05 January 2011

B I O L A

Cerpen: Firdaus Abie

Kali pertama mendengar gesekan biola di tempat kosnya, dari sebuah rumah di seberang jalan, sebelah kiri rumah kos yang baru ditempatinya, terlihat jelas seorang lelaki tua sedang menggesek biola di langkan. Gesekan biola yang terdengar sayup-sayup itu membuat Farhan melayang. Terbang jauh ke kampung halamannya: sebuah desa kecil di pinggang pegunungan.
Di kampungnya itu, dulu a sering mendengarkan gesekan biola. Sedari kecil, Ia begitu akrab dengan gesekan biola. Ibunya juga. Bapak juga. Kakak dan adiknya, juga akrab dengan gesekan biola. Orang kampungnya pun.
  Di kampung kecilnya, tak ada hiburan, selain permainan biola setiap bulan tarang . Wali Jorong yang memainkannya. Sekali pun kepandaian Wali Jorong tak sehebat kemampuan kakeknya, tapi sudah cukup bagi orang-orang kampung untuk mendengarnya sebagai hiburan pengantar malam.
  Kepandaian Wali Jorong merupakan warisan dari kakeknya. Kakek Wali Jorong memperoleh kepandaian memainkan alat musik gesek itu dari ayahnya. Konon, ayah dari kakek Wali Jorong memperoleh kemampuan bermain biola dari Rio Van Beck, seorang opsir Belanda.
 
Rio Van Beck masuk ke Jorong Rumbio sejak membelot dari kesatuannya. Sejak meninggalkan markas kompeni di kota, Rio lari masuk kampung keluar kampung, takut kalau-kalau ditangkapi opsir lain.
Sejak menetap di Jorong Rumbio, Rio Van Beck tak pernah meninggalkan kampung itu. Disamping menyukai suasana lingkungan, Rio yakin kompeni tak akan sampai ke kampung itu.
  Sejak menetap di sana, Rio Van Beck yang terlahir dari ibunya berkebangsaan Spanyol dan ayahnya asli Belanda, berbagi ilmu dengan orang-orang kampung. Apa yang dimilikinya diberikan kepada orang kampung. Mengalir lancar, seperti aliran anak sungai. Sama halnya dengan makna namanya, Rio, yang berarti sungai.
   Ia mengajarkan ilmu hitung dan membaca serta bermain biola secara ikhlas. Dari belasan orang yang belajar, hanya ayah dari kakek Wali Jorong yang bisa memainkan alat musik itu secara benar.
  Cerita ayah dari kakek Wali Jorong yang kemudian pernah disampaikan Wali Jorong kepada Farhan, bahwa Rio Van Beck mendapatkan kepandaian bermain biola ketika memperoleh tugas belajar ke Norwegia, sebelum menjadi prajurit dan ditugaskan di kota yang hanya bisa ditempuh lima hari perjalanan dari kampung Farhan.
  Masih cerita dari Rio Van Beck yang disampaikan kepada ayah dari kakek Wali Jorong, kemudian cerita itu sampai ke Wali Jorong dan seterusnya sampai ke Farhan, konon di Norwegia, permainan instrumen biola dianggap sebagai musik nasional di negeri itu. Apalagi kalau yang dimainkan itu adalah biola Hardanger yang memiliki empat atau lima dawai. Desain biola ini berbeda dibandingkan biola-biola mana pun.
  Penggunaan dawai berdengung dalam tradisi biola Hardanger, digabungkan dengan berbagai jenis bunyi-bunyian memberikan harmoni nada yang kaya. Hal ini, ceritanya,  telah menjadi inspirasi bagi beberapa komposer Norwegia, termasuk Edvard Grieg yang terkenal.
  Meski demikian, biola bukan satu-satunya instumen tradisional masyarakat setempat, masih ada yang lain. Ada terompet kayu yang disebut juga dengan lur. Ada sitar Norwegia, lebih populer dengan sebutan langeleik. Ada juga harpa Jew, atau lebih dikenal dengan  munnharpe, berbagai jenis flute. Termasuk terompet ram yang beken dengan sebutan bukkehorn.
Dari instrumen itu banyak ciptakan karya-karya. Kini karya itu sudah berusia sangat tua. Ada di antara karya itu yang diciptakan pada tahun 1800-an.
Farhan merasa senang, karena pengetahuannnya tentang musik itu. Untuk orang sepertinya, sangat menyenangkan.

