Sudahkah
anda menyaksikan lomba panjat pinang di acara tujuhbelasan tahun ini? Bagi yang
belum, lekaslah dicari. Saksikan dan amati secara detail. Apa yang terjadi dan
bagaimana proses pelaksanaannya? Bagi yang sudah menyaksikan, bersyukurlah,
lalu amati kembali prosesnya secara detail.
Kenapa
saya harus mengajak anda menyaksikan dan atau mengamati kembali proses panjat
pinang tersebut secara detail? Sebenarnya, tak penting-penting benar, namun
ajakan ini lebih saya maksudkan agar kita tak salah lagi memberikan makna dari
analogi panjat pinang.
Belakangan,
sebagian besar orang menyebutkan, orang-orang Minang dianggap tak bisa lagi
bekerjasama. Orang-orang di ranah ini dianggap tak lagi mementingkan
kebersamaan. Agar bisa sampai ke puncak, maka rela menginjak saudara sendiri.
Agar bisa sampai ke puncak, orang yang sudah berada di atas direnggut ke bawah.
Ah,
tuduhan yang sadis. Analoginya pun keliru!
Kenapa
analoginya keliru? Saksikan panjat pinang tujuhbelasan. Jika tidak, saya takut,
kita akan berdebat pada ruang dan sudut pandang berbeda. Perbedaan itu tidak
akan sampai pada titik temu yang konkrit.
Perayaan
tujuhbelasan tahun ini, saya dua kali menyaksikan lomba panjat pinang. Saya
perhatikan secara seksama. Sebuah batang pinang sudah dilumuri oli dan gomok.
Puluhan hadiah sudah dipajang di puncaknya.
Hakikat
dari panjat pinang ini, sudah jelas. Berusaha semaksimalnya untuk dapat
mencapai hasil gemilang. Lalu, pertanyaan sederhana; bisakah menjadi pemenang
hingga ke puncak jika tidak disertai dengan kerjasama tim? Nah.., di sini titik
awalnya!
Menurut
Wikipedia, prosesi panjat pinang ini memang populer di Fujian, Guangdong dan Taiwan berkaitan dengan perayaan festival hantu. Ini dapat dimengerti dari kondisi
geografis dikawasan itu yang beriklim sub-tropis, yang masih memungkinkan
pinang atau kelapa tumbuh dan hidup. Perayaan ini tercatat pertama kali pada
masa Dinasti Ming. Lumrah disebut sebagai qiang-gu. Namun
pada masa Dinasti Qing, permainan panjat pinang ini
pernah dilarang pemerintah karena sering timbul korban jiwa. Sewaktu Taiwan berada di bawah pendudukan Jepang, panjat pinang mulai
dipraktikkan lagi di beberapa tempat di Taiwan berkaitan dengan perayaan
festival hantu. Panjat pinang masih dijadikan satu permainan tradisi di
berbagai lokasi di Taiwan. Tata cara permainan lebih kurang sama,
dilakukan beregu, dengan banyak hadiah digantungkan di atas.
Agar
ada anggota tim yang sampai ke atas, prosesi awal ditandai dengan musyawarah
untuk menentukan strategi menyelesaikan pertandingan. Di antara kesepakatan
yang diputuskan, siapa yang akan menjadi pondasi, berada di posisi paling
bawah, kemudian siapa seterusnya dan siapa yang naik terakhir untuk seterusnya
memanjat sampai puncak.
Ada
yang mengatakan, demi mencapai puncak maka seseorang seenaknya menginjak bahu,
badan dan mungkin mengenai kepala teman sendiri. Jika diamati secara detail
dari awal hingga usai, sesungguhnya justru bertolak belakang dengan realita
sebenarnya. Konteknya bukan seenaknya menginjak teman, tetapi sebaliknya justru
temanlah yang memberikan kesempatan kepada rekannya agar ia sampai ke puncak.
Muara
dari perjuangan dan kesempatan yang diberikan, semua hadiah yang didapat,
dibagi oleh tim yang mendapatkannya. Ada dua cara untuk membaginya; pertama
dibagi rata. Kedua, pondasi (orang yang berada di bawah) mendapatkan bagian
lebih besar dari yang lain. *
No comments:
Post a Comment