KERJA kreatif dalam menulis cerpen mengharuskan penulisnya intens bergelut dengan segala unsur yang membangun kesatuan dalam cerpen-cerpen yang sedang digarapnya. Cerpen dianggap berhasil ketika tokoh, peristiwa, latar, narasi dan keberhasilan interaksi antara cerpen dengan pembacanya.
Bagaimana dengan cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam sebuah buku atau antologi? Sebagian besar penulis memang memikirkan persoalan hubungan tema di dalam cerpen-cerpen yang akan dikumpulkan. Ada juga yang memikirkan bahwa cerpen-cerpen yang akan dibukukan tersebut sudah patut dikumpulkan karena sudah lama tersimpan dan lebih pada persoalan agar naskah tersebut tidak tercecer. Atau lain hal yang menyangkut kedirian sang cerpenis, atau agar si cerpenis dianggap tetap eksis menulis cerpen.Lain hal yang saya lihat dalam kumpulan cerpen “Cincin Kelopak Mawar” (CKM) karya Firdaus. Saya melihat sebuah kejujuran usaha dalam menulis cerpen dan usaha untuk menyatukan karya-karya tersebut agar dari himpunan tersebut bisa dilihat proses kreatif penulisnya.
Dalam CKM terdapat 13 cerpen, yaitu: Cincin Kelopak Mawar, Tamu Basah, Saluang, Perempuan yang Terpaku Bisu di Luar Jeruji Besi, Wanita itu Mirip Astuti, Pien, Biola, Mundur, Menara Kembar yang Hancur di Kepala, Keputusan Pak Bos, Uang Jemputan, Duh, Manisnya kamu di Lampu Mati. Pemilihan judul KCM pun tentunya bukan tanpa sebab karena memang ‘kekuatan’ cerpen Cincin Kelopak Mawar—tanpa mengecilkan cerpen berikutnya—dalam hal peristiwa yang dihadirkan lebih mendominasi. Terkadang di beberapa cerpen saya sangat sulit menebak kejadian apa yang akan muncul setelah kejadian awal dan akhir yang menyentak membuat sebuah cerpen lebih dipertanyakan bagi seorang pembaca.
Dalam cerpen ‘Cincin Kelopak Mawar’ terdapat tokoh Badri dan Rabiatun layaknya bujang dan gadis di kampung yang sedang memadu kasih. Pertemuan Badri dan Rabiatun pun terkesan aneh. Badri sering melihat Rabiatun mandi di tepian. Di sekali waktu mereka berpapasan seketika Rabiatun pulang dari ladang, Rabiatun pun mengungkapkan (lebih tepatnya menyindir) Badri karena sering melihat Rabiatun mandi. Karena merasa bersalah Badri meminta maaf kepada Rabiatun, dia berjanji tidak akan mengulang perbuatannya lagi dan sebaliknya Rabiatun tidak akan menceritakan ketahuan Badri pada orang-orang. Akan tetapi di dalam cerita, mereka, Badri dan Rabiatun dibuat sempat memadu janji. Akibat sering bertemu di tempat baralek, di jalan ke surau, dan jalan ke ladang.
Di dalam cerpen Cincin Kelopak Mawar dan sebagian besar cerpen-cerpen dalam CKM, Firdaus mempergunakan istilah-istilah Minang yang otomatis menandakan bahwa memang khasanah ke-Minang-anlah yang ingin ditonjolkan dalam cerpen-cerpennya. Ambil contoh saja dalam cerpen Cincin Kelopak Mawar, ada beberapa istilah yang dimunculkan lengkap dengan catatan kaki di bagian bawah buku, diantaranya: Palupuah, tujuah tapian, mambungkuih tulang jo daun kaladi, tampek baralek, kain paco, kapunduang, dll. Di sini Firdaus juga mengambil beberapa ucapan Minang yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sepertinya untuk menambah rasa, bahwa bahasa Minang lebih elok jika dipadukan dalam cerpen, misalkan: “alah tigo hari uda ndak katapian, kama se da?”, “hanyo awak nan tau kalau uda salamo ko acok kasinan. Tapi kama se uda tigo hari ko?”, “alun talambek lai. Inyo pasti babaliak ka anak mudo”, dll. Kalimat-kalimat seperti ini diungkapkan penulis, sepertinya jika diungkap dalam bahasa Minang, akan lengkap dan masuk ruhnya—mungkin seperti ini?
Kritikan sosial juga banyak mempengaruhi cerpen-cerpen Firdaus. Apakah ini penanda seorang yang kesehariannya terbiasa dengan kehidupan jurnalistik dan seketika ia membelah dirinya dalam keasyikannya bersastra ia akan memikirkan ini? Tapi kritik sosial dihadirkan dengan halus, tidak terkesan sarkas dan menggurui. Kritik tersebut hanya pemanis dalam cerpen yang akan membuat pembaca mengetahui hal lain di luar karya itu sendiri. Misalkan dalam cerpen “Wanita Itu Mirip Astuti”, dengan lihai penulis memanfaatkan cerita di dalam cerpen tersebut untuk melakukan kritikan atau mengolah sesuatu yang mungkin akan lebih baik dilakukan dalam karya sastra. Lihat saja narasi seketika tokoh Syarif didatangi seorang wanita yang serasa ia kenal sewaktu sekolah dulu. Wanita tersebut menawarkan Syarif dan Istrinya untuk berjalan-jalan ke keraton tanpa dipungut biaya apapun. “Pikirannya langsung melayang ke tanah kelahirannya. Hampir setiap objek wisata harus membayar. Masuk bayar, parkir bayar... saat itu Syarif harus merogoh kantong untuk biaya yang tidak karu-karuan. Di gerbang disambut karcis, bayar per orang. Sebelum keadaan berhenti di luar parkir, ia disodori karcis parkir. Bayar lagi. Setelah merasa mendapat tempat, harus bayar lagi. Kemudian seorang pemuda berpostur tubuh gemuk menyodorkan tikar...”. Perihal ini ungkapan Seno Gumira Ajidarma dalam “ketita Jurnalisme di Bungkam Sastra Harus Bicara”, seperti bergaung lagi. Ada hal yang tidak patut diungkap jurnalisme karena berbagai hal dan di dalam karya sastra ia akan bergema. Mungkin tidak jauh berbeda dengan pemikiran Seno, pemikiran Firdaus dalam kritik sosial dalam cerpennya.
Membaca proses penulis ini sepertinya kita memang tidak akan melepaskan diri dari kegiatan kesehariannya di samping menulis sastra. Hal ini menandakan bahwa ternyata berproses sastra itu bisa dari golongan manapun. Firdaus terlahir dari pasangan yang suka membaca, Rahmad Ma’ruf Bagindo Malin dan Rostinya. Kebiasaan membaca ia teruskan dalam proses menulis seketika ia menjadi reporter mingguan KMS Singgalang, seketika inilah ia menggrap proses kreatifnya dalam menulis karya sastra. Selepas SMA, setelah mendapat pelatihan jurnalistik AMPI ia menjadi wartawan di harian Padang Ekspres dan sampai pada tingkatan Pimpinan redaksi di Padang Ekspres dan Pimpinan Redaksi di Padang Tv. Di balik kesibukan-kesibukan di dunia jurnalistik ia masih bisa berproses dalam kegiatan kesusastraan.
Esha Tegar Putra, Penyair dan penyuka buku tinggal di Padang.
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 19 Juli 2009
No comments:
Post a Comment