Cerpen: Firdaus Abie
Badri tersenyum bangga. Kali ini ia yakin, usahanya tak akan sia-sia lagi. Dendam yang membakar ubun-ubunnya akan terbalaskan dengan cinta yang dirasakannya. Dalam dendam ada cinta.
Di kamar berdindingkan palupuah1, Badri baru saja mengenakan pakaian, setelah seluruhnya dilepas ketika mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuah tapian2. Prosesi selanjutnya, sembari mengingat gadis yang telah mempenjara hatinya, dibukanya bungkusan yang diberikan Mak Pado, dukun terkenal di nagari subarang3. Tempat orang mengadu untuk urusan cinta dan guna-guna.
Mak Pado sebenarnya bukan penduduk asli nagari subarang, tak ada yang tahu asal usulnya. Ia sudah ada di nagari itu sejak dibawa kakeknya. Gubuknya jauh di tengah hutan. Jarang ada yang datang ke gubuknya. Kalau pun ada, umumnya untuk urusan guna-guna. Itu pun biasanya dilakukan malam hari, secara sembunyi-sembunyi. Agar orang tak tahu.
Bagi masyarakat di nagari itu, sekali pun jauh dari keramaian, jauh dari kehidupan gemerlap, namun datang ke dukun adalah aib jika diketahui tetangga, apalagi diketahui orang senagari.
Badri tersenyum bangga. Kali ini ia yakin, usahanya tak akan sia-sia lagi. Dendam yang membakar ubun-ubunnya akan terbalaskan dengan cinta yang dirasakannya. Dalam dendam ada cinta.
Di kamar berdindingkan palupuah1, Badri baru saja mengenakan pakaian, setelah seluruhnya dilepas ketika mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuah tapian2. Prosesi selanjutnya, sembari mengingat gadis yang telah mempenjara hatinya, dibukanya bungkusan yang diberikan Mak Pado, dukun terkenal di nagari subarang3. Tempat orang mengadu untuk urusan cinta dan guna-guna.
Mak Pado sebenarnya bukan penduduk asli nagari subarang, tak ada yang tahu asal usulnya. Ia sudah ada di nagari itu sejak dibawa kakeknya. Gubuknya jauh di tengah hutan. Jarang ada yang datang ke gubuknya. Kalau pun ada, umumnya untuk urusan guna-guna. Itu pun biasanya dilakukan malam hari, secara sembunyi-sembunyi. Agar orang tak tahu.
Bagi masyarakat di nagari itu, sekali pun jauh dari keramaian, jauh dari kehidupan gemerlap, namun datang ke dukun adalah aib jika diketahui tetangga, apalagi diketahui orang senagari.
Pernah, ketika Badri masih kecil, ia menyaksikan orang terpandang di nagarinya diusir dari nagari itu. Padahal, selama ini, orang itu tempat mengadu masyarakat bila kesusahan, tempat bertanya masyarakat jika ingin tahu sesuatu. Tanpa disengaja ada yang melihatnya beberapa kali menemui kakek Mak Pado, dukun terkenal ketika itu. Sejak saat itu, orang terpandang itu dibenci dan diusir masyarakat.
Badri tak peduli. Bungkusan yang sudah dua pekan diterimanya dari Mak Pado dibukanya pekan kedua pada patang kamih malam jumaek4, itu pun setelah mandi rempah dengan bunga tujuh rupa dari tujuh tapian.
Dibukanya bungkusan itu. Perlahan. Sangat hati-hati sekali. Keingintahuan akan isi bungkusan berbalut kain paco5 hitam sudah mengebu sejak Badri menerimanya. Keingintahuan itu bercampur aduk dengan dendam yang membakar ubunnya atas penghianatan Rabiatun.
Sebenarnya, Rabiatun tidaklah terlalu istimewa. Biasa-biasa saja. Ia juga bukan bungo nagari6. Kecantikannya belumlah seberapa jika dibandingkan Syarifah, atau Marhamah. Apalagi jika dibandingkan dengan Fatimah, bungo nagari saat ini.
