19 April 2011
Anam Puluah Urang Digantuang Indak Batali, Kreatif Mah…!
22 March 2011
Kebangkitan atau Kematian
Jika prosesnya dilalui sudah sejalan dengan Bab II Pasal 3 ayat 1 poin a Pedoman Dasar PSSI, bahwa PSSI bertujuan membangun dan meningkatkan kualitas persepakbolaan nasional dengan semangat persaudaraan, persahabatan, kejujuran, sportivitas, nasionalisme dan profesionalisme, maka dapat dipastikan proses pemilihan Ketua Umum PSSI, di Pulau Bintan, April dimuka, tidak akan seheboh sekarang.
Proses pemilihan kali ini, mungkin “laga” paling menarik sepanjang sejarah pemilihan Ketua Umum PSSI. Dikatakan menarik lantaran banyak persoalan yang telah terjadi dan akan dilalui wadah berhimpun sepakbola di Tanah Air tersebut.
Pertama, proses pemilihan. Dugaan kecurangan sudah terbentang luas pada proses awal pendaftaran. Nama Arifin Panigoro sempat hilang dari bursa kandidat, namun ketika diprotes Pengprov PSSI dan klub yang mencalonkan pengusaha sukses itu, maka namanya kemudian dimunculkan kembali. Alasannya kenapa namanya hilang, sangat “sederhana” dan klise; tercecer ketika input data.
Kini prosesnya masuk babak kedua, yakni babak verifikasi. Akankah ada “kecurangan” lagi? Inilah yang dinantikan publik sepakbola. Jika tim verifikasi bekerja benar, maka dapat dipastikan nama Nurdin Halid, ketua sekarang, akan terganjal.
Cocok karena Dicocokkan
Jika engkau tidak mempelajari syair, maka bahasamu akan kasar. Jika kamu tidak mempelajari kesusilaan, maka tabiatmu akan menjadi liar..... (confisius)
Ketika matahari bercincin ---lebih popular disebut dengan Halo Matahari--- di langit Kota Padang, Kamis (21/10) lalu, saya sedang berada di Bukittinggi. Dari sejumlah situs online yang sempat saya baca, banyak warga kota yang resah. Tak sedikit yang panik. Ketika membuka beranda facebook, ternyata teman-teman facebook saya yang berada di Padang sebahagian besar menulis statusnya seputar fenomena alam tersebut, dilengkapi dengan foto yang di-upload dari hp.
Pada status tersebut, juga tergambar kecemasan dan ketakutannya. Apalagi yang akan terjadi? Adakah ini tanda-tanda gempa besar yang akan diberengi dengan tsunami akan melanda Kota Padang?
Kecemasan itu bukan tidak beralasan. Sepekan sebelumnya, media terbitan Padang dan sejumlah media asal Jakarta, juga mengabarkan perihal ancaman gempa besar. Diperkirakan angkanya mencapai 8,9 sampai 9 SR akan melanda Kota Padang.
Gempa 30 September 2009 saja, yang hanya 7,6 SR kemudian ada yang merilis 8,1 SR, sudah terasa sangat dahsyat dan telah mengubah “skenario hidup” banyak orang. Masih dalam berita itu, selain gempa dahsyat tersebut, juga akan dibarengi dengan tsunami. Lengkaplah sudah ketakutan warga kota.
Pada hari itu juga, kabarnya tak sedikit warga yang meninggalkan kota. Berangkat menuju daerah yang dianggap lebih aman. Ketakutan dan kepanikan warga kota sangat terasa. Mereka menghubung-hubungkan dengan berita sepekan sebelumnya. Lalu memberikan asumsi sendiri dengan mencocok-cocokkan apa yang dibaca dan dilihatnya.
18 February 2011
Duh.., Manisnya Kamu di Lampu Mati
Cerpen: Firdaus Abie
10 February 2011
Kecilnya Dunia
“Kendaraan itu mengambil jalan dari jalur yang harus saya lewati,” katanya.
Akibatnya dapat ditebak, kendaraan teman saya tersebut tergolong lebih parah dari kendaraan yang menabraknya.
Sang teman mengaku, sempat lama terpaku. Ia membayangkan, sejumlah rencana yang disusunnya dalam satu dua hari ke depan akan berantakan akibat tabrakan tersebut. Penyelesaian kendaraan harus segera ditanggani, sementara ia sedang berada di negeri orang.
Kehadirannya mengemudikan kendaraan sendiri di negeri orang tersebut karena sebuah urusan penting. Waktunya pun sangat singkat. Secara manusiawi, tentu saja ia harus lebih memprioritaskan penyelesaian masalah di jalan tersebut. Ketika masalah itu harus diselesaikannya, pada waktu yang bersamaan ia pun harus menuntaskan agenda yang sudah ada sebelumnya, tak mungkin bisa ditinggalkan.
Harimau di Ujuangbatu
Lindo sudah membulatkan tekad. Tugas yang diberikan Datuak Sunguik, Walinagari Ujuangbatu, mencari lahan untuk manaruko di lahan tersebut, harus dijalankan. Ia tak tega melihat kondisi nagarinya saat ini.
Pengakuan tetua di nagari itu, baru kali ini musim kemarau sangat panjang. Sudah hampir setahun tak pernah hujan. Sawah dan ladang mulai kerontang. Tanaman muda sudah meranggas dan mati. Sawah tak lagi bisa ditamani karena tak ada air untuk persemaian benih. Debet air yang turun di pincuran sejumlah tapian, sudah ada yang tak mengalir lagi. Ketersediaan air bersih sudah sangat mengkuatirkan.
Pada anak tangga paling atas pondoknya, Lindo melepaskan tatapan ke sekeliling. Seorang perempuan sedang menyusun ranting kering di kiri samping pondok. Ranting itu nantinya akan dijual, sisa serpihannya dipakai sendiri di tungkunya.
Melihat suaminya sudah di pintu, perempuan menikah dua tahun lalu, namun belum sekali pun terlambat bulan, meninggalkan ranting-ranting keringnya, lalu bergegas ke dalam pondok. Tak lama berselang, ia keluar dan menemui suaminya yang sudah berada di kiri samping pondok. Perempuan berlesung pipi itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil.
“Untuang-untuang capek basobok, Da ..” Marni menyerahkan bungkusan tersebut, kemudian menyalami dan mencium tangan suaminya.
