Oleh: Firdaus
Entah karena pesimistis, entah sudah sangat jenuh dengan kondisi kekinian, tetapi yang pasti, belakangan, sangat sering didengar kalimat senada; rasanya lebih baik zaman orde baru. Ada juga kalimat yang sebangun; rasanya zaman Pak Harto lebih menyenangkan dari sekarang!
Benarkah? Masih dibutuhkan pengkajian, sebab sejauh ini belum ada pengkajian yang membandingkan dua masa berbeda, orde baru dan reformasi, tersebut. Lalu kenapa kemudian muncul “kesimpulan” bahwa masa orde baru lebih baik dari sekarang?
Semua berangkat dari asumsi dan atau rasa. Rasanya lebih baik zaman orde baru. Rasanya zaman Pak Harto lebih menyenangkan dari sekarang! Kenapa lebih baik? Sederetan rasa itu pun kemudian dibeberkan menjadi fakta yang tak boleh dibantah.
Rasanya, di masa pemerintahan orde baru tingkatan kriminal tidak segawat saat ini. Pertengkaran para elit negara tidak muncul kepermukaan. Rasa aman dan nyaman masih didapatkan. Tak banyak yang menjadi pengamat. Kalau pun ada koruptor, dan kemudian tak tersentuh hukum, namun tidak membuat rakyat merinding mendengar pencurian uang negara yang dilakukan lantaran memang tidak terekspos.
Orang yang tidak sepaham dengan rasa itu, pasti membantah. Alasannya, penyimpangan di masa orde baru tidak muncul ke permukaan lantaran pembungkaman kepada orang mau pun media yang vocal. Juga terkadang sampai pada penghilangan orang.
Tuntutan pada era reformasi adalah memberikan kebebasan bersuara dan berpendapat. Ketika ada pembungkaman, maka tuduhannya adalah pelanggaran hak azazi.
Kini semua bisa disaksikan dan dibaca setiap hari, seakan di negeri ini sedang berlangsung lomba bicara. Apa saja akan dikomentari. Tak mantap rasanya kalau ada “bola cogok” namun tidak ikut mensmeshnya. Bisa-bisa dikategorikan pada orang yang tidak mengikuti perkembangan. Yang penting, ngomong dulu. Soal materinya, urusan belakangan.
Apakah materi yang disampaikan bermanfaat atau tidak, itu nomor tiga belas. Apakah materinya justru membuat orang sakit hati, juga nomor tiga belas. Itu urusan nanti. Yang penting komentar dulu.
Buntutnya dapat ditebak. Perang statemen berlangsung terus menerus. Semakin diberitakan media, semakin menjadi-jadilah orang yang berkomentar. Akhirnya bermuara kepada persoalan baru, sementara substansi yang katanya hendak diluruskan atau diperbaiki, justru tak tersentuh.
Terhadap hal ini, seorang teman justru memberikan analogi menakutkan. Katanya; sudah dikerjakan atau pun belum dikerjakan, tetap saja salah. Bekerja atau tidak bekerja, juga tetap salah!
Lho, kenapa bisa begitu? Dimana logikanya? Ya, itu tadi. Logikanya adalah orang sudah bebas ngomong apa saja. Siapa yang menghalangi akan dituntut dengan tuntutan melanggar hak azazi. Kalau dibiarkan, masalahnya menjadi lain pula; telah terjadi pembiaran.
Lalu kini Anda pilih yang mana?*
(Dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 21 November 2010)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Buku Karya Dosen Unand
Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...
-
Ketika hadir dan berbagi bekal menulis cerpen, di akhir Oktober 2019, awalnya asyik-asyik saja. Sebanyak 50 orang pelajar SMP 2 Sijunj...
-
Judul : Cincin Kelopak Mawar Penulis : Firdaus Abie Penerbit : ErKa Tahun Terbit : 2016 ...
-
Oleh: Firdaus Entah kenapa, pada momentum peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen karya A.A Navis (alm). Cerpen ...
No comments:
Post a Comment