11 January 2011

S A L U A N G

Cerpen: Firdaus Abie


    Piliang tersentak. Tak menduga. Setelah tiga hari tak bertemu gadih kamek ba-abuak sapinggang1 itu, semangatnya kembali menggebu melihat bayangan di balik gorden lusuah2 di rumah gadang3. Piliang yakin, bayangan selepas azan Magrib itu, pasti miliknya. Milik gadis yang selalu duduk menyulam dekat jendela ketika mendengar alunan saluang4 Piliang. Setiap malam, sejak dua pekan terakhir.
    Biasanya, pada waktu yang telah tercecer, Piliang tak menunggu lama kemunculan gadis manis berambut sepinggang itu. Piliang sudah hafal, biasanya, tak lama ia meniup saluangnya, gadis itu pasti membuka daun jendela, menyibak gorden, lalu duduk menyulam dekat jendela. Piliang menjaga malam dengan tiupan saluangnya nan sumbang dari pos jaga Medan Nan Bapaneh5, sementara gadis itu menemani dari rumah gadang di seberang jalan.
    Piliang menemukan gadis itu secara tak sengaja. Kalaulah gadis itu tidak menyapanya, dua pekan silam, ketika Piliang hendak ke pos jaga, mungkin Piliang tak pernah tahu kalau di rumah gadang itu ada gadis manis yang belum dikenalnya.
    ”Uda Membawa saluang?” tanya gadis itu, dari balik jendela rumah gadang.
 