Meski sebelumnya sering berjumpa, tak ada perasaan apa pun dalam diri Badri. Namun ketika tak sengaja menangkap tubuh Rabiatun talanjang gegek6 di tapian, hasrat Badri pada Rabiatun makin menjadi-jadi. Sejak kejadian itu, Badri hafal betul jadwal Rabiatun ke tapian. Tahu detail lekuk dan ukuran tubuh Rabiatun.
Hanya saja, Badri telah mambungkuh tulang jo daun kaladi7. Tanpa pernah diduga, Ia tak sempat menjawab sepatah kata pun ketika Rabiatun menyapanya saat berpapasan jalan ketika secara tak sengaja bertemu sepulang dari ladang.
“Kok acok uda mancigok awak sadang mandi8?” tanyanya.
Belum sempat tanya terjawab, Badri makin terkejut dengan pertanyaan susulan Rabiatun, “Lai ado nan boneh, da9?”
Ketika tanya itu masih belum terjawab, Rabiatun berlalu. Badri terpaku dalam ketidakmengertian. Bingungnya bercampur malu. Rabiatun mengetahui kalau dirinya selama ini selalu diintip di tapian.
Tiga hari setelah kejadian itu, tanpa sengaja keduanya kembali bertemu.
“Alah tigo hari uda ndak ka tapian, kama se, da11?” tanya Rabiatun, ketika mereka bertemu saat ada baralek10 di rumah wali nagari11. Badri sedang menyiapkan kayu api di halaman belakang.
Pertanyaan itu tak saja mengejutkan Badri, tetapi hampir saja menjatuhkan kapak12 yang sedang digunakan Badri untuk membelah kayu api. Badri tak menjawab.
“Hanyo awak nan tau kalau uda salamo ko acok ka sinan. Tapi kama se uda tiga hari ko12?” tanya Rabiatun yang belum terjawab datang lagi.
Sejak saat itu, lama keduanya tak berjumpa. Badri mencoba mengubur peristiwa itu. Tapi, selama ini mencoba menguburnya, selama itu pula bayangan Rabiatun talanjang gegek menari-nari di hadapannya. Selama mencoba melupakan peristiwa buruk itu, selama itu pula kehadiran Rabiatun menemuinya saat membelah kayu api, kembali datang padanya.
Perlahan, ada rasa sesal, malu dan bersalah pada diri Badri. Ditemui Rabiatun ke rumahnya. Kata sesal dan janji tak mengulangi perlakuan buruk itu diucapkan. Badri meminta Rabiatun tak bicara pada siapa pun.
Badri takut, kalau Rabiatun menceritakan pada orang lain, bisa saja kelakuan buruknya sampai ke sidang nagari. Kalau itu terjadi, tentu saja Ia akan mendapatkan sanksi berat. Ini kejadian pertama dan terburuk yang pernah diketahuinya. Lebih buruk dibandingkan apa yang dilihatnya ketika kecil dulu.
Di rumahnya, Rabiatun menerima kehadiran Badri. Kata maaf Badri diterimanya. Rabiatun juga janji tak akan menceritakan kejadian itu pada siapa pun. Termasuk amak dan mamaknya13.
Sejak pertemuan di rumah Rabiatun, tanpa sengaja keduanya sering berjumpa. Di tampek baralek14, pulang dari surau15, di jalan menuju ladang. Sejak itu pula, keduanya semakin akrab. Sering bertemu. Lalu mengukir janji untuk bertemu, walau sembunyi-sembunyi. Mereka takut. Di nagarinya, jika ketahuan ada sepasang insan yang bukan muhrim berduaan, apalagi berpacaran, akan dikenakan sanksi adat. Adat di nagari mereka masih sangat kuat.
Berlahan ada gejolak di batin Badri. Angannya untuk mempersunting Rabiatun kian kuat. Ia tergila-gila pada gadis itu. Ketergilaannya tak lagi sebatas pemandangan yang pernah sering dilihatnya di tapian, tapi hasratnya semakin kuat pada gadis itu. Sehari saja tak jumpa, Badri akan membelah malam, melintasi semak belukar, walau sekadar lewat di depan rumah Rabiatun.