*
 
  Farhan terkejut. Kopi yang hendak diseduhnya, hampir saja tumpah. Sayup-sayup terdengar lagi bunyi gesekan biola. Padahal sudah dua hari belakangan, irama gesekan itu tak terdengar.
  Kali ini, Ia merasakan berada dalam dekapan ibunya. Musik dari gesekan kali ini, benar-benar akrab di telinganya. Ketika pertama kali memainkan, delapan tahun lalu, Wali Jorong sempat menyebutkan yang dimainkannya tersebut berjudul Biola Jiwaku, ciptaan Mochtar Embut.
  Farhan memang tak mengenal Mochtar Embut, tapi karya yang dihasilkannya terasa menerobos hatinya. Saking akrabnya dengan mendengarkan permainan biola, Farhan sempat berangan-angan kalau musik itu mewakili kedekatan dirinya dengan biola. Hanya saja, Farhan tetaplah Farhan. Hanya seorang penikmat, tak bisa memainkan.
  Dalam keterkejutannya itu, tiba-tiba pikirannya melayang mengikuti irama gesekan biola yang berasal dari rumah berpagar pink, dari sebuah rumah di seberang jalan arah kiri tempat kosnya. Ia membayangkan kalau yang memainkan biola itu adalah dirinya yang sedang berada di sebuah panggung.  Di depannya ribuan orang hadir. Lalu memberikan aplaus.
  Ia pun membayangkan kalau dirinya sehebat Idris Sardi, atau mungkin sehebat Ismail Marzuki. Atau sama dengan Helmut Zacharias menjadi violis hebat, lalu memainkan lagu-lagu yang sangat dikenal, di antaranya Come Prima (ciptaan Paolo Taccani), Jalousie (Jacob Gade), juga Czardas (Monti). Farhan membayangkan, Ia akan disanjung dan dipuja sepanjang masa.
  Lamunannya dibuyarkan ketika melihat sosok manis keluar dari rumah tempat arah bunyi gesekan biola itu. Farhan sudah menduga, gadis itu pasti akan menutup pagar. Begitu biasanya.
  Setiap lelaki tua itu memainkan biola, maka gadis yang biasa menggeraikan rambutnya hingga sepinggul itu pasti akan menutup pagar, lalu membiarkan pintu yang menghubungkan serambi dengan langkannya terbuka. Lelaki tua itu memainkan biola di langkan serambi. Begitu biasanya.
  Ketika gadis itu hendak menarik pagar, seakan ada magnet yang menarik Farhan. Ditinggalkan cangkir yang masih menyisakan dua tiga teguk kopi, lalu menuju ke rumah arah gadis itu. "Tunggu!" teriaknya dari kejauhan.
  Gadis itu menoleh. Langkahnya terhenti. Melihat gadis itu berhenti, Farhan mengurangi langkahnya. Ia berjalan santai. Ia berniat untuk hendak menyampaikan sesuatu, sesuatu yang sudah dipendamnya sejak mendengarkan gesekan biola setiap pagi dan petang dari lelaki tua itu. Pun sesuatu itu muncul sejak itu melihat gadis itu, kemudian memperhatikan dari kejauhan.
  Dalam pikirannya, sekali merangkuh dayung maka dua tiga pulau akan terlampaui. Artinya, ini akan menjadi berkah yang luar biasa dalam hidupnya. Jika selama ini hanya sekedar penikmat permainan biola, maka, jika belajar dari lelaki tua itu tentu akan memberikan nilai tambah baginya bila kembali ke kampung. Setidaknya, minimal ia akan menemani Wali Jorong, atau mungkin malah akan menggantikan Wali Jorong.
  Jika terus berlatih dengan lelaki tua itu, tentu akan ada alasan baginya untuk sering ke rumah di seberang kosnya. Jika sering ke rumah itu, tentu akan bisa mengenal lebih jauh gadis berambut sepinggul itu.
  "Ada apa?" tanya gadis berambut sepinggul itu ketika Farhan berada persis di depannya. Tangannya hendak menutup pagar. Farhan tak kalah sigap, pagar didorongnya. Terbuka.
  "Ada apa," ulangnya.
  “Saya mau belajar biola," sahut Farhan.
  “Bapak bukan instruktur,” jawabnya acuh.
  “Ia pasti bisa..” Farhan balas menjawab.
  “Tak bisa..”
  “Kenapa tidak? Bapakmu pasti bisa. Beliau pasti mau..”
  “Belajar saja sama yang lain..”
  Farhan berupaya untuk terus mendesak masuk. "Jangan! Nanti bapak terganggu," tolaknya sembari menghalangi langkah Farhan dengan tubuhnya. Farhan menikmati keharuman tubuh gadis itu. Farhan terus melangkah masuk.
Gadis manis itu terus berupaya menghalangi. "Saya mohon, jangan masuk. Jangan dekati bapak. Ia sedang menikmati keindahan irama dawainya. Nanti beliau terganggu," ulangnya memohon.
  Farhan tak mempedulikan. Ia melangkah ke arah teras di serambi rumah induk. Ia melangkah dengan langkah yang digagah-gagahkannya. Tapi, seketika, langkah itu terhenti disaat sebuah tangan menarik bahunya.
  "Jika Anda tak keluar, kayu ini akan bicara. Sekarang, keluar! Keluar!" teriak gadis berambut sepinggul. Dadanya turun naik, sehingga terlihat makin membusung.
  Tak menduga serangan itu, nyali Farhan pun ciut. Kena mentalnya. Belum sempat Ia memberikan reaksi, gadis berambut sepinggul itu kembali berteriak mengusirnya. "Saya hitung sampai tiga, jika tak juga keluar, saya akan berteriak minta tolong," ancamnya sembari memulai hitungan.
  Ketika sampai pada hitungan ke dua, Farhan sudah berada di luar pagar. "Awas kalau berani lagi ke sini!" gadis itu mengulangi ancamannya sambil bergegas mengunci pagar.