Lindo terpaku. Batinnya berkecamuk. Tangan istrinya masih digenggam. Walau ini bukan yang pertama akan meninggalkan istrinya, namun ini kali pertama ia merasa takut meninggalkannya.
27 January 2011
Rakyat Mensubsidi Penguasa
“Apa yang harus dilakukan lagi?” tanya seorang kawan, yang sehari-hari berjualan nasi soto di kawasan pasar Lubuakbuayo – Padang, beberapa hari lalu.
Belum sempat tanyanya terjawab, ia membeberkan betapa pahitnya kehidupan yang terjadi hari ini. Bergerak atau tidak, tetap saja akan menghadapi masalah pelik.
“Jika jualan terus, akan mengalami kerugian besar. Jika tidak jualan, siapkah pemerintah menahan laju pertumbuhan penggangguran?” tanyanya.
Sang kawan bukan tanpa alasan. Kepahitan yang dijalaninya hari ini, sebenarnya sudah berlangsung sejak sebulan lalu. Sedikit simpanannya selama ini, yang sudah ditabungnya bertahun-tahun, terus tergerus.
“Semuanya serba mahal,” bebernya.
Harga cabe, melambung tinggi. Harga beras pun seakan tak terbendung. Kenaikan harga juga dialami kebutuhan pokok lainnya. Semua naik bagaikan alang-alang dapek angin, terus tagak tali.
Jika mengikuti kenaikan harga, semestinya tarif jualannya juga harus dinaikkan. Baru klop. Hanya saja, sang kawan takut, kalau tarif makanannya dinaikkan, dikuatirkan akan justru memberatkan pelanggan. Kalau pedasnya cabe merah digantikan dengan campuran cabe rawit atau marica, justru akan mengubah rasa.
“Kehilangan satu pelanggan saja, sama artinya langkah untuk mempercepat keruntuhan usaha,” bebernya. Sekali pun sederhana, namun bermakna.
Kawan lain, yang duduk selingkaran meja yang sama, juga membeberkan nasib tak kalah buruk. Sejak gempa 30 September 2009 meluluhlantakkan Sumbar, dirinya nyaris tak berjualan lagi di pasar.
“Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari sana,” katanya.
“Gempa hanya momentum saja, selebihnya tidak ada keberpihakan penguasa kepada nasib anak bangsa yang lemah,” ungkapnya sembari memberikan kiasan saisuak; cando ijuak tak basaga, cando lurah tak babatu. Lantaran kondisi seperti itu, rakyat kecil jadi bulan-bulanan.
“Bukankah sudah dibangunkan pasar yang baru?” tanya saya.
Sang kawan tersenyum, namun senyumnya timpang. Tiba-tiba saya teringat masa lalu, sering melihat senyum itu. Senyum mengejek.
“Berapa banyak pasar telah dibangun di ranah ini, malahan dilengkapi dengan terminal, tapi adakah kehadirannya untuk kepentingan rakyat kecil dalam arti sesungguhnya?” tanya kawan yang jadi korban “momentum” gempa.
Katanya, kehadiran pasar dan terminal itu justru menambah kesengsaraan baru. Setelah dibeli, justru tak ditempati pemiliknya lagi, sebab tak ada orang yang berkunjung ke sana. Kehadiran pasar justru dipaksakan, namun tak ada langkah nyata agar orang benar-benar “terpaksa” belanja di sana.
“Kalau sudah begini, tak rakyat lagi yang mensubsidi rakyat, tetapi rakyat telah mensubsidi penguasa,” umpatnya kecewa pada sang penguasa.*
Catatan: Tulisan ini dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 16 Januari 2011 pada rubrik KOPI MINGGU.
25 January 2011
The Winning Team
Ada tanya dalam diri saya, ketika membaca beranda facebook, beberapa waktu belakangan. Sejumlah teman facebook saya seakan bersepakat mengisi dindingnya dengan tema yang sama, rindu pada masa lalu. Masa lalu penuh kenangan. Jika mengingatnya, memunculkan nuansa beragam.
Suatu ketika, saat saya online, saya disapa seseorang. Biasanya, ketika sama-sama online, saya dan teman tersebut saling menyapa, walau tidak pernah saling kenal sebelumnya. Ketika saya coba menanyakan perihal statusnya, ia menjawab dengan ketawa ala facebook; wkwkakkkk wwkakakkkkk.
”Kenapa Anda ketawa?” tanya saya.
”Bagi saya, mengenang masa lalu sangat indah, walau sekarang kondisinya berbeda dibandingkan masa lalu,” jawabnya.
”Kondisi yang Anda rasakan hari ini?” tanya saya lagi.
”Menyakitkan...” jawabnya enteng.
”Lho, kenapa?” tanya saya terkejut.
Teman itu kemudian menuliskan banyak hal. Sangat panjang penjelasan tentang keberadaan dirinya hari ini. Katanya, Ia sempat kehilangan semangat kerja. The Winning Team yang pernah dibangunnya bersama teman-teman kerjanya dulu, ternyata berlahan dan pasti, hilang begitu saja.
”Ada yang mundur karena dapat pekerjaan lain, ada yang mutasi ke kantor cabang lain, dan ada juga yang mendapat promosi dan sebagainya,” katanya membeberkan penyebab awal hilangnya The Winning Team tersebut.
Awalnya, sang teman tak pernah menduga kalau The Winning Team itu akan hilang, sebab kalau pun terjadi perubahan personil dalam tim tersebut, arah ”perjuangannya” sama. Sama-sama membesarkan usaha yang dijalani, ”ternyata saya keliru,” tulisnya, sebab sekali pun berada di bilik yang sama, punya visi yang sama, tetapi mereka dipisahkan karena kepentingan berbeda.
”Ini yang membuat saya sedih. The Winning Team kami hanya seumur jagung karena di-hondoh galodo kepentingan. Itulah yang membuat saya sering merindukan masa lalu,” ungkapnya sembari menyebutkan, terkadang Ia pesimistis dengan kenyataan yang ada sekarang.
*
Tiga pekan kemudian, saya membaca dinding sang teman. Saya tersenyum. Tulisan di dindingnya berbeda dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kali ini, dindingnya menghadirkan optimistis.
”Mantap, kawan,” sapa saya, mengomentari dindingnya ketika sama-sama online.
