22 November 2010

Cincin Kelopak Mawar Cerita Fenomena Sosial

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, pepatah ini jamak sekali disebut-sebut untuk menggambarkan perangai yang sama antara anak dan orang tuanya. Pepatah itu juga melekat pada sosok Badri, yang cintanya dipermainkan oleh seorang gadis pujaannya bernama, Rabiatun. Karena sakit hati dipermainkan Rabiatun, Badri menempuh jalan lain untuk mendapatkan gadis yang digila-gilainya tersebut.

Hal itu pernah juga dilakukan Ayah Badri, ketika ibunya tengah hamil tua, mengandung Badri. Ayahnya tergila-gila dengan seorang kembang desa, dan memelet kembang desa itu. Meskipun pada akhirnya ketahuan dan membuat ayah Badri terusir dari kampung halaman, yang juga membuat remuk hati ibu Badri.

Demikianlah, sepenggal cerita dari pementasan teater Cincin Kelopak Mawar (CKM) dari grup Teater Nan Tumpah di Taman Budaya Sumbar, Sabtu (9/10/2010), yang disutradarai Yeni Ibrahim. CKM merupakan adaptasi dari cerpen karya Firdaus, dengan judul yang sama. Dan merupakan adaptasi yang kedua kali pada pentas pertunjukkan di Taman Budaya Sumbar. Sebelumnya, koreografer muda Sumbar, Jhoni Andra telah mengangkatnya dalam pertunjukkan tari kontemporer beberapa bulan lalu.

Dilihat dari cerpennya, ada sedikit interpretasi dari penulisan naskah Dramanya, yang dibuat Mahatma Muhammad. Di mana ada perkembangan cerita, saat Ayah Badri dimunculkan sebagai bagian yang baru dalam cerita CKM di pentas teater, yang dalam cerpennya hal itu tidak ada.

Menurut Firdaus, kehadiran cerita tentang ayah Badri dalam alur cerita pementasan itu, merupakan suatu interpretasi yang secara tidak langsung menguatkan cerpennya tersebut. "Jika cerita tentang ayah dimasukan dalam cerpen saya, akan menambah jenjang alur ceritanya menuju klimaks cerita," sebutnya, saat dimintai komentar seusai pertunjukan yang berlangsung kurang lebih sepanjang 45 menit.

Dari penyaksian di lokasi, sesungguhnya tak ada yang begitu istimewa dari garapan perdana Teater Nan Tumpah ini. Adegan pertama dibuka dengan begitu bahagianya Badri yang saat pulang ke rumah dari surau. Kepada ibunya, dia mencaritakan bahwa ada seorang gadis yang telah membuatnya jatuh cinta.

Pada adegan selanjutnya, Badri bertemu pujuan hatinya, Rabiatun, pada suatu tempat, dan mengungkapkan isi hati yang telah lama dipendamnya. Tak dapat kata pasti ia pada waktu itu. Namun, Rabiatun sepertinya memberi sinyal yang bagus untuk membalas cinta Badri.

Pementasan mulai masuk pada bagian konflik setelah adegan tersebut. Di rumahnya Badri mendapat sebuah undangan pernikahan, yang ternyata undangan pernikahan Rabiatun dengan pria lain. Karena merasa sakit hati telah diberi harapan dan dikhianati, Badri berniat memelet Rabiatun. Niatnya itu, ternyata membuka aib keluarga yang selama ini disimpan rapat-rapat ibu. Di mana ayah Badri pernah melakukan hal yang sama saat Badri masih di dalam kandungan.

Pertunjukan ditutup, ketika Badri mengetahui sebuah cincin yang akan digunakannya untuk memelet Rabiatun adalah cincin yang sama yang dipakai oleh Rabiatun. Agaknya karena cincin itu pulalah Badri menjadi tergila-gila pada Rabiatun, yang membuat hatinya semakin remuk redam.

Alur ceritanya yang maju seperti itu, tak menghadirkan patahan-patahan adegan yang memungkin untuk munculnya kejutan cerita, yang membuat penonton tertegun dan bertanya-tanya terhadap yang mereka tonton. Sehingga penonton dengan mudah menebak alur cerita dari satu adegan ke adegan lain. Dengan demikian, pementasan yang sederhana itu, hanya melemparkan isu sosial yang telah berkali-kali dilemparkan melalui berbagai bentuk kesenian, yaitu persoalan cinta, dendam, dan mistik.

Lebih tajam, Ketua Jurusan Teater ISI Padang Panjang, Yusril menilai, ada yang hilang dalam pementasan itu, meskipun secara visual enak untuk dinikmati. Dia menyebutkan tak ada kejelasan terhadap ruang dan waktu terjadinya peristiwa dalam pementasan ini.

"Kehadiran musik dari saluang memberi sedikit gambaran bahwa tempatnya adalah Minangkabau. Hanya sampai di situ saja. Selebih tak ada penjelasan lebih jauh," ujar Katil, panggilan akrab Yusril.

Selanjutnya, ia juga menyayangkan masuknya tarian kontemporer yang tata geraknya diatur Jhoni Andra. Menurutnya, kehadiran tari itu, tidak menyatu utuh ke dalam pementasan. Sehingga memunculkan ke kaburan waktu dari peristiwa cerita.

"Dari hal itu saya tidak mendapatkan informasi kapan persitiwa dalam cerita ini terjadi. Apakah masa lalu, atau masa sekarang. Tari membuatnya menjadi rancu. Ini terjadi karena gerak tubuh penari masih menjadi tubuh studio yang menandakan kekinian, dan tidak masuk lebih dalam menjadi tubuh sosial yang sesuai dan memperkuat cerita dalam pementasan ini," ulas Katil.

Akibatnya, tambah Katil, terjadi kerancuan dalam dia mencari waktu peristiwa. Apakah masa kini, sebagaimana yang tergambar dalam gerak tari. Atau masa lalu, sebagaimana cerita dan kostum para aktornya. [Ganda/Padang Ekspres]

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...