Setelah Piliang tahu asal lembutnya sapaan, dijawabnya dengan anggukan dalam grogi.
    ”Saya suka desahan sansai6 saluang,”  sambungnya.
    Piliang terkesima. Kegrogian membawanya berlalu.
    Tapi malam ini, bulan sudah condong ke barat. Teman main Piliang sudah meninggalkan pos jaga. Pulang. Tapi Piliang tetap saja menjaga malam, menunggu kemunculan si gadis.
    Piliang terus menyimpan kerinduan. Rindu untuk mencuri pandang. Gadis itu telah membuai angannya. Piliang tak menghiraukan ejekan teman-temannya tentang tiupan saluang yang sumbang.
    Saluang itu baru sebulan ini di tangannya. Pemberian teman kuliahnya di kota. Sambil kuliah, temannya berjualan saluang di kaki lima, ikut tetangga. Piliang pernah mencoba. Lumayan untuk penambah lauk makan malam.
    Piliang pernah belajar saluang pada temannya, tetapi tak pernah bisa memainkan secara utuh. Pernah dicobanya mencari buku panduan tentang saluang, tapi tak pernah diperolehnya.
    Ia hanya memperoleh literatur instrumen musik yang sebangun dengan saluang. Materialnya sama-sama dari bambu. Sama-sama instrumen musik tiup. Sama-sama berlubang delapan. Piliang berpikir, yang membedakan, mungkin, hanya penyebutannya saja. Di tanah kelahiran Piliang, namanya saluang. Di tempat lain bernama seruling bambu.
    Seruling bambu yang sangat terkenal berasal dari Turki. Permainan instrumen musik ini selalu dihubungkan dengan kebaktian religius Tarekat Maulawi, tarekat yang dirujukkan kepada Maulana Jalaluddin Rumi. Musik dan tarian merupakan ciri khas dari tarekat yang kini berpusat di Turki. Dalam upacara religius mereka, seruling bambu merupakan alat musik utama.
    Rumi, mempergunakan seruling bambu sebagai simbol jiwa yang kosong dari keinginan sendiri dan dipenuhi oleh ruh Ilahi. Jiwa yang diberkahi ini, selama kehadirannya di dunia ini, teringat akan persatuan dengan Tuhan yang telah dinikmatinya di alam keabadian. Jiwa ini rindu akan pelepasan dari dunia ini. Di alam dunia, jiwa seperti orang asing dan terbuang.
    Seruling bambu, ketika ia telah terlepas dari rumpunnya, maka ia bisa menampilkan sebuah suara yang merdu. Ia bisa masuk ke hotel-hotel berbintang dan menjelajahi berbagai kota megah di seluruh dunia. Namun bila dikaitkan dengan rimbunnya, maka ia telah terlepas, telah mati.
    Seandainya disuruh memilih, mana yang lebih baik bagi seruling bambu, tetap berada dalam rimbunnya atau menjadi seruling bambu? Bagi Rumi, seruling akan memilih kembali ke rimbunnya. Di sanalah keberadaannya yang asli. Bunyi-bunyian indah yang keluar dari dirinya ketika menjadi seruling bambu tak lebih dari bunyi rintihan dan desahannya.
    Bagi Rumi, rintihan kepedihan seruling bambu dipergunakan sebagai alat untuk membangkitkan imagi bahwa manusia berada di dunia ini seperti keberadaan seruling bambu yang terlepas dari rimbunnya, merintih, menangis, dan rindu untuk kembali ke tempat aslinya.
    Ketika mendengarkan suara seruling bambu, manusia diingatkan bahwa ia telah lama terpisah dari Tuhannya. Mungkin ia sejahtera secara materi, mungkin ia mengalami kegemerlapan, namun semua itu tak ada artinya bila dibandingkan dengan kenikmatan bersama rimbunnya.
    Rintihan seruling bambu Rumi tentang alam keabadian ini agaknya bukan dilandaskan pada sebuah pemikiran yang rasional dan argumentatif. Bila kita berpikir dengan akal, seperti yang dikemukakan oleh seorang “Nabi” yang ber- nubuwwat tentang kematian Tuhan, Nietzsche, maka untuk apa berpikir tentang alam lain di luar alam ini. Bagi Nietzsche, kenikmatan hidup itu bukanlah ketika kita menyandarkan persoalan kita di dunia ini ke tempat lain yang jauh, tapi dengan merestuinya.
    Meski belum mampu memainkan saluang, Piliang tak patah arang. Dicobanya terus mengakrabi saluang berlubang delapan. Lubang pertama ditiup, aliran tiupan masuk ke buluh dan keluar dari lubang lain disela-sela jarinya. Walau yang keluar nada sumbang.
Di Nagari7 Mati Raso8, nagari di yang dipisahkan batang aia gadang9 dari kampung yang didiami Piliang, saluang bermakna lain. Cinta yang tak terbalaskan, hampir selalu diselesaikan dengan permainan saluang. Walau orang yang dituju tak tahu siapa yang memainkan, tak tahu dari mana datangnya suara saluang itu, namun orang yang dituju tetap mendengar sayup-sayup panggilannya, sedangkan orang didekat orang yang dituju tak mendengarkan apa pun.
    Jika itu sudah terjadi, orang yang dituju akan tergila-gila pada orang yang memanggil melalui saluang. Panggilan melalui saluang, konon diyakini masyarakat disampaikan melalui Si Bunian10.
    Hampir semua lelaki di Nagari Mati Raso memiliki kemampuan guna-guna melalui saluang. Namun, orang yang dituju melalui desahan saluang tak pernah menyadari kalau dirinya jatuh cinta setelah mendengar panggilan mendesah itu. Perempuan ada juga yang memiliki kemampuan, tetapi kehebatan permainan saluang untuk perempuan ada batasnya. Hanya sebelum akal baliq. Begitu darah kotor pertamanya tercurah, ketika itu juga kemampuannya hilang.
    Piliang pernah nekad menyeberangi sungai, menggunakan rakik batang pisang11 ke Nagari Mati Raso hendak belajar saluang. Ia berangkat ke sana karena sakit hati yang tiada terkira.
    Ketika itu, Piliang bertepuk sebelah tangan. Pendekatannya dengan selalu bersikap baik kepada seluruh orang kampung, membantu urusan-urusan Wali Nagari12, ternyata tetap saja tak mampu meluluhkan hati Ciwaik, anak Wali Nagari. Malahan Piliang pernah disemprot dengan kalimat yang sangat menyakitkan.
    “Bakaco dulu. Sia waang? Gaek ang se tukang panjek karambia!13” maki Ciwaik ketika itu.
    Kalimat kasar itu begitu menyentak sampai ke ubun-ubunnya. Dendamnya membakar dada. Dua bulan Piliang gelisah. Ketika kegelisahan itu tak bisa dikuburnya, Piliang teringat Nagari Mati Raso. Ia ingin memberi pelajaran pada keangkuhan.
    Semalam di Nagari Mati Raso, ketika hendak belajar pada Kirun, mendadak ayahnya datang. Belum sepatah kata pun ayahnya menyapa, Piliang menangis. Meraung. Minta ampun. Tanpa jawab, ayahnya keluar. Piliang mengekor. Lalu mengayuh rakik batang pisang. Kembali ke rumah.
    Ayah melarang Piliang membalas Ciwaik dengan dendam. Apalagi kalau bersekutu dengan kebatilan. Kata ayahnya, jika perlakuan buruk dibalas dengan cara buruk, hasilnya akan lebih buruk. Menang jadi abu, kalah jadi arang. Kalau perlakuan buruk orang dibalas dengan cara yang baik, maka, ia akan sadar sendiri.
    Piliang terus mencoba mengubur cacian itu. Setelah menyelesaikan SMA di kecamatan, Ia melanjutkan ke perguruan tinggi di kota. Ia ingin pulang untuk membangun nagari, sekaligus membuktikan kalau Ciwaik salah menghinanya.
    Malam makin kelam. Bulan yang jatuh di barat, sudah tertutup awan. Piliang terus memainkan desahan sumbang saluangnya. Pandangan Piliang lengket di jendela ketika ada bunyi menimpali desahan saluang. Jendela terkuak. Gadis itu muncul di baliknya, tersenyum. Piliang menangkap senyum itu. Tatapan itu hanya sekejap. Gadis itu hilang di balik daun jendela yang kembali ditutup. Tidak seperti biasa.
    Ketika tanya hatinya belum terjawab, dada Piliang berdetak kencang. Diusap matanya berulang kali, lalu digigit bibirnya. Piliang tidak sedang bermimpi. Sosok yang baru ditatapnya di balik jendela, berjalan dikegelapan malam. Menuju ke arahnya. Digigit lagi bibirnya. Sakit! Piliang tidak sedang bermimpi.
    Piliang cemas. Langkah gadis itu menuju ke arahnya. Ia tak berharap gadis itu menemuinya. Tatapan di balik jendela rumah gadang saja sudah cukup baginya untuk menatap kecantikan si gadis. Berpantang bagi anak gadis di kampungnya keluar selepas Isya, apalagi sudah larut malam begini. Akan lebih gawat lagi kalau ada yang memergoki mereka berdua di pos jaga yang hanya bercahaya rembulan. Jantung Piliang makin berdetak kencang.
    Piliang berharap tak ada yang memergoki, lalu melaporkan ke Mak Kari. Kalau itu terjadi, ia merasa tamatlah riwayatnya. Mak Kari merupakan tokoh adat dan agama di nagarinya. Sangat disegani. Tak ada yang pernah menjawab kata-katanya.
    Mak Kari masih sedarah dengan orang tua Ciwaik, sedangkan gadis yang sudah membuai angan Piliang adalah teman anak Mak Kari. Gadis itu sudah dua pekan di rumah Mak Kari.
    “Saluang Uda memanggil saya,” ungkap gadis berambut sepinggang itu ketika berdiri di depan Piliang. Piliang ternganga. Tak menduga.
    Dalam keterngangaan, saluang Piliang berpindah tangan. Gadis berambut sepinggang itu mendekatkan ujung saluang ke bibirnya nan tipis basah. Delapan jarinya menutup lubang-lubang saluang.
    Seketika itu pula mengalun desahan saluang nan membuai lamunan. Dalam lamunan, mendadak Piliang tersentak. Di jari manis tangan kanan yang menutupi lubang ke tiga dari atas, terlihat jelas cincin besi putih berhias empat kelopak mawar. Sebenarnya berkelopak lima, tapi satu terlihat kosong.
    Ada kegelisahan. Piliang gelisah. Piliang teringat kejadian setahun silam, ketika dirinya menerima cincin besi putih berhias empat kelopak mawar dari mamanya Maya. Maya tak hanya sahabatnya di bangku kuliah, tetapi juga anak ibu kosnya.
Cincin besi putih berhias empat kelopak mawar itu diberikan kepada Piliang, tiga hari setelah Maya meninggal dunia. Sepeda motornya disempret truk. Maya terseret jauh di aspal. Meninggal di rumah sakit.
    Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Maya berpesan agar cincin besi putihnya kembalikan kepada Piliang. Cincin itu hadiah dari Piliang, ketika Maya berulang tahun, dua bulan sebelumnya. Maya sangat senang dengan cincin itu. Baginya, cincin itu perlambang ketulusan persahabatan mereka.
    Sejak dikembalikannya cincin itu, Piliang menjaganya sangat telaten. Selalu disimpan di tempat terbaik di lemari pakaiannya. Piliang menerawang. Tak yakin kalau cincin itu tercecer. Tapi, kenapa ada pada gadis ini?
    Dalam desahan sansai saluang yang sempurna, Piliang makin ternganga!