Sang teman pun membalas dengan tawa ala facebook, wkwkakkkk wwkakakkkkk.
Ia pun kemudian buka kartu. Awalnya, Ia mencoba untuk terus melawan kondisi yang tak stabil secara vulgar. Perlawanannya itu justru menghempaskan dirinya sendiri. Ia disudutkan teman-temannya yang memiliki kepentingan lain. Ia makin terjepit.
Ketika dihadirkan kenangan terhadap tim tangguhnya dulu, Ia justru dituduh tak logis; masa lalu hanya sebuah kenangan yang sudah berlalu, tak bisa memberikan kontribusi terhadap masa depan. Hari ini adalah kenyataan. Masa depan hanya khayalan.
Dalam kenyataan buruk itu, ternyata sang teman mengaku menemukan jawaban untuk keluar dari kemelut tersebut dari Seni Perang (The Art of War) Sun Tzu. Katanya, Ia mendapatkan pandangan; ketika para jendral lemah dan tidak memiliki otoritas, instruksi tidak jelas, petugas dan prajurit tidak konsisten, dan mereka membentuk garis pertempuran pada setiap jalan, maka inilah yang disebut kerusuhan. Ketika para jendral tidak bisa menilai lawan-lawan, berselisih dengan pasukan lain yang jumlahnya lebih besar atau lebih kuat, dan tidak memisahkan keterampilan di antara pasukan-pasukan yang dimiliki, maka mereka akan mendapatkan pukulan.
”Inilah kondisi awal hilangnya The Winning Team dulu. Lama kondisi ini saya rasakan Kemudian saya menemukan, di antara kondisi memburuk itu, ternyata masih banyak kawan yang ingin bangkit melawan keterpurukan. Saya melihat, ini potensi untuk mengubah keadaan. Kemudian saya kembangkan pola Sun Tzu, orang-orang yang terlatih dalam operasi-operasi militer menciptakan kerjasama dalam sebuah kelompok, sehingga mereka memimpin kelompok seperti seseorang yang tidak memiliki pilihan lain. Melahirkan keberanian secara merata dan membuatnya menjadi seragam adalah elemen dalam organisasi. Keberhasilan, baik dengan menggunakan kekerasan mau pun kelembutan didasarkan pada pola wilayah pertempuran,” tulisnya panjang lebar.
“Begitukah?” tanya saya setelah mencerna kiatnya.
”Yup...” jawabnya.
”Urusan seorang jendral adalah tenang dan rahasia, jujur dan teratur. Rencana-rencananya harus tenang dan benar-benar tersembunyi sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Pemerintahannya jujur dan teratur sehingga tidak ada seorang pun yang berani menganggap remeh dirinya,” tulisnya lagi.
Sebelum saya sempat mengajukan pertanyaan lain, sang teman; off.*
(Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi 14 November 2009)
Tamu Basah
Fuad dan Andi saling bertatapan. Sekali pun tak bersuara, sepertinya mereka mengatakan sesuatu. Kegelisahan wanita yang baru saja mengambil posisi di depan mereka. Kegelisahan wanita itu semakin terlihat.
“Ada yang bisa kami bantu, Mbak?” Fuad memberanikan diri buka suara. Tak ada jawaban. Fuad mengulangi, Ia menduga wanita itu tak mendengar tanyanya.
“Terima kasih,” jawabnya, “saya hanya menunggu seseorang,” sambungnya sembari melirik jam tangan, lalu menarik turun roknya. Meski diturunkan, tak cukup menutupi pahanya. Pahanya bersih. Mulus.
Hening sejenak. Hanya terdengar ketipak air dikibas ekor ikan kolam. Fuad memandangi kolam, melepas kegrogiannya. Gerak ikan di kolam begitu liar, seliar pandangannya ke paha wanita itu, dan seliar tatapan wanita itu pintu utama yang dijaga bilboys. “Janjinya pukul berapa, Mbak?” tanya Fuad.
“Sembilan,” jawabnya. Spontan saja kedua pria itu melirik jam tangan masing-masing.
“Sudah lewat satu setengah jam,” sambung Fuad, “apakah tak salah tempat janjiannya?” sambungnya.
Wanita itu mengeleng.
“Sudah dihubungi?”
“Handponnya tak aktif,”
“Kelihatannya penting sekali,” sela Andi.
“Kalau tak penting, tak mungkin saya menunggu,”
11 January 2011
I m p i a n
Oleh: Firdaus
Ketika bertemu seorang kawan lama, tiga hari lalu, penampilannya sangat mengagumkan. Jauh dari bayangan saya. Ia termasuk seorang yang berhasil di antara kawan saya yang lain.
Saya kemudian mencoba mengingat masa lalu, kemudian mencocokkan dengannya, ”nasib memang tak bisa ditebak,” kata saya padanya.
Sang kawan hanya menjawab dengan senyum. Saya mengartikan, senyuman itu sebagai pembenaran. Saya yakin, mungkin tak hanya saya, tetapi kawan-kawannya ketika SMA dulu, rasanya juga tak yakin tentang apa yang sudah dicapai kawan tersebut.
Ketika SMA dulu, Ia termasuk kuper (kurang pergaulan), loading-nya lambat sehingga pernah tinggal kelas. Makanya, ketika satu persatu mantan kawan-kawan lokal saya hubungi, kemudian memberitahukan saya sedang bersamanya sekaligus mendeskripsikan keberadaannya, sebahagian besar menduga kalau saya hanya berbual. Hebatnya, Ia tak tersinggung dengan keterkejutan kawan-kawannya yang lain.
Kenapa Ia bisa melejit? Pengakuannya, setelah tidak naik kelas, Ia nyaris putus asa. Tak siap berada di sekolah yang sama, sebab dugaannya pasti akan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Lalu Ia pindah sekolah, dan bisa naik kelas.
Di sekolah yang baru, ternyata di lokalnya ada seorang murid yang cacat secara pisik, dan berkekurangan secara ekonomi. Motivasi teman barunya itu sangat mengebu-gebu. Dari sana kemudian mengalir ”darah baru” dalam tubuh sang kawan; Ia tak boleh kalah dari temannya tersebut.