Gayung bersambut. Rabiatun menerima hati Badri. Keduanya mengakali hari agar tak seorang pun yang tahu. Pertemuan demi pertemuan diakali agar semuanya berjalan seperti apa adanya. Pertemuan di jalan ke ladang, di tampek baralek, pulang dari surau, menjadi pilihan utama.
Setelah merasa mantap, Badri menyatakan keinginannya untuk mengajak Rabiatun ke pelaminan, lalu meminta kepada Rabiatun agar keluarganya datang manapiak bandua16, lalu melamar ke dirinya. Senyum Rabiatun menjawab pinta Badri. Badri mengartikan senyuman itu sebagai kata sepakat.
Hanya saja, kesimpulan Badri keliru. Tiga hari setelah permintaannya pada Rabiatun, Ia menemukan seonggok siriah langkok17 di meja ruang tengah rumahnya.
“Mande, sia nan ka baralek ko18?” tanya Badri.
“Pak Udin ka baminantu. Si Rabiatun nan ka dilapehnyo. Lakinyo si Bidin. Pak Udin tadi ma undang waang bagai. Jan lupo, tolong baliau…19” jawab wanita tua yang dipanggil Mande oleh Badri. Mande terus menyulam.
Bagai disambar petir di siang bolong, dada Badri terbakar. Ada api bergejolak di ubun-ubunya. Api itu tak terpadamkan hujan. Matanya liar. Mencari sesuatu. Ada kapak, digenggam, ditimang-timang. Matanya masih liar. Ditinggalkannya kapak, lalu berlari ke luar. Menembus semak belukar. Melintas di depan rumah Rabiatun. Tak lagi berhenti. Tak lagi menoleh, walau sebentar, seperti biasa. Api terus bergejolak dari dada hingga membakar ubun-ubunnya. Badri terus berlari, menuju suatu tempat di nagari subarang.
“Alun talambek lai. Inyo pasti babaliak ka anak mudo20” jawab Mak Pado menenangkan Badri.
Kemayan pun dibakar. Badri duduk di depan Mak Pado. Matanya dipejamkan. Desahan mantera-mantera yang diucapkan Mak Pado tak bisa dipahaminya. Kalimat demi kalimat meluncur deras. Tak lama berselang, dari punggung hingga kepalanya terasa ada yang menggerayangi. Bau kemayan makin menusuk hidung.
Setelah diperintahkan buka mata, Badri tak menemukan Mak Pado di depannya. Tapi sudah berada di belakang. “Alun talambek lai. Inyo pasti babaliak ka anak mudo20” Mak Pado kembali meyakinkan Badri. Lalu diberikannya bungkusan berbalut kain paco hitam.
***
Bungkusan itu yang kini hendak dibuka Badri. Semua perintah Mak Pado sudah dijalaninya. Ia sudah mandi mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuh tapian. Itu artinya, begitu bungkusan itu dibuka, Ia akan menjalani prosesi terakhir dari seluruh perintah Mak Pado. Badri ingin Rabiatun kembali padanya.
Jantungnya berdebar. Dibukanya bungkusan itu. Ada sebuah cincin. Cincin besi putih. Tanpa pikir panjang, disorongkannya cincin besi putih itu ke jari manis tangan kanannya. Lalu matanya dipejamkan. Konsentrasinya melayang ke wajah Rabiatun. Disebutnya nama gadis itu. Pada panggilan ke tujuh, diusapnya lingkaran cincin, dua kali putaran.
Lalu dilafaskannya sejumlah mantera yang diajarkan Mak Pado. Sembari melafaskan mantera itu, diusapkan bagian atas cincin besi putih. Badri terus berkonsentrasi melafaskan mantera sembari mengusap cincin itu.
Badri merasakan, ada lima tonjolan dilingkar atas cincin tersebut. Setiap lingkar, disebutnya nama Rabiatun. Semua bayangan tentang Rabiatun diingatkan bersamaan mengucapkan mantera.
