Oleh: Firdaus Abie
Dulu. Dulu sekali. Kami mendapatkan guru baru. Beliau khusus
mengajar olahraga. Orangnya masih muda dibandingkan guru lain. Sejak kehadiran
beliau, Olahraga merupakan mata pelajaran paling ditunggu. Rugi rasanya jika disaat mata pelajaran
tersebut kami tak hadir, atau bertepatan dengan hari besar.
Jika hari tidak hujan, dapat
dipastikan kami akan olahraga di lapangan. Tempat yang dipilih, lapangan
sepakbola, tak jauh dari sekolah kami. Berjarak sekitar 200 meter. Ketika
diumumkan ke lapangan, semua akan bersorak. Suasana bergemuruh luar biasa.
Sesampai di lapangan, sang guru
akan memperkenalkan kepada kami teori dan teknik olahraga tertentu kepada kami,
di antaranya beragam nomor di cabang atletik dan permainan lain. Setelah teori,
langsung praktek. Satu persatu di antara kami mendapat kesempatan untuk
melakukannya. Tak jarang beliau langsung mengambil nilai terhadap praktek
tersebut.
Ketika semua selesai dan waktu
masih tersisa, beliau akan memberikan dua bola ukuran berbeda kepada kami.
Murid laki-laki mendapat bola kaki, sedangkan murid perempuan mendapatkan bola
kasti. Belakangan aku baru tahu, bola kasti tersebut digunakan juga untuk tenis
lapangan.
Ketika dua bola itu sudah
diberikan, kami nyaris lupa waktu. Kami bermain sepuasnya. Sorak gembira,
senang, dan semangat bertanding sangat terasa, walau sesungguhnya hal tersebut
adalah permainan biasa. Di lapangan sepakbola, murid laki-laki berteriak untuk
bisa mendapatkan bola atau memberitahu kawan satu timnya. Di lapangan kasti,
teriak gembira atau terkejut kesakitan kena lemparan bola, sangat jelas
terdengar. Guru olahraga kami menyaksikan secara cermat di pinggir lapangan.
Tak jarang beliau menjadi wasit di sepakbola.
Lima hingga sepuluh menit menjelang
berakhir pelajaran Olahraga, biasanya guru tersebut menghentikan kegiatan. Kami
diminta kembali ke sekolah melalui jalan pintas. Tapi aku dan beberapa
kawan lain, tidak. Kami mengambil jalan lain, lalu berhenti di sebuah kedai
penyewaan buku. Ada komik, novel, majalah, koran dan sebagainya.
Saya lebih memilih baca komik,
karena banyak gambar dan tulisan sedikit, sehingga bisa dibaca cepat dalam
waktu singkat. Kawan-kawan lain juga begitu. Selesai membaca satu komik, kami
berlari kembali ke sekolah.
Hopp! Mata pelajaran sudah
berganti. Guru Olahraga menunggu kami di depan kantor yang langsung menatap ke
gerbang sekolah. Kami tak dimarahi, tapi dinasehati saja. Pada pelajaran
Olahraga berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi beberapa kali.
Ah, tapi itu dulu. Dulu sekali.
Puluhan tahun silam. Mohon maaf, ya Pak Munawir!*
No comments:
Post a Comment