Cerpen: Firdaus Abie
Lindo sudah membulatkan tekad. Tugas yang diberikan Datuak Sunguik, Walinagari Ujuangbatu, mencari lahan untuk manaruko di lahan tersebut, harus dijalankan. Ia tak tega melihat kondisi nagarinya saat ini.
Pengakuan tetua di nagari itu, baru kali ini musim kemarau sangat panjang. Sudah hampir setahun tak pernah hujan. Sawah dan ladang mulai kerontang. Tanaman muda sudah meranggas dan mati. Sawah tak lagi bisa ditamani karena tak ada air untuk persemaian benih. Debet air yang turun di pincuran sejumlah tapian, sudah ada yang tak mengalir lagi. Ketersediaan air bersih sudah sangat mengkuatirkan.
Pada anak tangga paling atas pondoknya, Lindo melepaskan tatapan ke sekeliling. Seorang perempuan sedang menyusun ranting kering di kiri samping pondok. Ranting itu nantinya akan dijual, sisa serpihannya dipakai sendiri di tungkunya.
Melihat suaminya sudah di pintu, perempuan menikah dua tahun lalu, namun belum sekali pun terlambat bulan, meninggalkan ranting-ranting keringnya, lalu bergegas ke dalam pondok. Tak lama berselang, ia keluar dan menemui suaminya yang sudah berada di kiri samping pondok. Perempuan berlesung pipi itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil.
“Untuang-untuang capek basobok, Da ..” Marni menyerahkan bungkusan tersebut, kemudian menyalami dan mencium tangan suaminya.
Lindo terpaku. Batinnya berkecamuk. Tangan istrinya masih digenggam. Walau ini bukan yang pertama akan meninggalkan istrinya, namun ini kali pertama ia merasa takut meninggalkannya.
Marni menangkap ketakutan itu. Keraguan pun kemudian muncul dalam dirinya, namun demi masa depan mereka dan warga di nagarinya, Marni menguatkan diri. Ia juga berupaya untuk menguatkan kembali tekad Lindo.
“Bajalanlah, Da. Rang kampuang manunggu ” pinta Marni. Lindo membalas dengan senyum. Bibirnya mengembang, lalu melepaskan genggam tangan istrinya, dan kemudian melangkah.
Lindo melangkah pasti. Keinginan menyelamatkan warga di nagarinya mengebu-gebu. Ia tak mau kekeringan makin parah yang akan mengakibatkan kelaparan di nagarinya. Di benaknya, ini kesempatan untuk berbuat sesuatu pada kampung halamannya.
Selama ini, ia cenderung tak mau tahu dengan tanah kelahirannya. Perjalanan hidupnya, dijalani untuk kehidupannya sendiri. Hanya sesekali hadir ke pengajian, itu pun hanya sekadar setor wajah saja. Datang gotong-royong, tak pernah bawa alat kerja. Bisa dihitung pula kehadirannya di pesta baralek di nagarinya.
Ketika menikahi Marni, tamu yang datang sangat ramai. Ia merasa seperti bermimpi, karena tak yakin dengan kenyataan yang ada. Mulanya ia menduga, tamunya pun bisa dihitung dengan jari.
Empat hari setelah pernikahannya, ia menemukan jawaban kenapa warga tetap ramai datang. Mereka ternyata hanya memenuhi undangan Marni. Warga sangat segan pada perempuan murah senyum itu. Selama ini orang mengenal Marni sebagai sosok yang ramah, tak banyak bicara dan ringan tangan. Ia membantu siapa saja yang datang padanya untuk minta pertolongan.
Sejak saat itu, Lindo baru menyadari hakikat hidup bertetangga dan berkampung. Kepribadiannya pun berubah drastis. Sama dengan istrinya, Lindo pun kemudian suka menolong siapa saja.
Ketika Datuak Sunguik datang padanya, lalu mendiskusikan perihal kehidupan di nagari mereka yang kian terancam, kemudian keduanya bertemu pada titik pandang yang sama. Harus ada langkah konkrit untuk keluar dari ancaman kekeringan dan kelaparan. Harus segera dicari wilayah baru yang lebih cocok. Keduanya yakin, wilayah itu masih ada.
Langkah pasti Lindo pun bukan tanpa isi. Ia memiliki sedikit bekal silat. Datuak Sunguik pun menjanjikan mengawalnya dari jauh. Warga di Nagari Ujuangbatu tak hanya mengenal Datuak Sunguik sebagai guru silat, tetapi juga sebagai pawang harimau. Ia bisa memanggil, menjinakkan dan mengusir harimau dengan mantranya.
