25 January 2011

Tamu Basah

Cerpen: Firdaus Abie


    Fuad dan Andi saling bertatapan. Sekali pun tak bersuara, sepertinya mereka mengatakan sesuatu. Kegelisahan wanita yang baru saja mengambil posisi di depan mereka. Kegelisahan wanita itu semakin terlihat.
    “Ada yang bisa kami bantu, Mbak?” Fuad memberanikan diri buka suara. Tak ada jawaban. Fuad mengulangi, Ia menduga wanita itu tak mendengar tanyanya.
    “Terima kasih,” jawabnya, “saya hanya menunggu seseorang,” sambungnya sembari melirik jam tangan, lalu menarik turun roknya. Meski diturunkan, tak cukup menutupi pahanya. Pahanya bersih. Mulus.
    Hening sejenak. Hanya terdengar ketipak air dikibas ekor ikan kolam. Fuad memandangi kolam, melepas kegrogiannya. Gerak ikan di kolam begitu liar, seliar pandangannya ke paha wanita itu, dan seliar tatapan wanita itu pintu utama yang dijaga bilboys. “Janjinya pukul berapa, Mbak?” tanya Fuad.
    “Sembilan,” jawabnya. Spontan saja kedua pria itu melirik jam tangan masing-masing.
    “Sudah lewat satu setengah jam,” sambung Fuad, “apakah tak salah tempat janjiannya?” sambungnya.
    Wanita itu mengeleng.
    “Sudah dihubungi?”
    “Handponnya tak aktif,”
    “Kelihatannya penting sekali,” sela Andi.
    “Kalau tak penting, tak mungkin saya menunggu,”
  
 “Maaf, kalau boleh tahu, urusan apasih, Mbak?”
    “Masalah hidup. Ini masalah hidup saya. Tak perlu kalian tahu…” jawabnya. Ada perubahan di wajahnya.
    “Maaf, kalau Mbak tersinggung,” Andi menetralisir suasana. Hening.
    Lalu, Fuad dan Andi kembali ke kamar masing-masing di lantai tiga hotel bintang empat di tepi pantai.

***

    Selesai mandi, Andi keluar dari kamar. Ia sendirian. Fuad sudah duluan turun. Malam ini ia hendak jalan keluar hotel, ingin mencari makan malam di luar. Sudah empat hari ini, sejak sarapan pagi, makan siang dan makan malam, selalu dilakukannya di hotel.
Sebenarnya, sejak mengenal makanan di hotel, seleranya tak bisa menerima. Sekali pun ia seorang eksekutif muda, namun seleranya masih selera kampung. Masih suka masakan sehari-hari di kampungnya. Kalau pun pernah meminta Coto Makasar atau Sup Kondro, namun rasanya sangat jauh dari apa yang didapatnya di Makasar atau kedai-kedai di pinggir jalan. Kalau pun harus berganti selera, Ia lebih memilih nasi padang.
    Ketika mengitari lorong kamar menuju lift, wanita yang ditemuinya tiga hari lalu di lobi hotel, juga keluar dari kamar. Hanya berjarak tiga kamar dari kamarnya. Wajahnya segar sekali.
    “Malam, Mbak. Segar sekali malam ini. Mau makan malam juga?” sapa Andi.
    Wanita itu hanya menjawab dengan senyum. Senyuman itu diartikan Andi sebagai jawaban membenarkan pertanyaannya. Keduanya turun dengan lift tanpa bicara.  Sesampai di lantai dasar hotel, wanita itu langsung naik taxi hotel. Andi berjalan ke luar, mencari rumah makan padang.
    Sekembali dari makan malam, secara kebetulan, Andi satu lift lagi dengan wanita itu. Hanya mereka berdua di dalam lift. Tak ada yang bicara sepatah kata pun. Andi menatap wanita itu sepuas-puasnya. Cantik juga, wanita ini, gumamnya. Andi menatap kesempurnaannya. Hidung mancung, bibir mungil tipis, kulit sawo matang, bodi tinggi semampai. Andi memperkirakan, wanita ini pasti dari kalangan berpunya.
    Sesampai di lantai tiga, keduanya keluar lift. Lalu berjalan hampir bersamaan. Awalnya Andi berjalan di belakang. Pikiran nakalnya memperhatikan gerak langkah wanita di depannya. Aduhai.  Kemudian didahuluinya wanita itu yang berjalan sangat pelan.
Andi memberi tahu, wanita itu melewati kamar tempatnya ditemui ketika hendak keluar tadi. Kamarnya sudah terlewati, tapi wanita itu hanya tersenyum. Ketika sampai di depan kamarnya, Andi langsung masuk kamar. Bersamaan dengan itu, sayup-sayup Ia mendengar bunyi bel di kamar seberang.
    Lalu diintipnya dari celah kecil di pintu kamarnya. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar di seberang kamarnya. Tak lama pintu terbuka. Seorang lelaki hanya hanya menggunakan celana dalam muncul dari balik pintu. Wanita itu masuk. Pintu pun ditutup.