Ketika upayanya muncul untuk tidak dikalahkan teman barunya tersebut, tiba-tiba Ia mendapatkan bacaan penuh inspiratif. Ia menemukan Henry Ford, seorang pemuda miskin tak berpendidikan, tapi memiliki impian tentang kereta yang tidak ditarik oleh kuda. Henry Ford mulai mewujudkan impiannya dengan peralatan seadannya tanpa harus menunggu peluang yang menguntungkan. Hasilnya, kini sangat banyak kendaraan yang bergulir di belahan bumi.
Thomas Alfa Edison, yang setengah tuli, dikeluarkan dari taman kanak-kanak karena dianggap tak bisa belajar, ternyata mengimpikan lampu yang dinyalakan oleh listrik. Columbus yang mengimpikan sebuah dunia baru, kemudian menemukan Amerika. Begitu pun dengan Marconi yang dianggap gila, kemudian diseret ke pengadilan dan diperiksa di rumah sakit jiwa karena mengumumkan bahwa dia menemukan alat yang bisa mengirim pesan lewat udara tanpa bantuan kabel.
Kawan saya tersebut memang tak sehebat para penemu tersebut, tetapi momentum kebangkitannya justru berangkat dari kegagalan yang dialaminya, dan kemudian Ia menemukan ”pelatuk” untuk melakukan ”serangan balik” demi memperbaiki diri.
”Jika alat yang kamu miliki hanya palu, maka semua persoalan akan kamu perlakukan seperti paku,” katanya mengutip pesan bijak Abraham Maslow. *
(Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 3 Januari 2010)
S A L U A N G
Piliang tersentak. Tak menduga. Setelah tiga hari tak bertemu gadih kamek ba-abuak sapinggang1 itu, semangatnya kembali menggebu melihat bayangan di balik gorden lusuah2 di rumah gadang3. Piliang yakin, bayangan selepas azan Magrib itu, pasti miliknya. Milik gadis yang selalu duduk menyulam dekat jendela ketika mendengar alunan saluang4 Piliang. Setiap malam, sejak dua pekan terakhir.
Biasanya, pada waktu yang telah tercecer, Piliang tak menunggu lama kemunculan gadis manis berambut sepinggang itu. Piliang sudah hafal, biasanya, tak lama ia meniup saluangnya, gadis itu pasti membuka daun jendela, menyibak gorden, lalu duduk menyulam dekat jendela. Piliang menjaga malam dengan tiupan saluangnya nan sumbang dari pos jaga Medan Nan Bapaneh5, sementara gadis itu menemani dari rumah gadang di seberang jalan.
Piliang menemukan gadis itu secara tak sengaja. Kalaulah gadis itu tidak menyapanya, dua pekan silam, ketika Piliang hendak ke pos jaga, mungkin Piliang tak pernah tahu kalau di rumah gadang itu ada gadis manis yang belum dikenalnya.
”Uda Membawa saluang?” tanya gadis itu, dari balik jendela rumah gadang.
08 January 2011
Wanita Itu Mirip Astuti
Cerpen: Firdaus Abie
Sebuah suara mengagetkan langkah Syarif dan Anggun. ‘’Maaf. Jika diperkenankan, saya akan menjelaskan seluruh aspek di bangunan tua ini,‘’ suara lembut yang kental logat Jawa menghentikan langkah Syarif dan isterinya.
Syarif tersenyum. Di kirinya, Anggun menatap penuh tanya. Ia memandangi suaminya, lalu, beralih pada wanita muda berkulit kuning langsat, persis di depan hidung suaminya.
‘’Saya hanya ingin memperkenalkan Taman Sari kepada tuan dan nyonya, ‘’ lanjutnya sembari menyeka keringat di dahi jenjangnya.
Syarif dan Anggun menjawab dengan senyum. ‘’Berapa kami harus bayar?‘’ tanya Syarif. Bersamaan pertanyaan itu, wanita berambut kepang itu tersentak. Wajahnya memerah, bak kepiting rebus.
”Teater” Caro Lapau: Teater Alternatif, Antara Ada dan Tiada
Oleh: Firdaus
DIMASA lalu, lapau merupakan tempat paling favorit bagi lelaki di Minangkabau, setelah surau. Saking favoritnya tempat ini, boleh dikata tak ada lapau yang tak dihiasi lelaki. Malahan, lantaran saking favoritnya keberadaan lapau, dulu, biasanya, jika saja hendak mencari seseorang, maka cukup cari tahu saja dimana biasa orang yang dicari itu duduk.
Ketika waktu berlalu, kini fe¬no¬menanya menjadi lain. Belakangan pandangan terhadap mereka yang duduk di lapau, sudah berubah. Orang-orang yang duduk di lapau, kini, cenderung diposisikan sebagai orang yang tak bertanggungjawab pada diri, keluarga dan lingkungan. Orang-orang yang duduk di lapau, kini, dinilai negatif sebagai orang-orang yang tak punya pekerjaan. Hanya menghabiskan hari.
Tuduhan miring itu, bukan tanpa alasan. Pada banyak tempat, sekarang, lapau justru berubah menjadi arena “permainan” baru di kalangan generasi muda. Mulai dari playstation, sampai judi. Pengaruh teknologi dan peradaban telah menggeser keberadaan lapau dari hakikat dasarnya, seperti masa lalu.
Padahal jika dibalik lembaran masa lalu, sebenarnya lapau memiliki aspek pembelajaran. Tak hanya sebagai tempat transaksi, tetapi lebih dari itu; tempat menguji nyali, harga diri dan kearifan.
Secara kelembagaan, sebenarnya tak ada peruntukan lapau secara khusus, tetapi lantaran terkait dengan “uji nyali” dan harga diri serta menyikapi persoalan dengan kearifan, maka tanpa disadari akan ada terbentuk dengan sendirinya lapau yang “peruntukannya” berbeda. Lapau rang mudo, dan lapau rang tuo.
Lapau rang mudo, biasanya diisi anak muda yang akan dan sedang tumbuh. Selain sedang mencari jati diri, mereka juga ingin membuktikan kepada gene¬rasinya bahwa Ia patut diper¬hitung-kan pada banyak aspek.
Perhitungan di¬mak¬sud, tentu saja berkonotasi positif. Pada masa lalu, lapau ber¬fungsi sebagai arena pembelajaran ke¬cakapan dalam artian luas. Orang-orang yang kurang (apalagi tidak cakap), akan menghindar dari lapau, lantaran takut jadi bahan olok-olok. Sekali dibolok-an ka¬wan tanpa bisa ber¬kelit, akan terus men¬jadi santapan o¬lok-olok.
