Oleh: Firdaus
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir
Effendy menggagas sistem Full
Day School. Sekolah sehari
penuh. Gagasan itu tujukan untuk pendidikan
dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta.
Gagasan itu
langsung memantik respon dari berbagai kalangan. Beragam pandangan bergulir.
Bermacam pendapat muncul kepermukaan. Gagasan sang menteri bagaikan bola salju
yang mengelinding dari ketinggian.
Menteri yang
baru hitungan hari menggantikan posisi Anis Baswedan mengungkapkan alasan.
Sistem baru itu dimaksudkan agar agar anak tidak sendirian ketika orangtua
mereka masih bekerja.
Sistem tersebut,
katanya, secara perlahan anak didik akan
terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua
mereka masih belum pulang dari kerja. Jika anak-anak tetap berada di sekolah,
mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya
seusai jam kerja. Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama-sama orangtua
mereka sehingga ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya
oleh orangtua.
Untuk aktivitas
lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam, menurut Mendikbud, pihak
sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz dengan latar belakang dan rekam
jejak yang sudah diketahui. Jika mengaji di luar, mereka dikhawatirkan akan
diajari hal-hal yang menyimpang.
Ada sekolah yang menyikapi biasa-biasa saja, sebab anak didik mereka sudah pulang antara pukul 16.00 atau 17.00 sore. Itu artinya, tak ada persoalan. Ada juga yang menyikapi dengan keberatan lantaran mereka sudah pulang sekitar dua atau tiga jam sebelum jadwal yang diwacanakan Mendikbud.
Kendati
demikian, sekali pun bola terus bergulir, namun kemungkinan besar, wacana itu
akan direalisasikan juga. Pihak Kemendikbud terus melakukan sosialisasi dan
akan mempersiapkan payung hukum agar wacana tersebut menjadi kenyataan.
Dari berbagai
persoalan, setidaknya ada beberapa catatan yang harus disikapi, sehingga kalau
pun wacana itu menjadi realita, semua persoalan sudah dipersiapkan dan
diantisipasi sejak awal. Pertama; tidak semua
anak didik yang orang tuanya bekerja, sehingga tak elok digeneralisir.
Atau, bagaimana dengan anak-anak yang separoh harinya masih harus berjuang
untuk menolong orang tuanya? Ingat, kondisi kehidupan yang beragam menjadi
persoalan bagi anak-anak yang kehidupan orang tuanya butuh keikutsertaan
anak-anaknya.
Kedua; jauh
sebelum wacana ini muncul, anak-anak bangsa ini sudah memiliki karakter, etika
dan sebagainya sangat baik. Mereka tidak harus belajar sehari penuh. Pendidikan
karakter terkuat itu, sebenarnya justru berasal dari rumah.
Keempat;
bagaimana dengan sarana dan prasarana?
Belum semua sekolah memiliki sarana dan prasarana memadai, apalagi
sekolah-sekolah di daerah. Banyak yang masih berantakan.
Ketiga; sudah
siapkah para guru? Saat ini saja, pengakuan sejumlah guru, sangat banyak beban
tugas yang harus mereka selesai. Kewajiban jam mengajar dan pemenuhan kewajiban
administrasi, sudah menguras tenaga dan pikiran mereka, apalagi jika ditambah
lagi jam tugas mereka.
Kelima; seharian di sekolah, sesampai di rumah sudah
senja. Anak-anak kemudian pulang, setelah itu mereka istirahat. Esoknya,
aktivitas yang sama diulang kembali. Kapan sosialisasi dan mengenal lingkungan.
Pada masanya nanti, anak-anak akan tak akan pernah punya teman kecil di
lingkungan tempat tinggalnya lagi. Mereka akan menjadi asing di lingkungan
sendiri. *
Catatan: Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu 12 Agustus 2016, pada kolom Kopi Minggu
No comments:
Post a Comment