***

    “Sampai kapan di sini, Mbak?” Andi bertanya, begitu duduk di hadapan wanita yang ditemuinya tadi malam, saat sarapan pagi.
    “Anda sendiri?” jawabnya balik bertanya.
    “Sampai besok,”
    “Kalau, Mbak?”
    “Entahlah. Saya tak tahu harus sampai kapan di sini,”
    “Maksudnya?”
    “Ya, itu tadi. Tak tahu entah sampai kapan. Selama ini, saya hanya hidup dan menetap di sini, sendiri,”
    “Mbak menejer di hotel ini? Enak dong?” Andi menebak.
    Wanita itu diam. Lalu mengeleng, “Saya tak ada apa-apa dengan hotel ini. Sama dengan Anda, saya hanya menetap di sini,”
    “O ya?” Andi seakan tak percaya. Menetap di hotel berbintang empat dalam rentang waktu yang tak pasti tentulah menimbulkan tanda-tanya baginya. Bagi Andi, menetap sepekan saja di hotel sudah sangat menyiksa. Bukan persoalan uang, tetapi suasananya.
Andi mencoba mencari jawaban siapa wanita di hadapannya. Ia berpikir, kalau benar yang dikatakannya, tentulah wanita ini bukan sembarang orang. Hidup di hotel bintang empat ini untuk waktu yang lama, sudah pasti tak bisa dilakukan semua orang. Kalau pun bisa, itu pun dengan hitungan jari, tentu tak semuanya mau.
    Meski tinggal di hotel yang mewah dan apa yang diminta bisa segera diantarkan, namun tetaplah menghadirkan kejenuhan. Hari-hari yang dilalui di hotel tak akan pernah berubah. Tetap seperti itu dari hari ke hari. Lagi pula, siapa yang mau menetap di hotel berlama-lama.
    “Mbak pastilah pengusaha sukses. Atau setidaknya, suami Mbak. Kalau tidak, tak mungkin bisa menetap dalam kurun waktu yang lama di hotel ini,”
    Wanita itu menjawab dengan gelengan. Keduanya pun kemudian larut dalam pembicaraan hangat. Banyak persoalan di bahas. Dari yang keci-kecil; kesukaan, kebiasaan, urusan hotel, sampai urusan sedikit berat; korupsi, musibah yang bertubi-tubi melanda negeri ini, minimnya lapangan pekerjaan sehingga menghadirkan ratusan ribu pengangguran, sampai persoalan pelacuran yang tumbuh di banyak tempat.
    “Tak pantas disebut sebagai pelacur, tapi pekerja seks” sanggah wanita itu.
    “Apa bedanya?” tanya Andi
     “Pekerja dilindungi undang-undang,” jawabnya membuat Andi makin terbelalak.
    Wanita itu mendesah. Diteguknya orange jus dinginnya
    “Pelacur merupakan orang-orang yang melacurkan diri. Melacurkan diri berkonotasi menyerahkan diri sepenuhnya pada orang lain. Tak ada nilai-nilai profesionalnya. Sedangkan pekerja adalah orang-orang yang menerima pembayaran dan upah terhadap jasa atau keterampilan,”
     “Pantaskah disebut sebuah pekerjaan?” tanya Andi.
    “Kenapa tidak? Buktinya, mereka memang bekerja, kok. Tak hanya negara, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pun menjamin. Bukankah jelas-jelas dituliskan pada pasal demi pasal perlindungannya, tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya. Itu ditegaskan pada pasal dua belas. Lalu, pada pasal dua puluh tiga ayat satu disebutkan, setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan, serta berhak atas perlindungan dari penggangguran. Ketimbang mengganggur, hak perlindungan dari penggangguran tak diberikan negara, itu sebabnya pekerjaan itu dilakukan. Setiap orang berhak memperoleh pekerjaan yang layak. Mendapatkan pekerjaan adalah hak yang melekat pada diri setiap orang,” jelasnya, “jadi, apa yang mereka kerjakan dijamin undang-undang, lho mas”
    “Oke. Tapi, apakah ini termasuk pekerjaan yang layak?” protes Andi. Andi tersentak ketika wanita ini mengatasnamakan undang-undang.
    “Kata siapa tak layak?” balasnya tak mau kalah.
    “Agama apa pun pasti melarang pekerjaan ini. Selain itu, juga bertentangan dengan nilai-nilai sosial, kesusilaan,” Andi terpancing. Agak emosi.
    Wanita itu tersenyum. Ia menghadapi Andi dengan tenang. “Orang selalu melihat kesalahan pada wanitanya, Mas. Tak pernah melihat dan mencarikan jalan keluar dunia yang mereka hadapi,” jelasnya sembari mempermainkan pisau kue di piringnya, telur mata sapi yang tinggal seperempat dipotong-potongnya. “Perlakuan hukum pun tak adil. Hanya wanita yang diburu-buru. Lelaki hidung belang nyaris tak tersentuh,” bebernya.
    Wanita itu meneruskan kalimatnya, “pekerjaan ini layak atau tidak bukan urusan orang lain, sebab, orang lain juga tak pernah peduli dengan kehidupan mereka. Jadi, tergantung sudut pandang mereka yang bekerja di sana. Kalau tak layak, tak mungkin mereka bekerja di dunia ini. Kalau pun tak layak menurut orang lain, haruskah kata-kata orang yang tak pernah peduli dengan kehidupan mereka itu dituruti? Kehidupan pekerja seks, ya pekerja seks itu yang menentukannya, Mas. Persoalan norma-norma dalam masyarakat, tak perlu dihiraukan karena tak semua mereka mengganggu masyarakat.
    “Tapi ini juga zina, Mbak?”
    “Siapa bilang zina?”
    “Tak berzina? Bukankah menjadi pekerja seks berakhir pada fantasi persetubuhan. Bukankah itu zina?” tanya Andi penuh heran.
    Ada lesung di pipi wanita itu. Ia tersenyum. “Tak bisa dipersalahkan begitu saja. Sedikit banyak saya tahu undang-undang, Mas. Yang kita pakai tentu undang-undang di negeri ini. Menurut undang-undang di negeri ini, zina adalah perbuatan yang dilakukan bukan suami isteri, dimana salah seorang di antaranya terikat status suami atau istri dari seseorang. Kalau mereka tak dalam berstatus menikah, lalu pasangan kencan yang dipilihnya pun tak terikat status pernikahan, tentu tak berzina menurut hukum di negeri ini”
    “Dari sudut agama, itu namanya zina” jawab Andi.
    “Mas, urusan hari ini adalah kenyataan hari ini. Hukum positif, undang-undang HAM, tak memandang dari sudut nilai-nilai tersebut. Itu berarti, tak melanggar hukum, apalagi? Masih salahkah mereka, padahal mereka tak melanggar hukum?” wanita itu balik bertanya.
    Andi merasa terpojok. Apa yang diterangkan wanita itu, pernah didengarnya. Juga pernah dibacanya.
Ketika itu juga pikiran Andi terbang jauh, menembus batas-batas di depannya. Terbang, melayang-layang, seperti mencari sesuatu, menghayalkan wanita di hadapannya. Ditatapnya wanita itu dalam-dalam. Dari rambut hingga sebatas dada. Pikirannya melayang jauh, mencoba menebak siapa wanita itu.
    Belum selesai ia menemukan jawaban, handphone wanita itu berbunyi. Ia hanya menjawab singkat, ya dan oke. Lalu minta izin pergi. Andi menjawab dengan anggukan.
  
