Ketika azan Subuh berkumandang,
aku berlari dari hotel ke Masjidil Haram. Aku hanya kebagian saf di pelataran
luar masjid. Selesai Subuh, aku tak kembali ke hotel, tapi lebih memilih
untuk masuk ke dalam masjid dan kemudian
berdiri tak jauh dari Ka’bah. Kupandangi
Ka’bah dalam-dalam, sembari membaca doa sesuai
buku panduan yang kumiliki. Aku
juga berharap, umroh pertama ku ini (tentu saja berharap bisa melakukan
kembali) benar-benar bisa maksimal beribadah.
Setelah itu, aku bergerak. Aku berniat melaksanakan
tawaf sunnah. Sembari melangkah berlahan, ku baca doa yang ada di buku panduan.
Beberapa kali langkahku tersandung, beberapa kali juga aku terhuyung karena
suasana sangat ramai.
Ketika melangkah, ada rombongan
mengenakan pakaian ihram sedang tawaf. Aku sedikit merapat ke barisan tersebut,
lalu kemudian mengikuti bacaan yang mereka baca. Sekali putaran aku bersamanya,
ternyata rombongan tersebut sudah mengambil jalur paling kanan, kemudian keluar
dari pelaksanaan tawaf. Rupanya, aku ikut tawaf putaran terakhir mereka.
Aku terus melangkah. Ketika itu,
salah satu keinginanku, setelah tawaf putaran kedua, aku ingin mencium Hajar Aswad. Langkahku terus merapat
ke arah Ka’bah. Entah mengapa, tiba-tiba aku tertegun sejenak. Aku lihat suasana
di arah Hajar Aswad. Sangat ramai. Suasana saling berdesakan. Nyali ku mulai
ciut. Ku kumpulkan kekuatan sembari terus berdoa agar Allah memudahkan langkahku.
Ketika langkah kaki hendak ku
langkahkan, tiba-tiba dari arah kiri depanku, ada dorongan sangat kuat ke kanan.
Begitu juga dari arah kanan, ada dorongan ke kiri. Aku tersentak sejenak.
Kuperhatikan ke sekeliling. Allahu Akbar, aku ternyata persis berdiri di pintu
masuk Hijir Ismail.
Tanpa pikir panjang, ku ikuti
dorongan dari arah kanan. Aku ikuti dorongan yang kuat dari kanan. Aku putar
tubuhku menghadap ke arah kiri, sehingga dorongan dari kanan berubah dari arah
belakang. Semakin kuat dorongan dari belakang, semakin kuat pula aku mendesak
ke dalam, sehingga aku masuk ke wilayah Hijir Ismail.
“Haji.., haji..! Sudah salat?”
tanya seseorang setelah aku berada di dalam wilayah Hijir Ismail.
“Belum, haji!” balasku.
Ia memberi kode, setelah
perempuan yang sedang salat di depannya, aku boleh menggantikan. Aku boleh
salat di sana. Aku mengangguk. Perempuan tersebut tampak sedang sujud.
Lelaki itu berlogat Jawa. Ia
menggunakan peci Nasional yang biasa dipakai di Indonesia. Tidak kopiah putih,
yang biasa disebut kopiah haji, yang biasa dipakai orang-orang pulang ibadah
haji dan umroh. Perawakannya sedang. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang tak
dikancingi. Di balik jaket tersebut terlihat jelas baju koko agak gelap.
Lelaki itu sibuk memblokir beberapa bagian agar orang
bisa salat di sana. Ada tiga orang lain
yang membantunya. Perawakan dua lainnya, mirip perawakan orang Indonesia. Aku
memperkirakan, mereka satu keluarga, atau paling tidak dari satu rombongan.
Ketika perempuan tersebut duduk,
saya memperkirakan tahayat akhir, aku memperhatikannya. Rona wajahnya mirip
orang-orang Timur Tengah. Ketika perempuan itu selesai salam, ia segera
bangkit, dan lelaki tersebut memberikan ruang kepadaku untuk segera salat di
sana.
Kuangkat kedua tangan. Takbir.
Kuniatkan salat sunah dua rakaat. Pada sujud terakhir, sujudku lebih panjang.
Sebelumnya aku ingat pesan jamaah yang sudah balik dari umrah, jika dapat salat
di Hijir Ismail, sulit mendapatkan tempat berdoa lebih lama di sana. Dorongan
dan desakan jamaah lain sangat ramai. Bisa terinjak dan kebanting.