                                #Bukittinggi, 11 Januari. Padang,  3, 6, 7  Maret 2006






CATATAN: * Cerpen ini dimuat Majalah Femina, edisi 1-7 Maret 2007, dan kemudian dimuat dalam buku kumpulan cerpen CINCIN KELOPAK MAWAR, yang diterbitkan Pustaka Kemang Aksara-Jakarta.

(semua yang bercetak miring berasal dari Bahasa Minang)
1) Gadih kamek ba-abuak sapinggang = Gadis manis berambut sepinggang
2) Lusuah = Kusam
3) Rumah Gadang = Sebutan untuk rumah adat orang Minangkabau
4) Saluang = Seruling bambu
5) Medan Nan Bapeneh = Arena terbuka untuk tempat permainan anak muda di Minang
     6) Uda = Panggilan untuk laki-laki yang lebih besar, seperti abang
7) Sansai = Pilu, menghiba
8) Nagari = Wilayah adat di Minangkabau
9) Mati Raso = Tak ada lagi kepedulian dan tenggang rasa
10) Batang Aia Gadang = Sungai yang sangat besar
11) Si Bunian = Diyakini masyakat Minang sebagai makhluk halus yang sangat jahat
12) Rakik Batang Pisang = Alat untuk menyeberang, sejenis sampai yang terbuat dari batang pisang
13) Bakaco dulu. Sia waang? Apak ang se tukang panjek karambia! = Silakan berkaca dulu. Kamu ini siapa? Ayah kamu saja hanya menerima upah memanjat kelapa!

2 comments:

Anonymous said...

karya yg bgs pak !!

Free the Muslim said...

Saya mahu belajar lagu saluang

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...