Tak hanya itu. Ke¬piawaian dalam ba¬nyak hal, terutama berkaitan dengan pe¬nge¬tahuan dan in-for¬masi yang telah, se¬dang dan ke¬mung¬ki¬nan akan berlang¬sung, akan membe¬rikan pengaruh perha¬tian berbeda bagi teman sesama besar. Hanya orang-orang berke¬mampuan lebih yang bisa mengua¬sai perdebatan di lapau. Tak semua orang bisa dan berani duduk di lapau.
Sekali pun perdebatan itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, karena yang berdebat biasanya jauh dari titik persoalan (biasanya perdebatan dilakukan untuk persoalan-persoalan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat, sekali pun jauh dari lingkungan lapau), namun bagi penghuni lapau, perdebatan demi perdebatan merupakan kewajiban sehari-hari untuk “menyelesaikan” masalah yang terjadi. Termasuk masalah dunia sekali pun.
Bentuk kearifan yang terbangun di lapau, pada masa lalu, adalah adanya kesadaran pribadi untuk menjaga marwah pribadi yang lain. Biasanya, jika seorang kemenakan sedang berada di lapau, lalu melihat mamaknya hendak menuju lapau tersebut, biasanya sang kemenakan langsung hilang secara diam-diam. Atau, jika sang mamak sudah melihat kemena¬kannya di lapau tersebut, Ia sendiri yang akan menghindar. Begitu pula sebaliknya. Begitu pun bagi rang sumando, jarang mau berada di lapau rang mudo. Selain sudah besar lantaran telah menikah, juga segan untuk duduk bersama mamak rumah. Apalagi kalau di lapau suasana sumbarang kanai.
Dalam konteks kekinian, ketika lapau sudah dialiah cafe, telah terjadi perge¬seran yang cukup signifikan. Ketika di lapau, semua yang berada pada salingka atok menjadi bagian yang tidak terpisah¬kan. Satu sama lain bisa saling beradu pendapat. Kenyataan ini tak bisa dilaku¬kan di cafe.
Hakikat duduk di lapau, bercanda, berdebat yang bermuara kepada uji nyali, harga diri dan kearifan itu, tanpa disadari ternyata menjadi sebuah kekayaan bagi adat di ranah Minang.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Adat merupakan perbuatan yang sudah lazim dilakukan sejak dulu, atau bisa juga lebih disederhanakan bahwa adat adalah ca¬ra atau kelakuan dan atau kegiatan yang sudah menjadi ke¬biasaan. Hanya saja, selama ini nilai-nilai “perdebatan” di lapau itu cenderung tidak disentuh sebagai se¬buah kekayaan bu¬da¬ya, yang mem¬berikan nilai tambah bahwa lelaki Minangkabau adalah sosok yang pa¬tut diperhitungkan da¬lam banyak aspek. Terutama berkaitan dengan penge¬ta¬huan¬nya.
Tanpa disadari, ter¬nyata adat (kebia¬saan) yang selama ini tak pernah diper¬hitungkan sebagai sebuah ke¬kayaan, justru patut diperhitungkan se¬ba¬gai alternatif baru da¬lam sebuah kesenian tradisi. Malahan sangat dekat jika dikaitkan dengan hakikat sebuah teater, walau sesungguhnya, keduanya sangat tidak sebangun.
Kalau pun ada kesamaan, maka kesamaan itu ada pada sudut pemahaman tentang teater yang pernah dilontarkan Putu Wijaya. Menurut Putu Wijaya, setiap peristiwa yang ada pelaku dan cerita, sudah bisa dikategorikan sebagai teater. Pemahaman sederhana itu, ada pada kebiasaan duduk dan baciloteh di lapau. Yang membedakan, dialog di lapau nyaris tanpa konsep namun “bisa menyelesaikan persoalan dunia” secara tertata, walau tak bisa menuntaskannya.
Kekayaan “teater” pada format Baci¬loteh Caro Lapau, seperti terlihat pada Festival Baciloteh Caro Lapau, di Taman Budaya Padang, Jumat – Minggu (14-16/11) sangat berbeda jika dibandingkan dengan teater konvensional yang selama ini dipakai. Pada dasarnya, “kiblat” teater yang selama ini dipahami menganut “mashab” Aristoteles, yang secara teratur mengukur alur prolog, transisi, klimaks, antiklimaks dan ending.
Ketika dihubungkan teater kon¬vensional dengan apa yang ada pada “teater” ala lapau, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Teater konven¬sional tidak mengenal pemain lain, yang akan memberikan sentuhan positif atau negatif.
Lakon pada teater konvensional hanya memainkan peran seperti yang digariskan pada skenario, sedangkan “teater” ala lapau, bisa menghadirkan puluhan lakon lain. Kehadiran “tokoh” dari penonton tersebut, bisa memperkuat materi yang dilakonkan, ada kalanya juga bisa me¬lemahkan materi yang dihadirkan.
Di balik berbagai persamaan dan perbedaan, yang pasti bahwa muara dari “teater” ala lapau ini memiliki kekayaan lain, yang tak mungkin dilakoni para pelaku teater konven¬sional.
Lalu, masihkah “teater” ala lapau dapat dikategorikan sebagai sebuah teater? Ketika pertanyaan itu diajukan sejumlah teman usai menyaksikan festival itu, saya menjawab; bagi saya apakah masuk pada kategori teater atau bukan, tidak menjadi soal. Kalau bisa dinikmati sebagai sebuah tontonan, apalagi diangkat dari tradisi yang mencerminkan nilai-nilai keseharian masyarakat lokal, maka “teater” ini akan menjadi tontotan alternatif yang berisi untuk menandingi nilai-nilai buruk dari yang dibawa media cetak dan elek¬tronik yang tumbuh belakangan.
Inilah teater alternatif! *
firda71_padang@yahoo.com
05 January 2011
B I O L A
Kali pertama mendengar gesekan biola di tempat kosnya, dari sebuah rumah di seberang jalan, sebelah kiri rumah kos yang baru ditempatinya, terlihat jelas seorang lelaki tua sedang menggesek biola di langkan. Gesekan biola yang terdengar sayup-sayup itu membuat Farhan melayang. Terbang jauh ke kampung halamannya: sebuah desa kecil di pinggang pegunungan.
