Fenomena Randai
Kekinian:
Apa
yang terjadi dengan randai di era kekinian? Jika diibaratkan, randai tak lebih
dari sebuah tustel usang yang terus dipalagakan
ka niak ka nin (dibangga-banggakan kemana-mana). Fenomena itu terjadi
karena satu hal. Bak sindiran usang sejak masa lalu; cadiak dijua, binguang dibali.
Oleh: Firdaus –
Padang
Randai adalah sebuah permainan anak nagari di
Minangkabau. Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, randai dimainkan secara
berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki
secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara
berganti-gantian (gurindam). Randai menggabungkan seni lagu,
musik, tari, drama
dan silat menjadi satu.
Di
randai ada pesan, permainan. Dalam tontotan ada tuntunan. Randai harusnya
adalah segalanya. Segalanya dalam artian kesenian tradisi. Hanya saja, randai
sedang berada dalam kondisi stagnan yang sangat akut.
Melihat
situasi randai hari ini, berangkat dari kesimpulan Wikipedia tersebut, hampir 40 tahun terakhir,
tak ada yang berubah dari randai. Kondisinya selalu begitu. Dimainkan
berkelompok, membentuk lingkaran, melangkahkan kaki secara perlahan, sambil
menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Menggabungkan seni lagu,
musik, tari, drama
dan silat menjadi satu.
Yang lebih membosankan, materi yang
disampaikan melalui randai, dalam bentuk kisah atau cerita, juga tak pernah
berubah. Penampilan randai cenderung memakan waktu yang sangat lama, dua jam
hingga lebih, bahkan ada yang semalam. Durasi yang panjang itu, tentu saja
membosankan, dan setiap orang memiliki kesempatan dan kepentingan berbeda. Tak
bisa dipaksakan untuk tetap bertahan di tempat yang sama dalam kurun waktu
lama.
Jika ada, apa yang harus dilakukan? Yang
pasti, harus dilakukan sesuatu dan mendasar terhadap randai itu sendiri. Jangan
dibiarkan randai hilang ditelan zaman. Ia harus bisa mengikuti perubahan zaman
dan mengikuti arus perubahan. Jika tidak mengikuti arus perubahan, ia akan
dihanyutkan oleh arus perubahan itu
sendiri. Tak ada yang tak mungkin.
“Melihat sejarah, sebenarnya randai sudah
berubah,” Kepala Taman Budaya Sumbar Muasri, didampingi Sexri Budiman dan
Viveri Yudhi.
Perubahan itu, berangkat dari filosofi dasar
bahwa kesenian tradisional hanya babuhua
sentak (ikatan yang bisa dilepaskan), bukan babuhua mati. Awalnya, randai tanpa ada naskah cerita, hanya
permainan music dan tarian.
Berkembang menjadi permainan berbalas pantun,
berandai-andai untuk bersuka ria. Yang kalah akan ditertawakan. (Chairul Harun)
Perkembangan
berikutnya, randai menyampaikan kaba dalam bentuk dialog. Sebuah literasi
menyebutkan, penyampaian kaba tertua melalui seni basijobang. Randai yang saat ini dimainkan dan menjadi
bagian dari kesenian tradisi anak nagari, tak bisa dipisahkan dari seminar
randai, 1978, dan kemudian dilanjutkan dengan randai yang diformatkan untuk
festival, 1980.
“Sejak
saat itu, randai terformat seperti yang
kita saksikan saat ini. Ironisnya, tak ada yang menyadari kalau kondisi stagnan
tersebut sudah mengkuatirkan,” kata Muasri sembari menyebutkan, padahal
sesungguhnya, pada randai yang ada sekarang, sangat banyak kekuatan, kehebatan
yang dimiliki, namun belum digarap secara sungguh-sungguh. Seakan dibiarkan
saja!
“Di
randai ada lagu,
musik, tari, drama
dan silat,” tapi tidak digarap
secara utuh oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya.
Lalu, seperti apa kalau dikemas dengan
sungguh-sungguh? Jawabannya, pembuktiannya akan terpampang dalam dua hari
berturut, mulai malam ini di Taman Budaya Sumbar, pukul 20.00 WIB. Sebanyak 15
grup akan tampil pada Festival Tari Berbasis Randai.
“Semoga kelak, kita tidak lagi mampalagak-an
tustel usang,” kata Viveri Yudi. Analoginya, 20 tahun silam, seseorang membeli
tustel paling mewah di masa itu. Tustel tersebut masih dirawat dan setiap saat
dipakai. Si pemilik tetap saja membawa
tustel itu kemana ia pergi, tanpa pernah menyadari sesungguhnya situasi sudah
berubah. Kalau pun 20 tahun lalu tustel tersebut mewah, paling hebat, namun
fungsi dan keberadaannya sudah kalah jika dibandingkan dengan (misalnya) kamera
yang ada di hp seharga satu jutaan saat ini.
Masihkah tustel usang itu jadi kebanggaan,
sementara fungsinya sudah kalah oleh yang lain?*
Catatan: Naskah ini dimuat di Rakyat Sumbar edisi Kamis, 15 September 2016
Catatan: Naskah ini dimuat di Rakyat Sumbar edisi Kamis, 15 September 2016
No comments:
Post a Comment