***

    Selepas makan siang, Andi hendak kembali ke kamar. Lift terbuka, dari dalam muncul wanita yang semeja dengannya saat breakfast, bergandengan tangan dengan seorang lelaki, kira-kira berusia 50-an. Andi membalas senyumnya. Ia tampak lebih cerah. Rambutnya pun basah.

***

    Ketika matanya hendak terpejam, tiba-tiba bel di kamarnya berdering. Setelah bunyi kedua, Andi baru bangkit dari tempat tidur. Sekali lagi bel berbunyi. Ditariknya langkah gontai ke arah pintu. Sekali lagi bel berbunyi. Andi bergegas menuju pintu. Lalu sebelah matanya dirapatkan ke pintu, mengintip siapa tamu yang datang.
    Andi terkejut, wanita yang berdiri di seberang pintu terlihat mengumbar senyum. Raut wajahnya cerah. Rambutnya masih basah. Dalam ragu, Andi meraih gagang pintu. Pilihannya; dibuka atau diam saja. Sekali lagi bel berbunyi. Tangannya masih menggenggam gagang pintu, ditarik atau dibiarkan. Dalam ragu, gagang pintu bergerak, sedikit.***

Batam, 17-22 April, Padang, 9 Mei 2006
(Salam untuk kawan-kawan Alumni HAM Batam,
terutama untuk Mbak Rima, Mbak Asri dan Mbak Evi Dorens, sudah sembuhkah?
Cut Beity, trimakasih..!)


Catatan: Cerpen Tamu Basah merupakan salah satu cerpen yang dimuat pada kumpulan cerpen Cincin Kelopak Mawar, karya Firdaus, yang diterbitkan Kemang Studio Aksara, Jakarta

3 comments:

rina bajooel said...

manttaaappp..preenn....sayang ending nya menggantung...harusnya si wanita tidur ama si andy..he..he..he...

Agung Ngurah said...

Mantab Bie ... versi nan 2015 mana Uda Bro ?

Firdaus Abie said...

Thanks Dwi Putriyeni, versi 2015 sudah ada, cuma belum sempat dipostingkan

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...