Oleh: Firdaus Abie
Dulu. Dulu sekali. Aku punya teman. Rumah kami saling berdekatan, hanya dipisahkan jalan raya tak beraspal. Orang tua kami sangat dekat. Aku dan temanku, sama-sama satu sekolah sejak TK hingga SMA.
Dulu. Dulu sekali. Aku punya teman. Rumah kami saling berdekatan, hanya dipisahkan jalan raya tak beraspal. Orang tua kami sangat dekat. Aku dan temanku, sama-sama satu sekolah sejak TK hingga SMA.
Hubungan kami terasa semakin sangat
dekat ketika duduk di bangku SD. Sekali pun selama enam tahun tak pernah duduk
semeja, dan sering berbeda kelas, tapi hubungan kami sangat dekat. Saking
dekatnya, ia sering membelaku jika aku diganggu orang.
Di angkatanku yang terdiri dari dua
kelas, ia termasuk kawan yang pemberani, kuat dan sulit ditaklukkan. Di antara
permainan paling populer kami, main semba lakon. Aturan permainannya sederhana.
Setelah terkumpul sejumlah orang, maka dibagi dua. Lalu disepakati grup mana
yang jadi lakon. Tim lain harus menangkap lakon. Setiap lakon yang tertangkap,
harus dikurung. Para lakon yang tersisa harus berupaya membebaskan
kawan-kawannya yang terkurung. Caranya, mereka harus menembus pengawalan lakon
yang terkurung. Para lakon baru bisa dikurung jika ketika menyerah saat
ditangkap. Ia boleh melakukan perlawanan. Lawannya juga boleh melakukan
berbagai cara untuk “melumpuhkan” lakon tersebut.
Temanku yang satu ini, termasuk
kuat jika main semba lakon. Ia bahkan mampu melepaskan diri dari hadangan tiga
orang sekaligus. Ketika akan main, banyak yang berharap bisa menjadi bagian
dari timnya.
Ketika Ia membelaku, tak pernah
tanggung-tanggung. Ia terkadang sampai berkelahi benaran karena aku diganggu
orang. Tapi sesungguhnya, tak jarang, aku yang lebih duluan mengganggu orang
tersebut. Kemudian orang itu membalas. Jika aku sanggup menghadapinya, aku akan
terus memberikan perlawanan, kalau tak sanggup, aku lapor kepadanya. Tapi aku
lebih sering tak mampu melawan orang yang kuganggu, namun temanku tu akan langsung melabrak orang tersebut. Ia kemudian beberapa kali ditegur guru. Jujur
saja, sebenarnya teman ku itu bukan anak
bandel, tetapi sangat setia kawan.
Ketika aku merenung, aku ingat
masa tersebut. Tapi itu dulu. Dulu
sekali. Puluhan tahun silam. Kini, sahabatku tersebut telah menjadi seorang
ustad.*
No comments:
Post a Comment