemaknaan yang luas, bertanya-merenunglah kita: Adakah hari ini kita telah siap untuk dijadikan esok yang lebih baik, yang sekaligus masa lalu yang kokoh? Semoga!

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...