Oleh: Firdaus Abie
Dulu. Dulu sekali. Aku suka main bola. Aku dan kawan-kawan tak pernah memiliki
lapangan permanen. Lapangan kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Jika ada tanah luas, kendati bersemak, biasanya kami akan gotong royong
membersihkannya. Kami memanfaatkan sawah yang baru panen, bekas ladang,
termasuk lahan yang akan dijadikan rumah.
Disaat kelas III SD, aku dan
kawan-kawan sepermainan mendirikan sebuah klub sepakbola. Namanya, Persatuan
Sepakbola Aru Indah (PSAI). Kehadiran klub ini karena semangat melihat
kakak-kakak kami di komplek yang sudah punya wadah berhimpun, Aru Indah Club
(AIC). Berbagai kegiatan di sana, salah satunya untuk olahraga lebih fokus ke
voli. Pernah menjadi tuan rumah kejuaraan voli antar klub, dan menjadi salah
satu klub voli yang disegani di tingkat kelurahan.
Kehadiran klub ini direspon orang
tua kami di komplek. Suatu ketika, selesai salat Magrib berjamaah, warga
komplek membahasnya. Besoknya, kami mendapatkan satu set kostum. Seragam
kebesaran pertama kali, baju berwarna biru muda, lengannya dongker. Celana dan
kaos kaki orange. Ada juga sejumlah bola. Jika ada kejuaraan, kami disupport
warga komplek. Tak sulit bagi kami untuk membeli insert, berangkat dan pulang dari
lokasi pertandingan.
Jika hendak main, kami harus
menentukan siapa kami dulu. Setiap kami punya icon pemain idola masing-masing.
Sebelum main, kami harus menyebutkan siapa diri masing-masing. Biasanya ada
kesepakatan. Misalnya, kini kita jadi pemain dunia. Maka masing-masing harus
menyebut siapa dia. Kalau aku jadi penjaga gawang, maka aku menyebut, Zino
Zoff, penjaga gawang Italia, kala itu. Jika jadi striker, saya menyebut diri
sebagai Paulo Rossi. Striker Italia yang bermain bersama Dino Zoff. Jika pemain lokal, aku
lebih cenderung menjadi Hermansyah, penjaga gawang PSSI Garuda. Atau aku pilih jadi Zahlan, penjaga gawang
Semen Padang. Temanku Hendra, biasanya menjadi Hendra Pillo, salah seorang
pemain Semen Padang.
Kami termasuk anak-anak
beruntung. Disaat anak-anak sebaya kami kesulitan memiliki bola, kami nyaris
tak pernah berhenti main karena tidak ada bola. Kami tak pernah kekurangan
bola. Ketika hari ini bola kami
terkelupas, besok atau lusa sudah ada cadangan bola yang baru. Orang tua
dari salah seorang temanku, Papi dari Hendra, sangat memperhatikan sekali
perihal aktivitas kami bermain bola ini.
Setiap Minggu pagi, selepas salat
Subuh, biasanya kami sudah berkumpul di rumah Hendra. Sepagi itu, kami disambut
Papi dan Mami. Kami menyapa kedua orang tua Hendra dengan sapaan tersebut,
seperti halnya sapaan dari anak-anak beliau.
Rata-rata, ada delapan hingga 15
orang kami berangkat menuju Lapangan Cubadak, Indarung. Biasanya, papi yang
membawa mobil. Jika tidak, mobil dibawa sopir beliau. Di dalam mobil,
perbekalan kami sangat lengkap. Mami,
Uni Yanti dan Dewi, kakak dan adik Hendra, sudah menyediakan teh manis
panas, air putih, roti tawar dan selainya. Ada juga makanan lain. Terkadang,
Dewi ikut dalam rombongan kami.
Sepanjang perjalanan sejauh lebih
kurang 8 – 9 KM, kami terlebih dahulu mengganjal perut dengan teh manis dan
roti tawar berikut selesainya. Sesampai di Lapangan Cubadak, kami bisa bermain
sepuas hati. Terkadang sudah ada lawan seusia kami yang menunggu. Jika saat itu
Galatama Semen Padang berlatih di lapangan tersebut, kami pindah bermain di
lapangan lain yang dimiliki Galatama, klub sepakbola kebanggaan orang Sumatera
Barat.
Selesai main bola, jika papi tak
ada kegiatan lain, beliau membawa kami ke kolam renang di kawasan pabrik semen
tersebut. Kami masuk ke kolam renang
dengan mendaftarkan diri kepada penjaga pintu, lalu papi menyelesaikan
administrasinya. Kami berenang sampai puas hingga menjelang siang.
Jika Galatama Semen Padang
bertanding di Lapangan Imam Bonjol, Hendra sudah mendata nama-nama yang akan
ikut menonton bersama Papi. Paling sedikit, ada lima orang yang ikut. Ada
kalanya lebih dari 10 orang. Ketika berbaris memasuki tribun tertutup, ada
sejumlah anak-anak seusia kami yang meminta untuk masuk. Papi mengizinkan.
Tapi, tak seorang pun di antara
kami yang kemudian jadi pemain sepakbola profesional. Kami menjalani aktivitas
beragam. Ada yang berkarir jadi ustad, wartawan, dokter, pilot, guru, dosen,
brodcasting, pedagang, pengusaha, kontraktor, berkedai, konten kreator dan
beragam bidang lainnya.
Itu dulu. Dulu sekali. Kalau tak
salah, 33 - 40 tahun silam. Kini, Papi
Ismael Thaher dan Mami Erwaty sudah dipanggil menghadap Sang Khalik. Banyak
juga orang tua kami di Aru Indah dan kawan-kawan sepermainanku yang sudah berpulang ke Rahmatullah. Semoga
beliau ditempatkan di Sorga. *
No comments:
Post a Comment