Ingatan dalam konsentrasinya menangkap tubuh Rabiatun yang talanjang gegek di tapian, manisnya senyum Rabiatun ketika mereka mengatur pertemuan di jalan, di tampek baralek, atau pulang dari surau. Sangat indah kenangan itu.
Satu persatu tonjolan lingkar atas cincin itu diusap Badri. Dalam konsentrasi agar Rabiatun segera kembali padanya, jantungnya berdebar. Setelah kelima tonjolan di lingkar atas cincin itu diusap sambil melafaskan mantera selesai, berlahan matanya dibuka. Pelan. Itu pesan Mak Pado.
Ketika matanya telah terbuka sempurna, debaran jantungnya makin kuat. Cincin besi putih itu terus ditatapnya. Tak berkedip. Keningnya berkerut, seakan mengingat sesuatu. Benarkah? Jantungnya kian berdetak kencang menatap cincin besi putih berkelopak mawar.
“Kapunduang..!21” makinya. Lalu cincin itu dicabut dari jari manisnya, kemudian dilemparkan keluar lewat jendela yang sejak tadi terbuka. Cincin serupa pernah diusapnya di jemari Rabiatun, ketika mereka merajut hati di balik rimbun hilalang.*
Kamis, jelang subuh. 16 Maret 2006
CATATAN; Cerpen ini ditetapkan sebagai pemenang II Sayembara Cerpen Tingkat Nasional yang diselenggarakan Deakyn Univercity Australia - UNP Padang, 2007. Kemudian judul cerpen ini dijadikan sebagai judul kumpulan cerpen karya Firdaus.
Badri tak peduli. Bungkusan yang sudah dua pekan diterimanya dari Mak Pado dibukanya pekan kedua pada patang kamih malam jumaek4, itu pun setelah mandi rempah dengan bunga tujuh rupa dari tujuh tapian.
Dibukanya bungkusan itu. Perlahan. Sangat hati-hati sekali. Keingintahuan akan isi bungkusan berbalut kain paco5 hitam sudah mengebu sejak Badri menerimanya. Keingintahuan itu bercampur aduk dengan dendam yang membakar ubunnya atas penghianatan Rabiatun.
Sebenarnya, Rabiatun tidaklah terlalu istimewa. Biasa-biasa saja. Ia juga bukan bungo nagari6. Kecantikannya belumlah seberapa jika dibandingkan Syarifah, atau Marhamah. Apalagi jika dibandingkan dengan Fatimah, bungo nagari saat ini.
Meski sebelumnya sering berjumpa, tak ada perasaan apa pun dalam diri Badri. Namun ketika tak sengaja menangkap tubuh Rabiatun talanjang gegek6 di tapian, hasrat Badri pada Rabiatun makin menjadi-jadi. Sejak kejadian itu, Badri hafal betul jadwal Rabiatun ke tapian. Tahu detail lekuk dan ukuran tubuh Rabiatun.
Hanya saja, Badri telah mambungkuh tulang jo daun kaladi7. Tanpa pernah diduga, Ia tak sempat menjawab sepatah kata pun ketika Rabiatun menyapanya saat berpapasan jalan ketika secara tak sengaja bertemu sepulang dari ladang.
“Kok acok uda mancigok awak sadang mandi8?” tanyanya.
Belum sempat tanya terjawab, Badri makin terkejut dengan pertanyaan susulan Rabiatun, “Lai ado nan boneh, da9?”
Ketika tanya itu masih belum terjawab, Rabiatun berlalu. Badri terpaku dalam ketidakmengertian. Bingungnya bercampur malu. Rabiatun mengetahui kalau dirinya selama ini selalu diintip di tapian.
Tiga hari setelah kejadian itu, tanpa sengaja keduanya kembali bertemu.
“Alah tigo hari uda ndak ka tapian, kama se, da11?” tanya Rabiatun, ketika mereka bertemu saat ada baralek10 di rumah wali nagari11. Badri sedang menyiapkan kayu api di halaman belakang.
Pertanyaan itu tak saja mengejutkan Badri, tetapi hampir saja menjatuhkan kapak12 yang sedang digunakan Badri untuk membelah kayu api. Badri tak menjawab.
