Suatu ketika, tanpa disadari, tiba-tiba sebuah peristiwa tak terduga terjadi. Kendaraan yang dikemudikan seorang teman, bersenggolan dengan kendaraan lain yang datang dari arah berlawanan.
“Kendaraan itu mengambil jalan dari jalur yang harus saya lewati,” katanya.
Akibatnya dapat ditebak, kendaraan teman saya tersebut tergolong lebih parah dari kendaraan yang menabraknya.
Sang teman mengaku, sempat lama terpaku. Ia membayangkan, sejumlah rencana yang disusunnya dalam satu dua hari ke depan akan berantakan akibat tabrakan tersebut. Penyelesaian kendaraan harus segera ditanggani, sementara ia sedang berada di negeri orang.
Kehadirannya mengemudikan kendaraan sendiri di negeri orang tersebut karena sebuah urusan penting. Waktunya pun sangat singkat. Secara manusiawi, tentu saja ia harus lebih memprioritaskan penyelesaian masalah di jalan tersebut. Ketika masalah itu harus diselesaikannya, pada waktu yang bersamaan ia pun harus menuntaskan agenda yang sudah ada sebelumnya, tak mungkin bisa ditinggalkan.
Masalah ternyata tak selesai dengan pengemudi yang menyenggol kendaraannya, “saya juga harus terburu-buru, Pak,” katanya enteng.
Belum sempat sang teman menjawab, pengemudi itu pun kemudian menawarkan untuk bertemu pemilik kendaraan. Pertemuan kemudian diatur di sebuah kedai yang tak jauh dari lokasi kejadian, dan kendaraan sudah diparkir di depan kedai tersebut. Tak ada polisi.
Ketika si pemilik kendaraan datang, ia langsung melihat kondisi kendaraan sang teman, baru kemudian kendaraannya. Tak lama berselang, sang teman dan pemilik kendaraan yang menabraknya pun duduk “semeja” di kedai.
Tak lebih dari lima menit, belum datang minuman yang dipesan, ternyata keduanya kembali berjabat tangan. Tak tampak persitengangan antara keduanya. Suasananya sangat happy, berbeda jika dibandingkan suasana pasca-tabrakan sesungguhnya. Keduanya menemukan jalan keluar tanpa keributan, tanpa bersitegang urat leher.
Setelah jalan keluarnya deal, keduanya pun larut dalam percakapan serius, seputar diri masing-masing. Tak lama berselang, keduanya pun terkaget. Ada “pertemuan” yang tak disengaja dari dua orang yang tidak saling kenal, ternyata masih memiliki pertalian secara tidak langsung.
Dari cerita diri masing-masing, ternyata anak keduanya satu kelas di sekolah yang sama, satu angkatan di bawah sang teman di kampus, kakak si pemilik kendaraan ternyata teman akrab dari sang teman.
Ketika benang merah “hubungan” itu terbentang, kedua pun kemudian berangkulan, ternyata kedua mampu melewati masa genting, menyelesaikan masalah rumit yang dihadapi dengan cara dingin, tanpa menghadirkan masalah baru.
Apa jadinya jika keduanya sudah bersitengang urat leher, dan kemudian memunculkan masalah baru, tiba-tiba tahu punya benang merah terhadap hubungan yang ada?
Hm….?*
Catatan: Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu 1 Agustus 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Buku Karya Dosen Unand
Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...
-
Ketika hadir dan berbagi bekal menulis cerpen, di akhir Oktober 2019, awalnya asyik-asyik saja. Sebanyak 50 orang pelajar SMP 2 Sijunj...
-
Judul : Cincin Kelopak Mawar Penulis : Firdaus Abie Penerbit : ErKa Tahun Terbit : 2016 ...
-
Oleh: Firdaus Entah kenapa, pada momentum peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen karya A.A Navis (alm). Cerpen ...
No comments:
Post a Comment