Ketika
hadir dan berbagi bekal menulis cerpen, di akhir Oktober 2019, awalnya
asyik-asyik saja. Sebanyak 50 orang pelajar SMP 2 Sijunjung mengikuti proses
secara baik hingga sebuah peristiwa terjadi.
Seorang di antaranya terdengar bersuara lantang, berteriak dari dalam kelas. Semua terkejut, termasuk saya yang duduk di depan. Spontan saja saya tergerak untuk melihat ke arah suara. Terdengar suara sedikit gaduh.
Seorang di antaranya terdengar bersuara lantang, berteriak dari dalam kelas. Semua terkejut, termasuk saya yang duduk di depan. Spontan saja saya tergerak untuk melihat ke arah suara. Terdengar suara sedikit gaduh.
"Siapa
yang berteriak?" tanyaku.
Tanpa
ditanya dua kali, seorang anak berpostur mungil, mengangkat tangan, "saya,
pak!" jawabnya.
Saya tersenyum, lalu meminta dia maju ke depan. Saya mempersilakan dia duduk di samping saya.
"Maaf, wak pak," katanya sebelum saya sempat bertanya, "awak diagonyo dari lua dek paja tu," sambungnya lagi.
Saya tersenyum, lalu meminta dia maju ke depan. Saya mempersilakan dia duduk di samping saya.
"Maaf, wak pak," katanya sebelum saya sempat bertanya, "awak diagonyo dari lua dek paja tu," sambungnya lagi.
"Baa
kol diagonyo awak?" tanya saya.
"Ndak
tau wak doh, pak. Dikiro e wak takuik mah,"
"Sabananyo?"
"Indak doh, pak. Surang-surang takao juo dek awak mah," jawabnya. Jujur.
"Indak doh, pak. Surang-surang takao juo dek awak mah," jawabnya. Jujur.
Saya
tersenyum, lalu saya mengingatkan dia, tak ada gunanya berkelahi.
Saya pun kemudian mengalihkan pembicaraan. Saya menanyakan tugasnya. Ia saya minta untuk mengambil kertas dan alat tulisnya. Ia bergerak ke meja di sayap kiri tempat kami duduk. Tak lama berselang ia kembali dengan kertas folio yang dibagikan panitia.
"Belum menulis?" tanya saya.
Saya pun kemudian mengalihkan pembicaraan. Saya menanyakan tugasnya. Ia saya minta untuk mengambil kertas dan alat tulisnya. Ia bergerak ke meja di sayap kiri tempat kami duduk. Tak lama berselang ia kembali dengan kertas folio yang dibagikan panitia.
"Belum menulis?" tanya saya.
"Itulah
masalahnya, pak. Indak padok dek awak manulih ko. Puisi nan singkek se indak
takao dek awak, apo lai kok cerpen dua halaman ko,' katanya.
Ia
mengatakan, menulis itu susah. Bikin bingung dan pusing. Terlalu banyak yang
harus dilakukan.
"Tu apo nan katuju dek awak?" tanya saya.
"Tu apo nan katuju dek awak?" tanya saya.
"Baranang,
pak!" katanya menyambut.
"Lai
santiang wak baranang?"
"Wak
cubolah, pak" katanya seakan menantang.
Hopp!
Saya terkejut. Ia menantang saya berenang. Apa yang harus saya jawab? Hingga
detik ini, jika bicara renang, saya hanya bisa bakacimpua dan renang gaya batu
saja.
"Sejak kapan suka renang? Pernah lomba? Pernah juara?" tanya saya beruntun.
Pancingan saya mengena. Ia bicara panjang lebar. Kisahnya, saat umur tiga tahun, ia pernah tenggelam di kolam renang. Diusia lima tahun, ia diajar berenang oleh ayahnya. Kelas 5 SD, ikut lomba.
"Sejak kapan suka renang? Pernah lomba? Pernah juara?" tanya saya beruntun.
Pancingan saya mengena. Ia bicara panjang lebar. Kisahnya, saat umur tiga tahun, ia pernah tenggelam di kolam renang. Diusia lima tahun, ia diajar berenang oleh ayahnya. Kelas 5 SD, ikut lomba.
Ia
semangat bicara soal renang. Ada optimistis dari kisahnya. Matanya
berbinar-binar. Lancar sekali ia bercerita. Saya menyimak secara seksama. Ada
sekitar 10 hingga 15 menit ia mengisahkan.
Ketika ia berhenti bercerita, saya menanyakan apakah kisahnya sudah selesai? Ia mengangguk. Lalu saya memberikan "kejutan" kepadanya, "ulang lagi dong kisah tadi," pinta saya.
Ia terkejut, "palawak apak mah, kan baru wak caritoan mah," katanya bingung.
Saya balas dengan senyum. Kapadanya saya katakan, mohon diceritakan kembali seperti awal tadi, tapi tidak diceritakan secara lisan. Ceritakan dengan ditulis. Saya katakan padanya, kalau diceritakan lisan, nanti saya lupa kisahnya. Tuliskan saja agak sedikit, kata saya.
Kini ia tersenyum, "nan wak kecek an tadi ditulih baliak, pak?" tanyanya. Saya mengangguk. Ia kembali tersenyum kemudian langsung menggerakkan pena di atas kertasnya. Sekali-sekali ia memperhatikanku.
Ketika ia berhenti bercerita, saya menanyakan apakah kisahnya sudah selesai? Ia mengangguk. Lalu saya memberikan "kejutan" kepadanya, "ulang lagi dong kisah tadi," pinta saya.
Ia terkejut, "palawak apak mah, kan baru wak caritoan mah," katanya bingung.
Saya balas dengan senyum. Kapadanya saya katakan, mohon diceritakan kembali seperti awal tadi, tapi tidak diceritakan secara lisan. Ceritakan dengan ditulis. Saya katakan padanya, kalau diceritakan lisan, nanti saya lupa kisahnya. Tuliskan saja agak sedikit, kata saya.
Kini ia tersenyum, "nan wak kecek an tadi ditulih baliak, pak?" tanyanya. Saya mengangguk. Ia kembali tersenyum kemudian langsung menggerakkan pena di atas kertasnya. Sekali-sekali ia memperhatikanku.
Ketika
ia memulai menulis tersebut, saya meninggalkannya sembari memintanya
menggunakan Aku dalam tulisannya.
Ketika
semua selesai, saya mengambil naskahnya, lalu meminta dia untuk membacakan. Ia
mulanya menolak, tapi saya "paksa" dia tampil. Akhirnya ia membacakan
naskahnya. Selesai ia membacakan, semuanya memberikan tepuk tangan meriah,
malahan salah seorang guru bahasa Indonesia yang mendampingi di kelas tersebut
memberikan tepuk tangan sambil berdiri.
"Rancak cerpennyo, pak" kata beberapa orang pelajar.
"Rancak cerpennyo, pak" kata beberapa orang pelajar.
"Bagus.
Bagus," kata guru bahasa Indonesia tersebut sambil mengusap kepala anak
tersebut, "kata siapa kamu tak bisa buat cerpen?" tanya guru
tersebut.
"Benar,
buk. Wak indak bisa buek cerpen doh," katanya.
"Nan
wak tulih ko lah masuak kategori cerpen mah," kata beliau.
Ia
terlihat sedikit bingung.
"Iyo
cerpen nan wak tulih ko, pak?" tanyanya bingung.
Saya
tersenyum sembari memeluk pundaknya
No comments:
Post a Comment