* * *
Warga Nagari Ujuangbatu terkejut. Menjelang senja yang biasanya tenang, tiba-tiba buncah. Ada ketakutan menyergap. Seseorang yang baru pulang dari ladang, menemukan bercak darah yang sudah membeku di ujung jalan nagari. Arahnya hilang di balik semak menuju hutan.
Marni bergegas menuju kerumunan warga. Ia ingin segera tahu, apa yang terjadi. Tak lama di antaranya, Datuak Sunguik menerobos kerumuman. Marni masih sempat melepaskan senyuman kepadanya, namun senyuman itu tak berbalas. Marni memaklumi, mungkin senyumnya tak terlihat oleh Datuak Sunguik, sebab ia terlalu konsentrasi terhadap persoalan di depan matanya.
Lagi pula, Marni merasakan ada kelelahan dalam diri Datuak Sunguik. Baru tadi pagi ia pulang melihat daerah yang ditemukan Lindo, setelah perjalanan empat hari. Sebelum menemui anak istri, Datuak Sunguik menyempatkan diri mampir ke pondoknya.
Datuak Sunguik tak henti-hentinya memuji keberhasilan Lindo. Seorang diri menjelajahi hutan untuk mencari wilayah baru untuk dijadikan alternatif berladang bagi warga. Setelah Lindo mendapatkan wilayah tersebut, ia pulang, kemudian membawa Datuak Sunguik ke wilayah baru tersebut.
Sekembali dari perjalanan dengan Datuak Sunguik, Lindo menceritakan kepada Marni, bahwa selain mendapatkan lahan bagus yang ditemukannya ketika pergi sendirian, ternyata juga didapatkan wilayah tambahan ketika bersama Datuak Sunguik. Wilayahnya sangat subur. Tak terlihat adanya pengaruh kemarau panjang di sana. Sumber airnya pun masih sangat sejuk dan bening.
Lindo sangat puas, meski keletihan menderanya. Ia pun sudah merencanakan langkah bersama wali nagari untuk manaruko di wilayah baru. Ia yakin, warganya akan selamat dari kekeringan dan ancaman kelaparan. Marni bangga karena suaminya sudah menjalankan tugas untuk kepentingan warga dengan baik.
Wali nagari bersama tetua nagari melangkah di depan, mengikuti ceceran darah yang sudah membeku. Langkah mereka terus menuju hutan berbekal penerangan seadanya. Marni mengikuti langkah di belakangnya bersama warga lain.
Di balik keremangan, mereka menemukan darah membeku yang lebih banyak dari ceceran sebelumnya. Penerangan pun diturunkan ke tanah. Ketika penerangan semakin dekat pada darah beku itu, semua semakin tersentak. Di antara darah beku itu, ada potongan daging. Semua memperhatikan secara seksama.
“Iko dagiang urang mah… ” seru Mustafa, lelaki setengah baya yang memegang obor. Tanpa bantahan, semua membenarkan.
Setelah potongan itu dikumpulkan, langkah pun ditarik perlahan. Sangat hati-hati. Suasana hening sesaat, lalu dikejutkan teriakan dari arah depan, “Oi…, aden dapek baju cabiak! ”
Mendengar teriakan itu, semuanya terkejut, lalu berlari ke arah datangnya suara. Marni pun turut berlari ke sana. Di sela-sela kerumunan yang sangat ramai, seseorang mengangkat baju yang sudah koyak dan berlumuran darah tinggi-tinggi dengan sebatang ranting. Marni pun terus berupaya melihatnya lebih jelas.
Saat matanya menangkap potongan baju yang sudah koyak dan berlumuran darah itu, tiba-tiba dadanya bergemuruh kencang. Ia coba menahan, tapi tak sanggup. Debarannya semakin kencang.
Ia berlari pulang, berharap suaminya ada di pondok. Ketika sampai, pintu pondok terbuka. Dicoba melongok ke dalam di antara keremangan, lalu dipanggil nama suaminya beberapa kali. Tak ada jawaban. Marni makin gelisah.
Belum sempat kegelisahannya terjawab, Marni merasa ada keganjilan di tempatnya berpijak. Tiba-tiba tubuhnya rubuh, setelah tahu bahwa darah beku juga ada di pintu pondoknya.*
Malam yang Mendera, 11 Maret 2010
Catatan: Cerpen ini dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Buku Karya Dosen Unand
Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...
-
Ketika hadir dan berbagi bekal menulis cerpen, di akhir Oktober 2019, awalnya asyik-asyik saja. Sebanyak 50 orang pelajar SMP 2 Sijunj...
-
Judul : Cincin Kelopak Mawar Penulis : Firdaus Abie Penerbit : ErKa Tahun Terbit : 2016 ...
-
Oleh: Firdaus Entah kenapa, pada momentum peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen karya A.A Navis (alm). Cerpen ...
No comments:
Post a Comment