Di kampungnya itu, dulu a sering mendengarkan gesekan biola. Sedari kecil, Ia begitu akrab dengan gesekan biola. Ibunya juga. Bapak juga. Kakak dan adiknya, juga akrab dengan gesekan biola. Orang kampungnya pun.
Di kampung kecilnya, tak ada hiburan, selain permainan biola setiap bulan tarang . Wali Jorong yang memainkannya. Sekali pun kepandaian Wali Jorong tak sehebat kemampuan kakeknya, tapi sudah cukup bagi orang-orang kampung untuk mendengarnya sebagai hiburan pengantar malam.
Kepandaian Wali Jorong merupakan warisan dari kakeknya. Kakek Wali Jorong memperoleh kepandaian memainkan alat musik gesek itu dari ayahnya. Konon, ayah dari kakek Wali Jorong memperoleh kemampuan bermain biola dari Rio Van Beck, seorang opsir Belanda.
Berselimut Kekeliruan Bahasa
04 January 2011
Pilih Mana?
Entah karena pesimistis, entah sudah sangat jenuh dengan kondisi kekinian, tetapi yang pasti, belakangan, sangat sering didengar kalimat senada; rasanya lebih baik zaman orde baru. Ada juga kalimat yang sebangun; rasanya zaman Pak Harto lebih menyenangkan dari sekarang!
Benarkah? Masih dibutuhkan pengkajian, sebab sejauh ini belum ada pengkajian yang membandingkan dua masa berbeda, orde baru dan reformasi, tersebut. Lalu kenapa kemudian muncul “kesimpulan” bahwa masa orde baru lebih baik dari sekarang?
Semua berangkat dari asumsi dan atau rasa. Rasanya lebih baik zaman orde baru. Rasanya zaman Pak Harto lebih menyenangkan dari sekarang! Kenapa lebih baik? Sederetan rasa itu pun kemudian dibeberkan menjadi fakta yang tak boleh dibantah.
Rasanya, di masa pemerintahan orde baru tingkatan kriminal tidak segawat saat ini. Pertengkaran para elit negara tidak muncul kepermukaan. Rasa aman dan nyaman masih didapatkan. Tak banyak yang menjadi pengamat. Kalau pun ada koruptor, dan kemudian tak tersentuh hukum, namun tidak membuat rakyat merinding mendengar pencurian uang negara yang dilakukan lantaran memang tidak terekspos.
Orang yang tidak sepaham dengan rasa itu, pasti membantah. Alasannya, penyimpangan di masa orde baru tidak muncul ke permukaan lantaran pembungkaman kepada orang mau pun media yang vocal. Juga terkadang sampai pada penghilangan orang.
Tuntutan pada era reformasi adalah memberikan kebebasan bersuara dan berpendapat. Ketika ada pembungkaman, maka tuduhannya adalah pelanggaran hak azazi.
Kini semua bisa disaksikan dan dibaca setiap hari, seakan di negeri ini sedang berlangsung lomba bicara. Apa saja akan dikomentari. Tak mantap rasanya kalau ada “bola cogok” namun tidak ikut mensmeshnya. Bisa-bisa dikategorikan pada orang yang tidak mengikuti perkembangan. Yang penting, ngomong dulu. Soal materinya, urusan belakangan.
Apakah materi yang disampaikan bermanfaat atau tidak, itu nomor tiga belas. Apakah materinya justru membuat orang sakit hati, juga nomor tiga belas. Itu urusan nanti. Yang penting komentar dulu.
Buntutnya dapat ditebak. Perang statemen berlangsung terus menerus. Semakin diberitakan media, semakin menjadi-jadilah orang yang berkomentar. Akhirnya bermuara kepada persoalan baru, sementara substansi yang katanya hendak diluruskan atau diperbaiki, justru tak tersentuh.
Terhadap hal ini, seorang teman justru memberikan analogi menakutkan. Katanya; sudah dikerjakan atau pun belum dikerjakan, tetap saja salah. Bekerja atau tidak bekerja, juga tetap salah!
Lho, kenapa bisa begitu? Dimana logikanya? Ya, itu tadi. Logikanya adalah orang sudah bebas ngomong apa saja. Siapa yang menghalangi akan dituntut dengan tuntutan melanggar hak azazi. Kalau dibiarkan, masalahnya menjadi lain pula; telah terjadi pembiaran.
Lalu kini Anda pilih yang mana?*
(Dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 21 November 2010)
Cinta
Sebuah kisah klasik. Tiga orang pengembara, masing-masing bernama Sukses, Harta, dan Cinta, mendatangi sebuah pondok. Ketiganya berharap diperkenankan untuk berteduh agak sejenak, karena ketiganya kehujanan di perjalanan.
Awalnya, pemilik pondok agak keberatan, namun ketiga pengembara itu terlihat sangat berharap. Malahan ketiganya mengatakan, kalau pun tidak ketiganya yang diperkenankan masuk, cukup pilih salah satu saja. Jika dipilih salah satu, maka yang lain akan menunggu di luar.
Pemilik pondok lama terdiam. Ia ingin sejak lama menginginkan memiliki Sukses. Ia berpikir, jika Sukses yang dipilihnya masuk, mudah-mudahan dirinya kecipratan sukses yang sudah lama diindam-idamkannya.
Istrinya menolak. Ia ingin yang lebih realistis. Sang istri lebih menyukai yang lebih nyata. Sangat berharap pada harta, sebab ia yakin harta yang banyak dan melimpah justru bisa membeli apa saja, termasuk mendapatkan kekuasaan.
Ketika hendak memanggil Harta, ternyata anaknya menolak. Anaknya inginkan Cinta. Pasangan suami istri tersebut tak dapat menolak keinginan si anak. Akhirnya mereka memanggil Cinta.
Ketika Cinta masuk, ternyata dua temannya, Sukses dan Harta juga masuk. “Bukankah kami hanya memanggil Cinta saja?” tanya istri pemilik pondok.
Pengembara bernama Cinta itu pun kemudian menjelaskan, jika si pemilik pondok hanya mengundang Sukses, maka dirinya dan Harta, tidak akan masuk. Hanya menunggu di luar. Jika mengundang Harta, maka dirinya dan Sukses yang menunggu di luar. Tapi karena dirinya yang diminta, maka Sukses dan Harta ikut masuk.