“Hanyo awak nan tau kalau uda salamo ko acok ka sinan. Tapi kama se uda tiga hari ko12?” tanya Rabiatun yang belum terjawab datang lagi.
Sejak saat itu, lama keduanya tak berjumpa. Badri mencoba mengubur peristiwa itu. Tapi, selama ini mencoba menguburnya, selama itu pula bayangan Rabiatun talanjang gegek menari-nari di hadapannya. Selama mencoba melupakan peristiwa buruk itu, selama itu pula kehadiran Rabiatun menemuinya saat membelah kayu api, kembali datang padanya.
Perlahan, ada rasa sesal, malu dan bersalah pada diri Badri. Ditemui Rabiatun ke rumahnya. Kata sesal dan janji tak mengulangi perlakuan buruk itu diucapkan. Badri meminta Rabiatun tak bicara pada siapa pun.
Badri takut, kalau Rabiatun menceritakan pada orang lain, bisa saja kelakuan buruknya sampai ke sidang nagari. Kalau itu terjadi, tentu saja Ia akan mendapatkan sanksi berat. Ini kejadian pertama dan terburuk yang pernah diketahuinya. Lebih buruk dibandingkan apa yang dilihatnya ketika kecil dulu.
Di rumahnya, Rabiatun menerima kehadiran Badri. Kata maaf Badri diterimanya. Rabiatun juga janji tak akan menceritakan kejadian itu pada siapa pun. Termasuk amak dan mamaknya13.
Sejak pertemuan di rumah Rabiatun, tanpa sengaja keduanya sering berjumpa. Di tampek baralek14, pulang dari surau15, di jalan menuju ladang. Sejak itu pula, keduanya semakin akrab. Sering bertemu. Lalu mengukir janji untuk bertemu, walau sembunyi-sembunyi. Mereka takut. Di nagarinya, jika ketahuan ada sepasang insan yang bukan muhrim berduaan, apalagi berpacaran, akan dikenakan sanksi adat. Adat di nagari mereka masih sangat kuat.
Berlahan ada gejolak di batin Badri. Angannya untuk mempersunting Rabiatun kian kuat. Ia tergila-gila pada gadis itu. Ketergilaannya tak lagi sebatas pemandangan yang pernah sering dilihatnya di tapian, tapi hasratnya semakin kuat pada gadis itu. Sehari saja tak jumpa, Badri akan membelah malam, melintasi semak belukar, walau sekadar lewat di depan rumah Rabiatun.
Gayung bersambut. Rabiatun menerima hati Badri. Keduanya mengakali hari agar tak seorang pun yang tahu. Pertemuan demi pertemuan diakali agar semuanya berjalan seperti apa adanya. Pertemuan di jalan ke ladang, di tampek baralek, pulang dari surau, menjadi pilihan utama.
Setelah merasa mantap, Badri menyatakan keinginannya untuk mengajak Rabiatun ke pelaminan, lalu meminta kepada Rabiatun agar keluarganya datang manapiak bandua16, lalu melamar ke dirinya. Senyum Rabiatun menjawab pinta Badri. Badri mengartikan senyuman itu sebagai kata sepakat.
Hanya saja, kesimpulan Badri keliru. Tiga hari setelah permintaannya pada Rabiatun, Ia menemukan seonggok siriah langkok17 di meja ruang tengah rumahnya.
“Mande, sia nan ka baralek ko18?” tanya Badri.
“Pak Udin ka baminantu. Si Rabiatun nan ka dilapehnyo. Lakinyo si Bidin. Pak Udin tadi ma undang waang bagai. Jan lupo, tolong baliau…19” jawab wanita tua yang dipanggil Mande oleh Badri. Mande terus menyulam.
