Oleh:
Firdaus
Semakin
gencar Satpol PP melakukan razia, penggerebekan, semakin banyak juga yang
tertangkap. Setiap hari razia, selalu saja membawa “hasil tangkapan” ke markas
komando.
Mereka
yang ditangkap berasal dari berbagai lapisan. Mulai dari pasangan yang sedang
berpacaran, pasangan yang baru mencoba “gitu-gituan” hingga yang sudah pernah
“begituan”. Usianya beragam, mulai dari
anak sekolahan hingga yang sudah berumur.
“Apalah
yang terjadi?” tanya seorang kawan kepada saya. Bingung saya dibuatnya.
Katanya,
kalau mereka tak tahu, rasanya tak mungkin. Setiap hari, razia dilakukan.
Selalu saja ada hasil tangkapan. Diberitakan di koran, tv, radio dan online. Kalau
mereka tak tahu, apakah mereka tak membaca koran, tidak melihat tv, tidak
mendengar radio atau tidak baca online.
Rasanya,
salah satu di antara saluran komunikasi massa itu, mustahil tak pernah
didapatinya agak sekali sehari, atau sekali dua hari, atau minimal sekali
sepekan. Atau, saluran komunikasi itu hanya dimanfaatkan untuk menonton
sinetron, gosip artis saja? Entahlah.
Atau
mungkin ada celah yang membuat orang tidak jera terhadap kinerja polisi penegak
Perda tersebut. Misalnya, selama ini, setelah ditangkap, mereka hanya didata,
diberi wejangan, membuat surat perjanjian, dipanggil keluarganya, kemudian
dipulangkan.
Jika
hanya begitu-begitu saja, maka hasilnya dikemudian hari juga akan begitu-begitu
juga. Hitunglah, sekali razia pasti berbiaya. Beli BBM untuk kendaraan
operasional, uang makan malam, sarapan pagi, tetapi hasil nyata dari razia
tersebut justru tidak nyata. Minyak
habih, samba tak lamak.
Kelompok
pertama; apakah tidak memungkinkan diberikan tindakan dalam bentuk efek jera
yang lebih konkrit kepada pelaku daripada sekadar ditangkap, didata, diberi wejangan, membuat surat
perjanjian, dipanggil keluarganya, kemudian dipulangkan?
Mereka
yang membuang sampah sembarangan saja bisa dikenai denda hingga Rp 5 juta atau
kurungan. Menebang pohon pelindung dikenai denda Rp 1 Miliar. Apakah pasangan
mesum tak bisa? Kenapa tak bisa? Tak ada aturannya? Apakah aturannya tak bisa
dibuat? Kenapa aturan lain bisa?
Misalnya; mereka yang tertangkap diberi wejangan tidak
di markas Satpol PP, tetapi diberi nasihat di lapangan Imam Bonjol. Jika
dilihat orang, mungkin bisa memberikan efek jera bagi yang lain dikemudian
hari. Hanya satu itu contoh yang saya berikan, yang lain mari sama-sama
dipikirkan.
Kelompok
kedua; ruang geraknya harus dipersempit. Caranya, tempat pasangan yang
digerebek; hotel, wisma, penginapan, café, tempat karaoke dan lainnya juga
harus diberikan sanksi. Tak hanya sekadar teguran. Jika perlu, cabut atau
jangan perpanjang izinnya.
Pengelola
hotel, wisma, penginapan, café, tempat karaoke dan lainnya juga harus
bertanggungjawab dan memberikan perhatian ekstra terhadap tamunya. Jangan hanya
dengan alasan privasi, mereka melakukan pembiaran terhadap prilaku maksiat. Hal
itu, sama saja mereka hanya peduli pada pendapatan, kemudian
secara tak langsung “menyediakan tempat secara terselubung” untuk
melakukan maksiat.
Belajar
dari aturan larangan merokok. Pada awal gerakan itu dilakukan, banyak yang tak
yakin. Waktu membuktikan segalanya. Berlahan dan pasti, ruangan untuk perokok
semakin terbatas. Dulu, dimana saja, orang bisa merokok secara bebas. Kini, di
ruang-ruang publik, aktivitas tersebut semakin bisa dibatasi. Di hotel saja,
tak semua kamar bisa digunakan untuk merokok. Termasuk di toiletnya. Jika ketahuan
dikenakan denda.
Lalu,
apakah untuk tempat langsung atau yang tidak secara langsung memberikan ruang
untuk kesempatan bermaksiat, akan
dibiarkan? Hop, dari hotel, wisma, penginapan, café, tempat karaoke itu ada
pendapatan asli daerah.
Yah,
apalah yang terjadi…! (Sasak angok saya…)*
CATATAN:
Tulisan ini juga dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggi 20 Maret 2015, pada kolom KOPI MINGGU.
Tulisan ini juga dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggi 20 Maret 2015, pada kolom KOPI MINGGU.
No comments:
Post a Comment