Oleh: Firdaus
Irama musik terus berdentam. Menyentak hingga
terasa di dada. Goyangan sang artis bergerak tak karuan, berlahan mulai
menggerakkan birahi. Nafas mulai terengah-engah mengikuti geraknya, sementara
vokal yang dikeluarkannya kian tak jelas.
Di hadapan
penyanyi, duduk dan bergoyang ratusan orang. Anak-anak hingga orang tua
bercampurbaur menjadi satu. Semua larut dalam goyangan hingga larut malam.
Bergojet dengan gerak tak seirama. Sesuka hati saja.
Anak-anak bau kencur menyatu bersama orang tua “bau
tanah”, mamak dan keponakan bergoyang berpegangan tangan. Mamak rumah dan
sumando ikut pula. Ipar besan turut serta. Tak ada batas dan ruang di antara
mereka.
“Kini artis saweran sudah masuk pula di kampung kita,” ujar Karapai, ia pun membenarkan kalau Badai mengatakan bahwa artis saweran itu mulanya dari negeri seberang.
“Persoalan sekarang bukan dari mana asalnya, tapi
dimana ia bisa pula tumbuh. Salah satunya di kampung kita,” lanjut Karapai
sembari menyebutkan dirinya sedang galau berat karena kampungnya, Kampung
Matirasa, Negeri Antahbarantah, sudah dimasuki artis orgen saweran.
Kehadiran artis saweran ini, kemudian membawa
“bencana” bagi artis orgen tunggal. Artis saweran makan cempedak, artis orgen
yang kena getah. Hep, apa pula ini?
Entah pembelaan, entah kenyataan. Kata orang-orang
orgen tunggal, artis saweran bukanlah artis orgen tunggal. Mereka datang bak
jelangkung; datang tidak dijemput, pulang tidak diantar. Mereka hanya orang
yang datang ketika ada pertunjukan orgen tunggal, kemudian menyumbangkan lagu dan
rela menerima saweran dari sudut mana pun.
Jika sudah mendapatkan uang dari saweran, mereka
akan pergi. Meninggalkan orgen tunggal yang terus berdentum hingga larut malam.
Tak peduli orang kampung risau dengan bunyi musik yang terus memekak di gendang
telinga.
“Susah memberantas pertunjukan orgen tunggal yang
bisa menghadirkan prilaku maksiat,” kata Badai sembari menyebutkan alasan.
Alasannya, masyarakat sudah mulai terbiasa dan
mengarah kepada kehidupan yang bebas. Karapai tersenyum. Ia menolak alasan Badai.
Katanya, alasan Badai merupakan alasan yang dicari-cari.
“Saya tiga kali menjadi ketua panitia pernikahan
saudara saya,” kata Karapai berwibawa.
“Apa hubungannya dengan orgen tunggal?” potong
Badai.
“Saya beri aturan yang ketat kepada pengelola orgen
tunggal tersebut. Kalau sepakat, saya bayar sesuai ketentuan. Jika tidak, atau
saat di hari H tidak sesuai ketentuan, saya akan tolak kehadirannya,” jelas
Karapai.
Ketentuan yang dibuatnya. Pertama; penyanyi tak
boleh mengenakan pakaian seksi. Kedua; musiknya tak boleh terlalu keras. Alat
ukurnya, tamu-tamu yang berada pada satu meja melingkar harus bisa saling
berkomunikasi. Kebanyakan tempat beralek selama ini, jangankan antarmeja,
dilingkup satu meja melingkar saja tak bisa bicara santai lantaran musiknya
sangat keras. Ketiga; tak boleh membawakan lagu ajib-ajib.
“Ah, syaratmu terlalu lebay,”
“Terserah. Tapi orang orgen menurut, kok. Bukankah
kehadirannya tidak gratis? Jadi, kita boleh membuat aturan,” kata Karapai
sembari menyebutkan, saat pernikahan saudaranya yang kedua, salah seorang artis
orgen diminta adiknya untuk ganti kostum karena masih terlihat seksi.
“Tapi itu kan untuk pribadi, sehingga bisa
dibatasi,” bantah Badai.
“Persoalannya bukan pribadi atau tidak, tapi soal
aturan dan komitmen menjalankan aturan. Jika semua orang hajatan memberikan
garisan kepada pengelola orgen tunggal,
pasti mereka akan menurut. Kalau ada regulasi di tingkat jorong, kampung,
nagari dan daerah, pasti semua akan menurut. Perketat izinnya, jelaskan
aturannya. Jika melanggar, tindak secara hukum,” beber Karapai.
Ia juga memberikan mengapresiasi terhadap langkah
tim gabungan Satpol PP, Polisi dan TNI di bawah komando Kasat Pol PP Kota
Pariaman Handrizal Fitri, S.STP menghentikan orgen tunggal yang digelar
melewati batas waktu dan dan menegur
penyanyi orgen yang berpakaian seronok.
“Tapi…”
“Saya belum selesai,” kata Karapai.
Karapai melanjutkan, jika perlu buat aturan, apa
pun acaranya, jika menggunakan orgen atau band, harus mengurus izin. Harus ada
izin prinsip dan izin keramaian. Izin keramaian diikat dengan sejumlah
ketentuan, sehingga pemilik acara langsung terawasi pihak berwajib. Misalnya,
jika ditemukan minuman keras di kawasan tersebut, sekali pun tidak disediakan
pemilik acara, pentas orgen harus dihentikan, sebab kegiatan tersebut secara
tak langsung telah “mengundang” kegiatan terlarang. Ada batas waktunya, ada
standar busana yang dipakai.
“Batasan itu melanggar HAM!” protes Badai.
“Melanggar HAM? Apakah musik yang berdentam sampai
pagi buta, yang membuat orang susah tidur, tidak melanggar HAM? “ Karapai balik
menyerang.
Badai terdiam. Suasana hening sejenak.
“Tapi, orgen tunggal ada nikmatnya juga kan?” tanya
Badai.
“Ya. Tahun enampuluhan hingga delapan puluhan,
pentas musik biasanya dibawakan dalam bentuk grup band. Setelah itu, digantikan
oleh orgen tunggal. Cukup seorang pemain saja, berbagai jenis alat musik bisa
ditampilkan untuk mengiringi lagu. Kini cukup memasukkan alat tertentu, maka
bisa dioperasionalkan sendiri. Tak butuh lagi orang yang memainkan,” Karapai
menjelaskan panjang lebar.
“Selain itu, apa lagi nikmatnya dari orgen
tunggal?” tanya Badai.
“Kini belum banyak daerah yang membuat regulasi
atau pun batasan terhadap kehadiran dan pentas orgen tunggal. Kalau pun ada,
mungkin baru sebatas aturan tanpa pengawasan, apalagi tindakan. Mungkin tanpa
badan usaha sehingga tanpa dipungut pajak. Banyak orgen tunggal menampilkan
penyanyi seksi dengan busana minim, diiringi musik dan tarian erotis yang
membangkitkan selera. Jujur saja, aku suka…” Karapai keceplosan.
“Kapuyuak ang mah…!” maki Badai, ia kemudian
melemparkan sepotong goreng pisang, tepat dijidat Karapai.*
Catatan:
Naskah ini dimuat di rubrik KOPI MINGGU, Padang Ekspres edisi 8 Mei 2016
No comments:
Post a Comment