Oleh: Firdaus
Demam Piala Jenderal Sudirman
melanda Sumbar. Pemantiknya sudah jelas. Semen Padang, Nil Maizar dan Jafri
Sastra. Kalau pun mereka bertarung di laga berkelas turnamen, namun eforia
pecinta sepakbola di Sumbar seakan tak peduli dengan “kasta” turnamen tersebut.
Harus diakui, kelas juara Piala
Jenderal Sudirman tentu tidak sebanding dengan gelar juara Piala Liga,
1992, yang kemudian mengantarkan Semen
Padang ke Piala Winners Asia. Lolos ke putaran kedua setelah mengalahkan wakil
Vietnam, Banghabadhu. Mengalahkan Yokohama Marinos, Jepang, di Padang, 2-1, lalu dihajar tim negeri Sakura tersebut
11 go tanpa balas.
Juga, tak selevel jika
disandingkan dengan kelas kompetisi Liga Indonesia 2002, sekali pun ketika itu
perjuangan Kabau Sirah, dihentikan di
semifinal oleh Petrokimia Putra. Sejak saat itu hingga berakhirnya kompetisi
2010, Semen Padang tak pernah lagi masuk tiga besar, malahan tim yang dibentuk
1980 dan menjuarai Divisi I Galatama 1982 sehingga berhak ke Divisi Utama
Galatama, mengalami nasib buruk tahun 2008. Terdepak dari kompetisi utama Liga
Indonesia. Butuh dua musim kompetisi bagi Semen Padang untuk kembali ke kasta
tertinggi sepakbola Indonesia.
Gelar juara Piala Jenderal
Sudirman tak bisa mengantarkan sang juara berlaga di level Asia, sebab saat
ini, Indonesia masih dalam status terhukum oleh FIFA. Kalau pun sudah ada jalan
tengah yang ditawarkan otoritas tertinggi sepakbola dunia itu, namun belum
tampak tanda-tanda “pertikaian” yang terjadi akan segera berakhir. “Otoritas”
sepakbola saat ini, justru akan terus menggelar ivent-ivent dalam bentuk
turnamen. Belum mengarah pada kompetisi. Selepas Piala Jenderal Sudirman, akan
diputar lagi Piala Presiden, dimana pada gelaran pertama, Semen Padang absen.
Dalam konteks professional, bagi
pemain, sekali pun bersifat turnamen, namun tetap memiliki harapan dapur mereka
berasap. Bedanya, mereka tak bisa merasakan atmosfir kompetisi di tingkat yang
lebih tinggi, minimal regional.
Harapan publik sepakbola
Indonesia, eforia Piala Jenderal
Sudirman mampu menjadi momentum untuk memperbaiki persoalan yang membelit
sepakbola Indonesia. Setidaknya, menyadarkan pemegang kebijakan, mengingatkan
pemegang kendali negeri ini bahwa sesungguhnya sepakbola merupakan bahasa
universal untuk bersatu dan membangun prestasi, bukan menyelesaikan masalah
dengan menghadirkan masalah baru.
Begitu kuatnya sepakbola sebagai
bahasa pemersatu; selain kunjungan kepala Negara, hanya laga sepakbola antar
bangsa yang diawali dengan lagu kebangsaan. Hebatnya bahasa sepakbola, lihatlah
sebuah klub yang dihuni pemain berbagai Negara, sekali pun mereka belum
menguasai bahasa lokal, namun sangat mudah memahami instruksi yang diberikan,
keinginan yang dituju. Semua menyatu untuk satu tujuan yang utuh.
Siapa pun yang juara Piala
Jenderal Sudirman digelaran pertama ini, tetaplah menjadi kebanggaan Sumbar.
Kedua arsitek di dua tim berbeda, berasal dari satu negeri yang sama,
seperguruan dari guru yang sama. Sama-sama mengandalkan pemain muda, seperti
halnya rekan seperguruan mereka; Indra Syafri.
Kini, selepas Piala Jenderal
Sudirman, harapan besar lainnya yang muncul adalah; ke tiga saudara
seperguruan; Nil Maizar, Jafri Sastra dan Indra Syafri, hendaknya mampu pula
memunculkan pemain-pemain muda potensial dari Sumbar. Setidaknya, kelak, Semen
Padang mau pun PSP Padang diisi mayoritas anak-anak Sumbar. Kalau pun kelasnya
professional, jika ketersediaan pemain memadai, kenapa harus mendatangkan dari
luar.
Bukan bermaksud “memaksakan”
untuk bernostalgia, setidaknya, suatu saat nanti, dua tim tersebut, seperti halnya Semen Padang dimasa 1980-an
hingga awal 1990-an. Diisi anak-anak
muda dari berbagai daerah di Sumbar. Mayoritas anak-anak Sumbar, bukan dari
luar. *
CATATAN: Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu 24 Januari 2016.
No comments:
Post a Comment