*

  Penantian Farhan pun sampai. Ia sudah di pekarangan rumah lelaki tua penggesek biola itu. Hanya berjarak lima enam langkah saja. Ia melangkah mengendap-endap, bagai prajurit mengepung persembunyian musuh. Ia sampai di pekarangan setelah memanjat pagar. Gadis manis berambut sepinggul tak ada di pekarangan. Juga tak ada di langkan serambi, tempat yang selalu dipakai lelaki penggesek biola.
  Keberanian yang diseretnya ke pekarangan berumput mayang itu bagian dari kepenasaranannya. Penasaran kepada lelaki tua penggesek biola, kepada ekspresi wajahnya kala memainkan lagi. Farhan tak menerima sikap egois lelaki penggesek biola itu, jika kehadirannya dinilai mengganggu. Farhan tak menerima sikap egois gadis manis berambut sepinggul itu, yang melarang belajar menggesek biola di rumahnya.
  Sejak diusir, Farhan pernah beberapa kali mencoba kembali. Selama itu pula niatnya diurungkan begitu melihat gadis manis berambut sepinggul yang senantiasa menemani lelaki tua penggesek biola. Malahan, awal bulan lalu, nyaris ketahuan jika tak segera sembunyi di balik bonsai. Takut ketahuan, Farhan membatalkan niatnya kala itu.
  Farhan terus melangkah. Setapak dua tapak dijejalinya pekarangan yang ditumbuhi rumput mayang. Dalam pelangkahan, batinnya kian bergejolak. Ada rasa bercampur aduk dalam dirinya. Takut ketahuan gadis manis berambut sepinggul.
  Setapak dua tapak, langkah-langkah yang dibalut kecemasan. Langkah cemas yang optimis. Makin dekat pada lelaki tua penggesek biola itu,  jantung Farhan berdetak tak menentu. Ada rasa lain. Ada kegalauan. Ada keraguan. Ada kekuatiran. Ada ketakpercayaan. Bercampur aduk. 
 Menatap ke lelaki tua penggesek biola itu, diucapkannya salam. Tak ada jawaban. Lelaki itu asyik dengan iramanya sendiri. Diulangnya salam. Juga tak ada jawaban.
  Salam ke tiga tersekat. Tersangkut di kerongkongan. Gaya serius lelaki tua itu memainkan gesekan tak berubah. Lelaki itu tetap menggesek biola dengan konsentrasi penuh dan ekspresinya pun penuh penghayatan. Lelaki itu tetap menggesek biola tanpa menghiraukan kehadiran Farhan yang melongo. Farhan bingung. Tak bersuara, juga tak beraksi apa-apa. Lelaki itu membangunkan urat-urat darahnya. Ada yang aneh dari gesekan itu. Keanehan itu pula yang menyeret kebingungan Farhan. Biola yang digesek lelaki itu tak bersenar. Sebuah mini compo di meja, di depan lelaki itu. Belum hilang kagetnya, ada tarikan langkah mendekat. Ketika menoleh ke belakang, gadis manis berambut sepinggul mengacung-acungkan sapu melangkah ke arahnya.
Farhan menarik nafas berat: mati aku!
• Padang. 15, 18 Desember 2005

 ) Bulan tarang (istilah keseharian di Minangkabau) = bulan purnama


CATATAN: Cerpen ini pernah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres dan Riau Pos, kemudian dihimpun dalam buku kumpulan cerpen CINCIN KELOPAK MAWAR.

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...