* Hari Ini, Sepekan Setelah Banjir Bandang di Kota
Padang
Sore datang menjelang. Jalan masuk ke komplek
tampak kotor. Berlumpur. Jalanan beraspal sudah berwarna kuning. Seorang ibu
muda terlihat bergerak sigap membagikan bungkusan dari kantong kresek biru di
tangannya.
“Makan siang dulu…,” katanya, padahal ketika itu,
waktu sudah menunjukkan lewat pukul tiga siang. Sudah menjelang sore.
Ia tak bermaksud bercanda, menawarkan makan siang
disaat sore menjelang. Ia tahu, warga di lingkungan tempat tinggalnya, saat
itu, belum makan. Sarapan pagi pun entah ada entah tidak.
Sekitar 18 jam
sebelumnya, Senin (21/3) sekitar pukul 21.00 WIB, hujan membasuh wajah kota
Padang. Air diguyurkan dari langit, sangat lebat. Sekejap saja, air mulai
tergenang dimana-mana. Sejumlah ruas jalan digenangi air. Puluhan komplek
perumahan dan kawasan padat penduduk dikepung air.
Air di jalan komplek tempat saya menetap sejak
dua hari sebelum gempa dan tsunami di Aceh, diperkirakan mencapai dua meter
lebih. Komplek perumahan itu bernama Komplek Lubuk Intan, di Kelurahan
Lubuakbuayo, Kecamatan Kototangah, Padang.
DI komplek ini ada sekitar 320 unit rumah. Rumah
sebanyak itu dibangun dalam tiga tahap pembangunan. Saya menempati komplek
tahap I. Air mulai masuk rumah warga sejak pukul 23.00 WIB.
Aliran sungai yang berliku di bagian belakang komplek itu membuat aliran air
bergerak sangat cepat mengepung. Sejumlah warga masih sempat mengevakuasi
kendaraannya persis di stasiun kereta api Lubukbuaya.
Ketika mereka hendak kembali ke rumah, sebagian
besar sudah terjebak karena kedalaman air sudah tinggi dan arus air sudah
sangat deras. Dua orang warga sempat terseret arus beberapa meter, namun
selamat karena mereka dapat menggapai pagar rumah.
Puncak air terdalam terjadi menjelang pukul tiga,
selasa dinihari. Saat itu, tak satu pun rumah di komplek tersebut yang tidak
dimasuki air. Belasan kendaraan yang dievakuasi dan di parkir warga di gerbang
komplek, tepatnya di belakang stasiun kereta api Lubuakbuayo, juga tak luput
dari terjangan air.
Air masuk ke dalam mobil dan merendam badan mobil
serta mesinnya. Puluhan sepeda motor hilang tenggelam dalam banjir, termasuk
mobil dan sepeda motor yang selama ini jadi penyambung kaki untuk
beraktivitas. Kata orang bengkel, harus bongkar mesin. Hop..! (saya pun penepuk
kening..)
Di dalam rumah warga, kedalaman air bervariasi.
Terendah sepaha, lainnya di atas paha. Ada yang terpaksa harus mengungsi karena
air sudah mencapai dada di dalam rumahnya. Ketika air surut, diukurnya air yang
masuk. Garis bekas air yang membekas di dinding rumahnya menunjukkan kedalaman
air “menenggelamkan” keluarga penghuni rumah tersebut.
Warga komplek menilai, banjir yang datang sangat
buruk. Ukurannya, semua rumah di komplek sudah terendam. Saya mendukung
kesimpulan warga. Selama ini, pernah hujan lebat selama dua hari dua malam,
namun genangan air hanya di jalan komplek saja.
Kalau pun pernah ada banjir, namun tak pernah
masuk rumah saya. Hanya sampai teras. Pembanding lainnya, rel di stasiun
kerata api Lubuakbuayo. Konon rel itu tak pernah disentuh banjir, namun
kejadian malam itu, air sudah menenggelamkannya.
Banjir yang melanda komplekku, ternyata tak
seberapa jika dibandingkan kejadian di kawasan lain. Seorang senior saya
mengabarkan, di kediamannya air hanya sejengkal. Maksudnya, sejengkal lagi
mencapai plafon rumahnya. Oh..!
