Oleh: Firdaus Abie
Dimasa lalu, medio 1960-an hingga awal 1980-an,
Sumbar umumnya, Padang khususnya, sangat disegani di kancah sepakbola Nasional.
Kini?
Dalam lintasan sejarah, tim-tim besar dalam dan
luar negeri, pernah merasakan “panas dingin” menghadapi putra-putra terbaik
ranah Minang. Klub terbesar di Sumbar ketika itu, PSP Padang merupakan ikon
keperkasaan tersebut.
Tim yang lahir tahun 1928 ---berawal dari lapangan
Dipo (kini kawasan Taman Budaya Padang), menghadapi lawan-lawannya dengan perjuangan
pantang menyerah. Tim kuat masa itu, Salzburg Austria ditahan imbang 2-2,
menang menghadapi Mozambik Afrika 5-2,
menang saat menjamu Colombus AAfrika
3-1, takluk dari Timnas Bulgaria
1-6, kalah dari FC Lokomotiv Moskwa,
0-7. Kekalahan PSP merupakan kekalahan terkecil tim-tim yang dihadapi
klub tersebut selama kunjungan ke Indonesia.
Eforia semaraknya sepakbola di Sumbar kian terasa
ketika bergulir Harun Zein Cup. Konsistensi Harun Zein Cup sangat panjang.
Kejuaraan ini dimulai saat Harun Zein menjadi gubernur Sumbar, kemudian
diteruskan dimasa kepemimpinan Azwar Anas.
Harun Zein Cup mempertemukan anak-anak nagari
se-Sumbar. Tim-tim yang berlaga kala itu, tampil atas nama nagari. Tak
mengherankan kalau kemudian harga diri nagari dipertaruhkan di sepakbola. Kototangah,
Cangkeh (kala itu masuk Padangpariaman, kini berada masuk wilayah administrasi
kota Padang), Balakang Tangsi (Padang), Ampek Angkek Canduang (Agam),
Tanjuangmutiara (Agam), merupakan lima dari sejumlah nagari yang memiliki anak-anak
nagari hebat di sepakbola kala itu. Anak-anak Kototangah justru pernah membawa
gelar juara secara berturut, 1975 dan
1976, menjelang Harun Zein mengakhiri jabatannya.
Dari Harun Zein Cup tersebut muncul nama-nama hebat
di kancah sepakbola, Irawadi Uska (alm), Idrus Ali, Arif Pribadi, Syofinal,
Gusril, Faisal Fahmi, Darman Manggus. Nama-nama itu menginspirasi anak-anak
muda berikutnya.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana meriahnya
sepakbola di Sumbar kala itu, terutama saat Semen Padang berlaga. Stadion Imam
Bonjol riuh rendah. Ribuan penonton dari daerah, terutama daerah yang ada putranya memperkuat
Semen Padang saat itu, berduyun-duyun
menyaksikan pertandingan. Minimal mereka menyaksikan kepiawaian putra-putra
mereka.
Disaat aroma sepakbola di Sumbar berkibar, ditandai
dengan keperkasaan Semen Padang dan PSP Padang, Harun Zein Cup pun terhenti.
Pernah dicoba dibangkitkan kembali, digagas dan dilaksanakan DPD KNPI Sumbar,
tahun 1992, namun hanya sekali saja. Sejak itu, hingga kini tak pernah ada
lagi.
Seiring berhentinya Harun Zein Cup di tahun
1980-an, PSP Padang terdepak dari kasta tertinggi sepakbola perserikatan, tahun
1986. Butuh waktu 10 tahun untuk bisa kembali ke divisi utama. Bedanya, saat
itu, PSP Padang mau pun PS Semen Padang sudah diisi mayoritas pemain luar
Sumbar, termasuk pemain asing.
Di awal tahun 2001-an, ada harapan baru. Klub PSTS
Tabiang, Padang, yang telah banyak menyumbangkan pemain untuk membela PSP
Padang dan Semen Padang, menghadirkan kejuaraan sepakbola bagi usia di bawah 18
tahun. Piala Gubernur Sumbar. Tapi usianya tak lama. Setelah itu, Semen Padang membentang turnamen, Piala Semen Padang.
Formatnya untuk usia di bawah 21 tahun, mempertemukan perwakilan klub antar
daerah di Sumbar plus Semen Padang sebagai tuan rumah. Pemain terjaring
memiliki kans dibina di Akademi Semen Padang. Tapi usia Piala Semen Padang
justru lebih singkat dari turnamen Piala Gubernur.
Kini datang angin segar. Irman Gusman Cup hadir
untuk melepaskan dahaga disaat keringnya kompetisi usia muda. Turnamen ini
dikemas sedemikian rupa. Pangsa “pasar”-nya hampir mirip Harun Zein Cup.
Mempertemukan anak-anak nagari se-Sumbar. Bedanya, jika Harun Zein Cup atas
nama nagari, Irman Gusman Cup membawa bendera kecamatan.
Iven ini direspon positif kecamatan. Ada 179 dari
184 kecamatan di Sumbar ikut serta. Ada 4.600 pemain, 1.200 official dari 19
kabupaten dan kota. Menariknya ada regulasi khusus untuk usia pemain. Minimal 8
pemain usia di bawah 17 tahun, sisanya U-19 dan U-23. Sasaran awal, pemain
tersaring akan dibawa ke Spanyol atau pelatih asal Spanyol yang didatangkan
serta dipersiapkan untuk PON XX/2020 di Papua.
Data yang itu tak hanya sebagai prestasi bagi panitia, tetapi cerminan antusiasnya anak-anak negeri ini
menekuni sepakbola. Jika realisasi sesuai kenyataan, maka tak salah kalau
kemudian disebutkan; Sumbar telah membangun pondasi sepakbola Nasional, sementara anak-anak bangsa lainnya masih prihatin
melihat pertikaian tak berkesudahan antara PSSI dengan Menpora.
Di balik semua itu, satu pertanyaan muncul;
sanggupkah turnamen ini bergulir lebih dari lima musim berturut? Jika berjalan konsisten, dipastikan Sumbar akan
menjadi gudang sepakbola tersendiri, setidaknya mampu memenuhi kebutuhan
sendiri, minimal untuk tim PON Sumbar, PSP Padang, Semen Padang. Tidak
bergantung lagi pada pemain dari luar daerah atau pemain asing.
Kekuatiran agenda ini hanya berupa turnamen sesaat,
putus di tengah jalan, mungkin saja terjadi. Ketika harapan tak sesuai dengan
kenyataan, maka komitmen bisa saja berubah. Janji insan olahraga bisa saja
berganti, namun demikian kita tetap berharap agar olahraga tetaplah aktivitas yang berangkat dari sportivitas,
bukan karena adanya kepentingan tertentu, apalagi jika dikarumuaktumuak-an dengan kepentingan politik.
Mari sama-sama ditunggu dan bersama menjadi
saksinya!*
*Penulis
adalah wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar
CATATAN:
Tulisan ini dimuat Harian Umum Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres, edisi Rabu 16 Maret 2016
No comments:
Post a Comment