Bagai disambar petir di siang bolong, dada Badri terbakar. Ada api bergejolak di ubun-ubunya. Api itu tak terpadamkan hujan. Matanya liar. Mencari sesuatu. Ada kapak, digenggam, ditimang-timang. Matanya masih liar. Ditinggalkannya kapak, lalu berlari ke luar. Menembus semak belukar. Melintas di depan rumah Rabiatun. Tak lagi berhenti. Tak lagi menoleh, walau sebentar, seperti biasa. Api terus bergejolak dari dada hingga membakar ubun-ubunnya. Badri terus berlari, menuju suatu tempat di nagari subarang.
“Alun talambek lai. Inyo pasti babaliak ka anak mudo20” jawab Mak Pado menenangkan Badri.
Kemayan pun dibakar. Badri duduk di depan Mak Pado. Matanya dipejamkan. Desahan mantera-mantera yang diucapkan Mak Pado tak bisa dipahaminya. Kalimat demi kalimat meluncur deras. Tak lama berselang, dari punggung hingga kepalanya terasa ada yang menggerayangi. Bau kemayan makin menusuk hidung.
Setelah diperintahkan buka mata, Badri tak menemukan Mak Pado di depannya. Tapi sudah berada di belakang. “Alun talambek lai. Inyo pasti babaliak ka anak mudo20” Mak Pado kembali meyakinkan Badri. Lalu diberikannya bungkusan berbalut kain paco hitam.
***
Bungkusan itu yang kini hendak dibuka Badri. Semua perintah Mak Pado sudah dijalaninya. Ia sudah mandi mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuh tapian. Itu artinya, begitu bungkusan itu dibuka, Ia akan menjalani prosesi terakhir dari seluruh perintah Mak Pado. Badri ingin Rabiatun kembali padanya.
Jantungnya berdebar. Dibukanya bungkusan itu. Ada sebuah cincin. Cincin besi putih. Tanpa pikir panjang, disorongkannya cincin besi putih itu ke jari manis tangan kanannya. Lalu matanya dipejamkan. Konsentrasinya melayang ke wajah Rabiatun. Disebutnya nama gadis itu. Pada panggilan ke tujuh, diusapnya lingkaran cincin, dua kali putaran.
Lalu dilafaskannya sejumlah mantera yang diajarkan Mak Pado. Sembari melafaskan mantera itu, diusapkan bagian atas cincin besi putih. Badri terus berkonsentrasi melafaskan mantera sembari mengusap cincin itu.
Badri merasakan, ada lima tonjolan dilingkar atas cincin tersebut. Setiap lingkar, disebutnya nama Rabiatun. Semua bayangan tentang Rabiatun diingatkan bersamaan mengucapkan mantera.
Ingatan dalam konsentrasinya menangkap tubuh Rabiatun yang talanjang gegek di tapian, manisnya senyum Rabiatun ketika mereka mengatur pertemuan di jalan, di tampek baralek, atau pulang dari surau. Sangat indah kenangan itu.
Satu persatu tonjolan lingkar atas cincin itu diusap Badri. Dalam konsentrasi agar Rabiatun segera kembali padanya, jantungnya berdebar. Setelah kelima tonjolan di lingkar atas cincin itu diusap sambil melafaskan mantera selesai, berlahan matanya dibuka. Pelan. Itu pesan Mak Pado.
Ketika matanya telah terbuka sempurna, debaran jantungnya makin kuat. Cincin besi putih itu terus ditatapnya. Tak berkedip. Keningnya berkerut, seakan mengingat sesuatu. Benarkah? Jantungnya kian berdetak kencang menatap cincin besi putih berkelopak mawar.
“Kapunduang..!21” makinya. Lalu cincin itu dicabut dari jari manisnya, kemudian dilemparkan keluar lewat jendela yang sejak tadi terbuka. Cincin serupa pernah diusapnya di jemari Rabiatun, ketika mereka merajut hati di balik rimbun hilalang.*
Kamis, jelang subuh. 16 Maret 2006
CATATAN; Cerpen ini ditetapkan sebagai pemenang II Sayembara Cerpen Tingkat Nasional yang diselenggarakan Deakyn Univercity Australia - UNP Padang, 2007. Kemudian judul cerpen ini dijadikan sebagai judul kumpulan cerpen karya Firdaus.
No comments:
Post a Comment