Kecamatan Kototangah, Padang, merupakan daerah
terparah diserang banjir. Banjir dimana-mana, termasuk di seputaran Balaikota
Padang. Apa mau dikata lagi, pusat pemerintahan (dipidangkan dari wilayah
Padang Barat ke Kototangah, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2011
tentang Pemindahan Pusat Pemerintahan Kota Padang dari wilayah Kecamatan Padang
Barat ke wilayah Kecamatan Kototangah) itu benar yang sudah direndam banjir.
Setelah air surut, persoalan belum selesai. Warga
bermasalah dengan air bersih. PDAM menghadapi persoalan. Data dari Kabag Umum
PDAM Padang Alfitra SE, empat lokasi
Instalasi Pengolahan Air (IPA), di Latuang, Lubukminturun, berkapasitas
produksi 290 liter per detik mati total. Penyebabnya pipa air baku dari tanah
taban putus dihantam longsor, intake Latuang tertimbun material bebatuan besar.
Latuang memasok air untuk Kototangah, sebagian Padang Utara,
sebagian Nanggalo, sebagian Kuranji.
Kemudian
IPA Guo Kuranji dengan kapasitas 70 liter per detik, intake rusak
berat. IPA ini mendistribusikan air kawasan Balimbiang Kuranji. IPA
Jawa Gadut, kapasitas 40 liter per detik juga intake rusak berat, padahal IPA
ini mengalir untuk Limau Manih Pauah dan sekitarnya. IPA
Lubuakparaku sempat terhenti akibat air baku berlumpur.
Keempat IPA itu melayani 35 ribu pelanggan. Air bersih hanya bisa
didistribusikan dengan empat unit mobil tangki. Beroperasi siang malam.
Ratusan
relawan terjun mendistribusikan bantuan. Makanan ringan, nasi, pakaian, air
bersih dan berbagai kebutuhan lain, dibagikan kepada masyarakat yang memerlukan.
Kedatangan bantuan tersebut, tidak serta merta menyelesaikan persoalan.
Ketidaksabaran
menghadapi situasi sulit, berbeda dari keseharian hidup mereka, membuat
sebagian besar korban banyak cepat terpancing. Adrenalin mudah terpancing.
Sikap egois langsung terlihat. Sejumlah relawan mengaku, kehadiran mereka
mendistribusikan bantuan tak jarang disambut umpatan, makian dan kekesalan
korban banjir. Keinginan mereka, bantuan segera datang sesuai keinginan, namun
proses di lapangan tak semudah yang mereka inginkan.
Hari
ini, sepekan sudah banjir besar di Padang, berlalu. Setelah itu, sepekan, dua
pekan, sebulan, dua bulan ke depan, peristiwa banjir ini akan “hilang” dalam
memori. Pemerintah yang tak bisa berbuat banyak selama penangganan korban
banjir, juga akan melupakan. Aktivitas kembali berjalan sesuai putaran rodanya.
Situasi akan bakalibuik
(sibuk yang luar biasa) kembali kalau hal serupa datang lagi. Berbagai teori
untuk antisipasi banjir muncul lagi.
Masalah
yang terjadi, menurut cara berpikir induktif, yakni menarik kesimpulan umum
dari berbagai kejadian dan data yang ada di sekitarnya, didasarkan pada
pengamatan, persoalan banjir disebabkan banyak faktor.
Faktor
itu, di antaranya; saluran (drainase) di kiri kanan jalan sudah tertutup
trotoar, dan jalan masuk ke rumah atau ruko, sehingga air tergenang di
sepanjang jalan. Pembangunan komplek perumahan yang diduga di kawasan yang
sebelumnya tempat tumpahan air, disebabkan harga tanah yang murah dan (mungkin)
didukung pula oleh proses izin yang mudah plus tanpa pengawasan.
Dibutuhkan
dukungan nyata pemerintah kota, provinsi atau pun pusat kepada PDAM, sehingga
perusahaan daerah pemasok air bersih bagi rakyat tersebut tak mengalami
persoalan nyaris serupa setiap hujan mau pun banjir. (firdaus)
CATATAN:
Tulisan
ini dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres, edisi Senin 28
Maret 2016