Oleh: Firdaus Abie
Dulu. Dulu sekali. Ketika itu, kalau tak salah, aku kelas II SMP.
Sekolahku kedatangan tamu dari SMPN 5 Pekanbaru, Riau. Sejak pagi, aku sudah
berada di sekolah, seperti halnya sebagian besar pelajar lain. Tapi rombongan
baru datang selepas siang.
Setelah mereka istirahat sejenak,
dilanjutkan dengan pertandingan persahabatan di cabang voli putra dan putri,
basket putra dan putri serta takrau putra. Aku tak ingat secara pasti, siapa
yang menang saat itu. Aku hanya ingat, suasananya sangat ramai dan meriah.
Esok pagi, rombongan melanjutkan
rangkaian kunjungan di Sumbar, menjelang sore, mereka kembali ke sekolah. Semua
rombongan menginap di sekolah. Para pelajar di sekolahku diminta untuk menjadi
tuan rumah yang baik. Termasuk menyediakan tikar, kasur, bantal dan selimut
untuk para tamu tersebut.
Tempat tidurnya sangat sederhana.
Selain membentangkan tikar dan kasur di lantai, ada juga yang tidur di atas
meja. Caranya, sejumlah meja disatukan. Disusun secara rapi, lalu kaki meja
paling pinggir “dikunci” dengan palang kayu yang dipaku.
Malam kedua merupakan malam
terakhir mereka menginap di sekolahku. Rencananya, besok pagi mereka akan
pulang ke Pekanbaru. Malam itu merupakan malam paling ramai. Sangat banyak
pelajar dari sekolahku yang datang. Malam tersebut benar-benar menjadi malam
gembira dan sekaligus malam perpisahan. Sekolahku menyuguhkan malam hiburan.
Beragam atraksi kesenian Ranah Minang dipersembahkan. Begitu juga dari tamu,
mereka juga menampilkan kesenian Tanah Melayu.
Malam itu dimanfaatkan juga untuk
saling berkenalan, mencari dan menambah teman. Ada yang saling minta alamat dan
nomor telpon rumah. Ada juga yang saling tukar stiker kartu nama. Aku salah
satu di antara ratusan orang yang hadir malam itu. Aku tak sendirian, ada dua
temanku yang lain. Keduanya, juga teman sejak SD, malahan satu di antaranya
sama-sama TK.
Disaat suasana Malam Kesenian
sedang meriah, aku dan dua temanku tersebut merasakan sesuatu di bagian perut.
Kami baru ingat, belum makan sejak siang. Peluang mencari makan ke luar sekolah
tak mungkin. Tak ada orang yang berjualan lagi. Sudah malam.
Kami mencari akal. Lalu
berkeliaran mencari peluang di titik sentral kegiatan acara. Hopp. Ada harapan.
Dua nasi bungkus di meja panitia. Tanpa pikir panjang, kami memasang strategi.
Akhirnya, kedua nasi bungkus itu dalam “kekuasaan” kami.
Setelah menguasai nasi bungkus
tersebut, kami pun mencari tempat yang dipandang aman untuk menikmatinya. Kami
akhirnya masuk ke sebuah kelas. Dua nasi bungkus tersebut kami bentangkan
sekaligus, lalu tiga tangan menjamah untuk dinikmati.
Belum habis santapan malam
itu, acara Malam Kesenian usai. Panitia memberikan waktu kepada semua yang hadir,
khususnya murid dari SMP ku untuk meninggalkan sekolah. Kata panitia,
kawan-kawan dari Pekanbaru akan beristirahat karena besok akan melakukan
perjalanan panjang ke Pekanbaru.
Beberapa saat kemudian,
pengumuman lanjutan datang dari petugas Polsek, mengingatkan agar yang bukan
pelajar dari Pekanbaru dan panitia sekolahku, diminta segera meninggalkan
lokasi. Kami berpikir, tidak akan
mungkin meninggalkan lokasi, sebab untuk pulang ke rumah, bukan perkara mudah.
Tak ada lagi angkutan umum malam itu ke rumah kami.
“Kita tidur saja di sini,” usul
seorang temanku.
Kami pun sepakat. Sejumlah meja
disusun untuk tidur. Berlahan kami pun merebahkan badan.
Ketika baru hendak tidur, kembali
ada pengumuman dari petugas Polsek. Pesannya sedikit lebih keras dan ada nada
ancaman. Kami mulai ragu, apakah akan terus tidur di dalam kelas ini, atau
keluar dari pekarangan sekolah?
“Kalau keluar, kita bermalam di
mana?” tanyaku?
“Nanti saja kita pikirkan,” kata
yang lain.
Sekali lagi ada pengumuman
serupa. Petugas Polsek mengatakan, akan mengadakan razia keliling sekolah.
Jika ditemukan yang bukan panitia dan
pelajar dari Pekanbaru, akan diproses di Mapolsek. Posisi sekolah dengan Mapolsek
hanya berseberangan jalan.
Akhirnya, mulai ada rasa cemas
dan takut. Kami memutuskan untuk memanjat jendela kelas lagi, seperti saat
masuk, meninggalkan kelas yang mejanya sudah kami susun menjadi tempat tidur
dan bungkusan nasi serta rimah yang berserakan di lantai.
Malam itu juga, kami menyeret
langkah meninggalkan pekarangan sekolah dalam ketakutan. Apalagi, ada di antara
kami yang sempat kencing di kelas tersebut.
Ah, itu dulu. Dulu sekali.
Puluhan tahun silam. *
No comments:
Post a Comment