Takdirnya sudah begitu. Dimana ada Cinta, maka Sukses dan Harta akan ikut serta. Sukses dan Harta tak bisa lepas dari Cinta, sebab Cinta selalu memberikan kenyamanan kepada keduanya. Berbeda dengan tipikal Sukses dan Harta, yang sering tak mengikutsertakan Cinta.
“Jika ada derita, kami mendoakan damai dan kemurahan hati. Jika ada keraguan, kami mendoakan pembaruan rasa percaya diri. Jika ada keletihan, kami mendoakan pengertian, kesabaran dan pembaruan kekuatan. Dimana ada rasa taku, kami mendoakan cinta dan keberanian,” lanjut Cinta.
Kisah klasik di atas, ternyata tak pernah menjadi usang. Dalam kehidupan nyata, orang selalu dihadapkan untuk memilih salah satu atau malah ketiganya sekaligus. Hanya saja, sudut pandang untuk memilihnya berbeda. Tak sedikit ada yang cenderung berharap sukses, atau harta, namun mengabaikan hakikat sebuah cinta.
Lalu, anda pilih yang mana?*
(Dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, edisi 26 September 2010)
Garuda di Dada Agar tetap Dijaga
Apa rasa yang dirasakan sebelum dan setelah reformasi di negeri ini? Yang berbeda adalah wujud konkrit untuk tetap satu. Satu rasa, satu tujuan. Sangat berbeda.
Saban waktu, semangat satu rasa, satu tujuan, senantiasa didapatkan sebelum negeri ini dihempas gelombang reformasi. Rasa itu sangat merekat di jiwa. Ketika reformasi datang, suasananya pun berubah begitu cepat.
Sejak anak-anak muda negeri ini mendengungkan reformasi, ternyata tanpa disadari, ternyat trend negatif terhadap semangat kebersamaan dan hubungan menjaga rasa yang sebelumnya menjadi unggulan masyarakat.
Tungau di Seberang Lautan
Seorang lelaki, kira-kira 30-an tahun, membolak-balik koran. Tak lama, koran itu ditutup, lalu dibuka lagi, ditutup lagi. Begitu berulang. Dibolak-baliknya berulang, kemudian ditutupnya pula berulang. Tak ada tanda-tanda ia akan membacanya.
Dari sudut yang lain, seseorang memperhatikannya. Ia hendak menyapa, namun diurungkannya, sebab antara dirinya dengan lelaki 30-an tahun ia dibatasi lima penumpang lain. Terlalu riskan menyapanya dalam rentang jarak tersebut.
“Anda tampak gelisah. Ada sesuatu yang membuatmu resah?” lelaki yang memperhatikan dari kejauhan tadi, buka suara sembari mengangsur posisi duduknya, begitu sejumlah penumpang lain di sisi kiri lelaki 30-an tahun tersebut sudah turun satu persatu.
Tak ada jawaban. Lelaki yang memegang koran, seakan tak mendengar pertanyaan orang disebelahnya. Lantaran pertanyaannya tak terjawab, tanya yang sama diulang. Juga tak ada jawaban. Belum sempat tanya ketiga diajukan, lelaki yang memegang koran, meminta angkutan kota yang ditumpanginya berhenti.
“Kiri, Diak!” pintanya, lalu turun dan membayar ongkos.
Lelaki yang tadi menyapanya juga turun, dan kemudian membayar ongkos pula. Ia pun kemudian mengikuti langkah lelaki yang menggenggam koran. Lelaki yang menggenggam koran kemudian singgah disebuah café, yang tak jauh dari tempatnya turun angkutan kota. Kemudian memilih sebuah tempat duduk agak di sudut ruangan café.
Lelaki yang menyapanya tadi juga mengikuti langkah serupa, lalu mengambil posisi persis di meja yang sama dengan lelaki yang disapanya di angkutan kota, “maaf, saya numpang di sini,” pintanya menyapa sembari menarik kursi, dan kemudian duduk. Posisinya kini persis di depan lelaki yang memegang koran. Yang disapa tak menjawab, juga tidak menolak.
“Anda Karapai-kan?” tanyanya menyerobot.
Lelaki yang memegang koran terkejut, “Anda mengenal saya?” tanyanya basa-basi, seakan tak percaya.
“Lebih dari sekadar kenal,” sambungnya sembari membeberkan satu persatu perihal identitas lelaki di depannya. Karapai semakin terkejut.
Koran yang semula dibolak-baliknya, kini justru diletakkan di meja. Ditatapnya lelaki di depannya. Dicobanya untuk mencari tahu siapa gerangan. Lama ia terdiam, tapi tak juga ditemukan jawabannya.
“Saya yakin, Anda pasti kenal saya. Inilah hakikat orang yang lupa dasar,” kalimat lelaki itu menghujam di dada Karapai.
Lelaki itu melanjutkan, ini kali ketiga ia bicara langsung pada Karapai dalam lima empat tahun terakhir, ternyata Karapai masih lupa. Ketika dua kali pertemuan sebelumnya, lelaki itu sudah membeberkan identitasnya. Keduanya, sebenarnya teman kecil. Sama-sama pernah bermain di sawah, berlarian dari pematang ke pematang, pernah bermain perang-perangan, bermain samba lakon, serta sejumlah permainan semasa kecil.
Selepas SD, Karapai pindah. Ia ikut orang tuanya. Sejak itu mereka tak pernah jumpa, sampai kemudian mereka bertemu secara tak sengaja di pesta pernikahan, lalu di bus kota, dan kemudian di angkutan kota yang kemudian pindah ke café, saat ini.
“Maaf, saya memang tak kenal Anda,” aku Karapai, “Anda siapa? Lanjutnya.
Lelaki itu tersentak. Matanya terbelalak. Ia terlihat agak emosi. Dadanya turun naik, “Oke. Anda boleh tak kenal saya, tapi sampai kapan pun Anda masih berutang kepada orang tua saya, berapa banyak kaca rumah saya yang pecah olehmu…” ungkapnya.