Disaat sujud atau pun duduk, aku
sudah merasakannya. Ada saja yang menyentuh bahu dan kepalaku. Mungkin juga aku
dilangkahi jamaah lain. Disaat sujud terakhir, setelah membaca doa sujud, aku
juga melanjutkan dengan doa-doa lainnya. Sujud terakhir itu, terasa lebih lebih
panjang dari sujud-sujud sebelumnya. Aku lakukan semua itu karena teringat
pesan, akan sulit mendapatkan posisi berdoa disaat Hijir Ismail ramai tersebut.
Ada yang justru disuruh langsung berdiri setelah membaca salam. Jika dalam
posisi sujud, kendati sujudnya lama, jamaah lain tak akan mau mengganggu karena
posisi tersebut dianggap masih dalam keadaan salat.
Selesai salam, Abie segera
bangkit. Ku sampaikan ucapan terima kasih kepada lelaki berjaket hitam
tersebut. Ia tersenyum. Bahagia sekali kelihatannya beliau. Lalu, aku putus blokade yang dibuatnya dengan
lelaki di sebelahnya. Kutangkap pergelangan tangan kanannya dengan tangan
kiriku, kemudian pergelangan tangan kiri lelaki di sebelahnya kusambung dengan
tangan kananku.
“Terima kasih, haji! Terima
kasih, haji!” katanya.
Setelah ku, ada bergantian lelaki
lain yang saling membantu blokade tersebut. Berlahan dan pasti, keringat
bercucuran di sekujur tubuhku. Gamis yang kupakai, sudah hampir basah kuyup.
Lelaki tersebut kemudian mengatakan, sebaiknya aku meninggalkan Hijir Ismail
dulu. Biar yang lain menggantikan. Akhirnya aku keluar dalam keadaan bersusah
payah karena dorongan jamaah yang akan masuk dan keluar sama kuatnya.
Alhamdulillah, aku sampai ke
pinggir dan bergerak menuju keluar Masjidil Haram dalam keadaan aman dan
selamat.
*
Ketika sampai di hotel, aku
mencari restoran tempat Jamaah Umrah Paragon Kloter 14 sarapan, makan siang dan
makan malam. Aku berputar beberapa kali, tak kunjung bertemu. Akhirnya, perut
yang sudah mulai keroncongan aku bawa ke restoran umum di mal yang sebangun
dengan hotel di kawasan Menara Zam-zam tersebut. Aku menemukan restoran. Ku
amati, kemudian pandanganku tertuju kepada nasi yang mirip nasi goreng. Aku
pesan. Setelah kubayar senilai 25 Riyal (sekitar Rp 100 ribu), segera ku buka
bungkusannya. Aku memandang, rasanya nasi ini terlalu banyak untukku.
Kupisahkan. Kubagi jadi dua. Separoh aku makan, separoh lagi ku sisihkan.
Disaat sedang menikmati makanan
tersebut, tiba-tiba ada tiga orang jamaah lain membuka bungkusan di meja
seberang mejaku. Kuperhatikan secara seksama, rupanya makanan serupa denganku.
Mereka menikmati porsi satu kotak itu bertiga. Separoh nasi yang aku sisihkan,
aku santap di kamar hotel, sebelum Ashar di Masjidil Haram. Sejak Ashar hingga
Isya, aku di Masjidil Haram saja. Baru pulang selepas Isya. Ketika kembali
kucari restoran, tak juga bertemu. Akhirnya aku langsung ke kamar saja.
Besoknya, selepas Duha di
Masjidil Haram, aku kembali ke hotel. Tujuan utama, ke restoran terlebih
dahulu. Aku penasaran, kok kemarin tak menemukan restorannya?
Tiga kali kuputari wilayah yang
aku yakini kawasan restoran. Aku yakin, restoran di kawasan tersebut. Ketika
serius memperhatikan wilayah tersebut, tiba-tiba sebuah suara memanggilku, “Pak
Haji Firdaus, mau ke mana?”
Aku menoleh. Kiranya Ustad Azzam,
ustad pembimbingku yang sama-sama berangkat dari Jakarta.
“Udah sarapan?” tanyanya sebelum
aku sempat menjawab pertanyaan pertama.
“Belum, Ustad. Belum menemukan
tempatnya,” jawabku jujur.
“Belum?”” tanyanya heran, “lalu
kemarin, sarapan dan makan di mana?” Ia bertanya lagi.
“Dibeli di sana,” jawabnya
sembari menunjuk pusat kuliner di mal tersebut.
Ustad Azzam tersebut. “Yuk, lewat
sini saja,” katanya.
Aku mengikuti beliau. Lokasinya,
memang tak jauh dari perkiraanku. Aku jadi berpikir dalam hati, apakah kemarin
aku tidak melewati kawasan tersebut, atau tidak melihatnya? Wallahu A’lam.
Padang, 26 Juni 2020
No comments:
Post a Comment