Oleh: Firdaus
Seorang lelaki, kira-kira 30-an tahun, membolak-balik koran. Tak lama, koran itu ditutup, lalu dibuka lagi, ditutup lagi. Begitu berulang. Dibolak-baliknya berulang, kemudian ditutupnya pula berulang. Tak ada tanda-tanda ia akan membacanya.
Dari sudut yang lain, seseorang memperhatikannya. Ia hendak menyapa, namun diurungkannya, sebab antara dirinya dengan lelaki 30-an tahun ia dibatasi lima penumpang lain. Terlalu riskan menyapanya dalam rentang jarak tersebut.
“Anda tampak gelisah. Ada sesuatu yang membuatmu resah?” lelaki yang memperhatikan dari kejauhan tadi, buka suara sembari mengangsur posisi duduknya, begitu sejumlah penumpang lain di sisi kiri lelaki 30-an tahun tersebut sudah turun satu persatu.
Tak ada jawaban. Lelaki yang memegang koran, seakan tak mendengar pertanyaan orang disebelahnya. Lantaran pertanyaannya tak terjawab, tanya yang sama diulang. Juga tak ada jawaban. Belum sempat tanya ketiga diajukan, lelaki yang memegang koran, meminta angkutan kota yang ditumpanginya berhenti.
“Kiri, Diak!” pintanya, lalu turun dan membayar ongkos.
Lelaki yang tadi menyapanya juga turun, dan kemudian membayar ongkos pula. Ia pun kemudian mengikuti langkah lelaki yang menggenggam koran. Lelaki yang menggenggam koran kemudian singgah disebuah café, yang tak jauh dari tempatnya turun angkutan kota. Kemudian memilih sebuah tempat duduk agak di sudut ruangan café.
Lelaki yang menyapanya tadi juga mengikuti langkah serupa, lalu mengambil posisi persis di meja yang sama dengan lelaki yang disapanya di angkutan kota, “maaf, saya numpang di sini,” pintanya menyapa sembari menarik kursi, dan kemudian duduk. Posisinya kini persis di depan lelaki yang memegang koran. Yang disapa tak menjawab, juga tidak menolak.
“Anda Karapai-kan?” tanyanya menyerobot.
Lelaki yang memegang koran terkejut, “Anda mengenal saya?” tanyanya basa-basi, seakan tak percaya.
“Lebih dari sekadar kenal,” sambungnya sembari membeberkan satu persatu perihal identitas lelaki di depannya. Karapai semakin terkejut.
Koran yang semula dibolak-baliknya, kini justru diletakkan di meja. Ditatapnya lelaki di depannya. Dicobanya untuk mencari tahu siapa gerangan. Lama ia terdiam, tapi tak juga ditemukan jawabannya.
“Saya yakin, Anda pasti kenal saya. Inilah hakikat orang yang lupa dasar,” kalimat lelaki itu menghujam di dada Karapai.
Lelaki itu melanjutkan, ini kali ketiga ia bicara langsung pada Karapai dalam lima empat tahun terakhir, ternyata Karapai masih lupa. Ketika dua kali pertemuan sebelumnya, lelaki itu sudah membeberkan identitasnya. Keduanya, sebenarnya teman kecil. Sama-sama pernah bermain di sawah, berlarian dari pematang ke pematang, pernah bermain perang-perangan, bermain samba lakon, serta sejumlah permainan semasa kecil.
Selepas SD, Karapai pindah. Ia ikut orang tuanya. Sejak itu mereka tak pernah jumpa, sampai kemudian mereka bertemu secara tak sengaja di pesta pernikahan, lalu di bus kota, dan kemudian di angkutan kota yang kemudian pindah ke café, saat ini.
“Maaf, saya memang tak kenal Anda,” aku Karapai, “Anda siapa? Lanjutnya.
Lelaki itu tersentak. Matanya terbelalak. Ia terlihat agak emosi. Dadanya turun naik, “Oke. Anda boleh tak kenal saya, tapi sampai kapan pun Anda masih berutang kepada orang tua saya, berapa banyak kaca rumah saya yang pecah olehmu…” ungkapnya.
Karapai terkejut, lalu terlihat sudut bibirnya mengambang, tiba-tiba ia teringat, ketika masih kanak-kanak, ia sering bermain bola dengan teman-teman sebayanya, namun dirinya termasuk tak bisa main walau punya tendangan yang keras, sehingga tendangannya sering melenceng dan mendarat di kaca rumah di sebelah lapangan, “hehehe… saya bukan orang yang lupa dasar, sekarang saya tahu. Maafkan saya, Dai!” balas Karapai sembari menjabat erat tangan lelaki di depannya yang tak lain adalah Badai.
Keduanya kemudian melepaskan kerinduan. Kerinduan yang sangat mendalam dari dua orang teman kecil yang sudah lama tak jumpa. Keduanya pun bercerita banyak, membentang kembali kisah masa lalu, mengingat satu persatu teman-teman mereka. Kehidupan telah memisahkan mereka semua, sebab masing-masing harus berjuang untuk kehidupan keluarganya.
Kehangatan pertemuan itu, kemudian menjadi serius ketika Badai mencari tahu kenapa saat di angkutan kota tadi, Karapai gelisah.
“Kenapa terlihat seperti orang gelisah?” tanya Badai.
Keceriaan pertemuan dua teman lama itu, mendadak berubah. Sejenak keduanya terdiam. Karapai menatap kosong, “saya kecewa, ada teman yang lupa saya dan kemudian mengaku tak kenal, padahal sebelumnya sama satu sekolahan,” ungkapnya, “kehidupan saya tak sesukses dia, sehingga mungkin dia berpikir saya akan menyusahkannya,”
Badai terkejut. Ops! Ia menatap pasti, Karapai telah melihat tunggau di seberang lautan.*
(Dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 16 Desember 2010)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Buku Karya Dosen Unand
Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...
-
Ketika hadir dan berbagi bekal menulis cerpen, di akhir Oktober 2019, awalnya asyik-asyik saja. Sebanyak 50 orang pelajar SMP 2 Sijunj...
-
Judul : Cincin Kelopak Mawar Penulis : Firdaus Abie Penerbit : ErKa Tahun Terbit : 2016 ...
-
Oleh: Firdaus Entah kenapa, pada momentum peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen karya A.A Navis (alm). Cerpen ...
No comments:
Post a Comment