Karapai terkejut, lalu terlihat sudut bibirnya mengambang, tiba-tiba ia teringat, ketika masih kanak-kanak, ia sering bermain bola dengan teman-teman sebayanya, namun dirinya termasuk tak bisa main walau punya tendangan yang keras, sehingga tendangannya sering melenceng dan mendarat di kaca rumah di sebelah lapangan, “hehehe… saya bukan orang yang lupa dasar, sekarang saya tahu. Maafkan saya, Dai!” balas Karapai sembari menjabat erat tangan lelaki di depannya yang tak lain adalah Badai.
Keduanya kemudian melepaskan kerinduan. Kerinduan yang sangat mendalam dari dua orang teman kecil yang sudah lama tak jumpa. Keduanya pun bercerita banyak, membentang kembali kisah masa lalu, mengingat satu persatu teman-teman mereka. Kehidupan telah memisahkan mereka semua, sebab masing-masing harus berjuang untuk kehidupan keluarganya.
Kehangatan pertemuan itu, kemudian menjadi serius ketika Badai mencari tahu kenapa saat di angkutan kota tadi, Karapai gelisah.
“Kenapa terlihat seperti orang gelisah?” tanya Badai.
Keceriaan pertemuan dua teman lama itu, mendadak berubah. Sejenak keduanya terdiam. Karapai menatap kosong, “saya kecewa, ada teman yang lupa saya dan kemudian mengaku tak kenal, padahal sebelumnya sama satu sekolahan,” ungkapnya, “kehidupan saya tak sesukses dia, sehingga mungkin dia berpikir saya akan menyusahkannya,”
Badai terkejut. Ops! Ia menatap pasti, Karapai telah melihat tunggau di seberang lautan.*
(Dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 16 Desember 2010)
Cincin Kelopak Mawar
Badri tersenyum bangga. Kali ini ia yakin, usahanya tak akan sia-sia lagi. Dendam yang membakar ubun-ubunnya akan terbalaskan dengan cinta yang dirasakannya. Dalam dendam ada cinta.
Di kamar berdindingkan palupuah1, Badri baru saja mengenakan pakaian, setelah seluruhnya dilepas ketika mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuah tapian2. Prosesi selanjutnya, sembari mengingat gadis yang telah mempenjara hatinya, dibukanya bungkusan yang diberikan Mak Pado, dukun terkenal di nagari subarang3. Tempat orang mengadu untuk urusan cinta dan guna-guna.
Mak Pado sebenarnya bukan penduduk asli nagari subarang, tak ada yang tahu asal usulnya. Ia sudah ada di nagari itu sejak dibawa kakeknya. Gubuknya jauh di tengah hutan. Jarang ada yang datang ke gubuknya. Kalau pun ada, umumnya untuk urusan guna-guna. Itu pun biasanya dilakukan malam hari, secara sembunyi-sembunyi. Agar orang tak tahu.
Bagi masyarakat di nagari itu, sekali pun jauh dari keramaian, jauh dari kehidupan gemerlap, namun datang ke dukun adalah aib jika diketahui tetangga, apalagi diketahui orang senagari.
Cincin Kelopak Mawar Mengulang Kesalahan Masa Lalu
Minggu, 10/10/2010 10:30 WIB di www.padangmedia.com/?mod=berita&id=64006
padangmedia.com - PADANG- Pentas dibuka dengan seorang ibu yang tengah duduk sambil menyulam. Ia berada di tengah panggung dengan lima penari laki-laki mengelilinginya. Sambil disinari cahaya merah dengan iringan saluang.
Tak lama kemudian muncullah si anak, Badri namanya. Ia berlari kegirangan mendekati Ibunya. Sambil mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada seorang kembang desa bernama, Rabiatun. “Kau tidak boleh berbuat lebih jauh dengan wanita yang belum kau nikahi. Karena bisa mendapat sangsi adat dari kampung. Jangan seperti ayahnya dulu, terusir dari kampong,” pesan ibu untuk anaknya
Cincin Kelopak Mawar, Simbol Kemunafikan
Peristiwa tak Terduga dalam Cincin Kelopak Mawar
KERJA kreatif dalam menulis cerpen mengharuskan penulisnya intens bergelut dengan segala unsur yang membangun kesatuan dalam cerpen-cerpen yang sedang digarapnya. Cerpen dianggap berhasil ketika tokoh, peristiwa, latar, narasi dan keberhasilan interaksi antara cerpen dengan pembacanya.
Bagaimana dengan cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam sebuah buku atau antologi? Sebagian besar penulis memang memikirkan persoalan hubungan tema di dalam cerpen-cerpen yang akan dikumpulkan. Ada juga yang memikirkan bahwa cerpen-cerpen yang akan dibukukan tersebut sudah patut dikumpulkan karena sudah lama tersimpan dan lebih pada persoalan agar naskah tersebut tidak tercecer. Atau lain hal yang menyangkut kedirian sang cerpenis, atau agar si cerpenis dianggap tetap eksis menulis cerpen.Teater Nan Tumpah dalam “Cincin Kelopak Mawar”
Sederhana atau Misikin Ide?
Oleh Ganda Cipta*
Apa hebatnya cerpen Cincin Kelopak Mawar (CKM) karya Firdaus? Pertanyaan itu muncul sesaat setelah saya mendapat kabar dari seorang teman, bahwa cerpen yang memenangi A.A Navis Award tahun 2007 ini, untuk kedua kalinya (setahu saya) dalam tahun ini akan diadaptasi ke dalam seni pertunjukkan.
Sebelum Teater Nan Tumpah mengadaptasi dan mempertunjukkannya dengan judul yang sama ke dalam sebuah pertunjukan teater, pada 9 Oktober 2010 di Teater Utama Taman Budaya Sumbar, terlebih dahulu Impessa Dance Company telah mengangkatnya dalam karya tari dengan koreografer Jhoni Andra, di tempat yang sama pada 8 Maret 2010.
Ruang Buku Karya Dosen Unand
Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...
-
Ketika hadir dan berbagi bekal menulis cerpen, di akhir Oktober 2019, awalnya asyik-asyik saja. Sebanyak 50 orang pelajar SMP 2 Sijunj...
-
Judul : Cincin Kelopak Mawar Penulis : Firdaus Abie Penerbit : ErKa Tahun Terbit : 2016 ...
-
Oleh: Firdaus Entah kenapa, pada momentum peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen karya A.A Navis (alm). Cerpen ...